Di bidang riset, prioritas agenda penelitian seyogyanya difokuskan pada semua aspek yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia, yakni pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, elektronik, transportasi, dan hankam. Selain itu, bidang SDA yang merupakan keunggulan komparatif Indonesia, termasuk kemaritiman, kehutanan, pertanian, pariwisata, energi dan sumber daya mineral, juga mesti mendapatkan prioritas.
Guna mendukung pembangunan berkelanjutan, prioritas riset juga perlu dicurahkan untuk segenap aspek tentang pengelolaan lingkungan hidup, Perubahan Iklim, tsunami, gempa bumi, dan bencana alam lainnya. Karena kita hidup di era Industri 4.0, maka segenap prioritas penelitian itu harus berbasis pada teknologi generasi Industri 4.0 seperti IoT, Artificial Intelligent, Block Chain, Cloud Computing, Big Data, Robotics, Drone, Human-Machine Interface, New Materials, Nanoteknologi,dan Bioteknologi.
Lebih dari itu, aspek yang diteliti dan dikembangkan untuk setiap agenda penelitian bukan hanya terkait dengan teknologi dan engineering, tetapi juga aspek marketing, dan sosekbud-nya.
Kemudian, harus ada pembagian tugas antar lembaga penelitian yang tersebar di berbagai Perguruan Tinggi, Kementerian, dan Lembaga Pemerintah sesuai dengan kompetensinya. Mekanisme kerja sama antar lembaga penelitian, termasuk dengan lembaga penelitian negara lain, pun mesti disusun dan dilaksanakan secara tepat serta berkesinambungan.
Setiap lembaga penelitian harus diberi target terukur tentang berapa prototipe, produk inovasi, dan publikasi ilmiah per tahun. Selanjutnya, hasil penelitian dari setiap lembaga yang sudah mencapai tahap prototipe, sebanyak mungkin harus diindustrikan menjadi produk inovasi yang laku di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Pengindustrian prototipe hasil penelitian merupakan tugas utama dari pihak industriawan (swasta dan BUMN). Sedangkan, yang menjodohkan (match-making) antara peneliti dengan industriawan adalah pemerintah.
Seperti yang telah dilaksanakan di negara-negara industri maju, pemerintah memberikan insentif kepada sektor swasta yang mau mengembangkan produk inovasi teknologi dari hasil penelitian anak bangsa sendiri. Insentif itu bisa berupa deductible tax, kemudahan mengimpor peralatan dan bahan penelitian, bintang jasa, atau penghargaan sosial.
Dengan insentif tersebut, niscaya korporasi pun akan senang untuk mendonasikan sebagian keuntungannya guna meningkatkan anggaran riset nasional dari 0,24 persen menjadi 2 persen PDB. Patut dicatat, bahwa 70 persen anggaran riset di negara-negara maju dari sektor swasta. Sedangkan, di Indonesia kontribusai swasta masih kurang dari 15 persen.
Di bidang Pendidikan, pertama adalah memastikan bahwa semua anak Indonesia di seluruh wilayah NKRI harus dapat lulus minimal dari SLTA dengan kualitas yang mumpuni. Kedua, sejak dari jenjang SLTA, mesti sudah dibagi dua jurusan, yaitu SLTA umum (SMA) yang lulusannya dipersiapkan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi umum (Univeraitas); dan SLTA vokasi yang lulusannya dipersiapkan untuk langsung terjun ke dunia kerja atau yang hendak melanjutkan ke Pendidikan Tinggi Vokasi (PTV).
Proporsi kurikulum dan metoda pengajaran di SLTA vokasi 70 persen berupa praktek, dan 30 persen pengajaran di kelas. Sedangkan, di SMA, 70 persen lebih pengajaran di kelas, dan sisanya praktek di laboratorium. Dengan demikian, struktur angkatan kerja nasional kelak akan seperti di negara industri maju, dimana tingkat pendidikan minimal adalah SLTA. Tidak seperti sekarang 60 persen lebih terdiri dari mereka yang tidak tamat SD, lulusan SD dan SLTP.
Struktur angkatan kerja kita pun bakal didominasi oleh lulusan SLTA Vokasi, Pendidikan Tinggi Vokasi, dan Universitas. Ketiga, untuk memastikan bahwa 70 persen kurikulum PTV berupa praktek langsung, maka selain membangun sendiri prasarana dan saran praktek, PTV harus bekerja sama secara dengan dunia industri, baik milik swasta, BUMN maupun pemerintah sebagai tempat praktek (magang) para mahasiswa. Dosen harus punya pengalaman bekerja di industri sesuai bidang keahlian, bukan yang hanya menguasai teori.
Keempat, memastikan bahwa semua Perguruan Tinggi Umum mampu menghasilkan lulusan yang kompeten dari aspek hard skills, soft skills, dan karakter. Sehingga, mereka akan siap berkerja atau menciptakan pekerjaan sendiri, mengembangkan IPTEK, dan mampu bersaing dengan alumni negara lain di dunia kerja.