Sedikit sekali PT Indonesia yang berbasis riset (Research-Based University) seperti di negara-negara industri maju. Sehingga, lulusan PT Indonesia pada umumnya kurang kompeten, tidak siap kerja, dan kalah bersaing dengan lulusan PT dari negara-negara lain.
Wajar, bila banyak lulusan PT yang menganggur. Tulisan (karya) ilmiah dari berbagai hasil penelitian PT yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah internasional ternama pun jumlahnya masih terbatas. Dan, masih sedikit sekali (kurang dari 15 persen) hasil penelitian PT kita yang mendapatkan hak paten berupa prototipe (invention) kemudian sukses diindustrikan (scalled-up) menjadi produk, proses produksi atau aplikasi (innovation) komersial yang laku di pasar domestik maupun global.
Ketiga, mirip dengan di PT, pusat-pusat riset di bawah Kementerian maupun Lembaga Pemerintah (seperti LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN) pun hasilnya sebagian besar berakhir pada prototipe (invention). Sedikit sekali hasil penelitian yang sudah mencapai tahap prototipe (technological readiness) berhasil diindustrikan menjadi produk inovasi komersial (market and business-readiness) untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor.
Kondisi memprihatinkan ini disebabkan karena minimnya infrastruktur dan sarana riset, rendahnya kesejahteraan serta penghargaan sosial bagi para peneliti, dan terbatasnya anggaran. Betapa tidak, saat ini anggaran riset Indonesia hanya sebesar 0,24 persen PDB. Sedangkan, Vietnam 0,53%, Thailand 1%, Malaysia 1,44%, Singapura 2%, dan China 2,19%.
Sementara itu, negara-negara industri maju, seperti Amerika Serikat mencapai 2,84%, Jepang 3,26%, dan Korea Selatan 4,81%. Idealnya, anggaran riset suatu negara minimal 1,5 persen dari PDB nya (UNESCO, 2021). Selain itu, banyak program (topik) penelitian yang sama dikerjakan oleh beberapa pusat riset (overlaping). Di sisi lain, beberapa topik penelitian yang sangat dibutuhkan, justru tidak ada Lembaga yang mengerjakannya (mismatch).
Sebagian besar topik penelitian juga tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan atau pasar. Akibatnya, begitu banyak hasil penelitian yang secara ilmiah sangat bagus (world-class), tetapi tidak bisa diindustrikan menjadi produk inovasi komersial. Karena, mayoritas peneliti mendesain dan melaksanakan penelitian bukan berdasarkan pada apa yang dibutuhkan oleh industri atau pasar, tetapi lebih untuk memenuhi pengembaraan ilmiah (scientific adventure)-nya.
Yang lebih menyesakkan dada, hampir semua perusahaan swasta, BUMN, dan lembaga pemerintah lebih suka mengimpor produk teknologi ketimbang mengembangkan inovasi teknologi dari hasil penelitian karya bangsa sendiri. Banyak pengusaha kita yang dulunya industriawan berubah menjadi sekedar pedagang pengimpor.
Keempat, kebanyakan lulusan dari Pendidikan Dasar dan Menengah kita, mulai dari tingkat PAUD, SD, SLTP hingga SLTA hanya unggul di hafalan. Namun, lemah daya talar, kemampuan analisis, dan kreativitas nya. Kemampuan literasi, komunikasi, dan kerja sama pun kurang berkembang. Selain itu, kemampuan dasar di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) yang merupakan fondasi dari inovasi dan produktivitas suatu bangsa pun masih lemah.
Tak heran, bila proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi tinggi Indonesia hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas. Sementara itu, Singapura sudah mencapai 85%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24% (UNDP, 2021). Pendapatan Nasional Bruto (GNI) perkapita Indonesia pun pada 2020 baru 4.050 dolar AS, masih sebagai negara berpendapatan-menengah atas (GNI perkapita antara 4.046 dan 12.535 dolar AS). Belum menjadi negara makmur (high-income country) yang GNI per kapitanya diatas 12.535 dolar AS.
Agenda Pendidikan dan Riset
Maka, membenahi benang kusut permasalahan Pendidikan dan Riset Nasional yang tak kunjung usai, mesti ditangani secara holistik, terpadu, dan berkesinambungan. Tidak bisa didekati secara tambal sulam, sektoral, dan terputus-putus seperti yang terjadi selama ini.