Sebagai perbandingan, GNI perkapita Singapura sudah mencapai US$ 58.770, Brunei Darussalam US$ 31.020, Malaysia US$ 10.460, dan Thailand US$ 6.610. Selain itu, bangsa yang maju dan sejahtera memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diatas 80 (very high Human Development Index). Â
Hingga tahun lalu, IPM Indonesia hanya sebesar 70,5 (high HDI) yang menempati peringkat-111 di tingkat dunia, dan keenam di ASEAN, setelah Singapura (peringkat-9 dunia), Brunei Darussalam (ke-43), Malaysia (61), Thailand (77), dan Pilipina (106) Â (UNDP, 2019).
Padahal, Indonesia memiliki potensi yang lengkap dan besar untuk menjadi negara maju nan makmur. Â Kekayaan alam yang terdapat di darat maupun laut begitu beragam dan melimpah; 270 juta orang penduduknya (terbesar keempat di dunia) menawarkan potensi pasar domestik yang luar biasa besar; dan posisi geoekonominya terletak di jantung rantai pasok global (global supply chain), dimana sekitar 45 persen dari seluruh barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai rata-rata US$ 15 trilyun per tahun diangkut melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2014).
Oleh sebab itu, pasti ada yang salah dengan bangsa kita. Dan, salah satu kesalahan (kelemahan) utama itu adalah masih rendahnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) kita.Â
Selain IPM yang belum mencapai nilai 80, Â hampir semua indikator yang menggambarkan kualiats SDM bangsa kita tergolong rendah, belum memenuhi kriteria sebagai bangsa maju. Â Kemampuan literasi kita masih sangat rendah, tercermin pada indeks minat baca yang hanya 0,001. Â Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya seorang yang rajin membaca (UNESCO, 2012).Â
Kemudian, pada 2016, Central Connecticut State University merilis laporan hasil risetnya berjudul "The World's Most Literate Nations" yang menempatkan Indonesia pada peringkat-60 dari 61 negara yang diteliti.Â
Hanya satu tingkat diatas Boswana, negara sangat miskin di Benua Afrika. Hasil penelitian PISA (Programme for International Student Assessment) yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam pelajar setingkat SLTP di seluruh dunia, mengungkapkan bahwa pada 2015 dari 70 negara yang disurvei, Indonesia hanya menempati peringkat-62. Â
Produktivitas tenaga kerja kita pun hanya setara dengan US$ 23.390 per tahun. Â Jauh dibawah Singapura US$ 141.227, Malaysia US$ 56.084, dan Thailand US$ 27.101 (WEF, 2018). Â
Kapasitas inovasi bangsa Indonesia baru menempati peringkat-85 dari 126 negara yang disurvei, dan pada urutan-7 di ASEAN. Â Singapura pada peringkat-5, Malaysia ke-35, Thailand ke-44, Vietnam ke-45, Brunei Darussalam ke-67, dan Pilipina ke-73 (Global Innovation Index, 2018).Â
Kita pun menghadapi darurat gizi buruk, karena sekitar 30 persen anak balita mengalami stunting growth dan 33 persen menderita gizi buruk. Â Jika tidak segera diperbaiki, maka kita akan mewariskan generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation.
Yang pasti, fakta empiris dan sejarah telah membuktikan bahwa semua negara yang maju dan makmur sejak zaman kedigdayaan Romawi, era keemasan Umat Islam (7 M -- 16 M), hingga hegemoni Kapitalisme Barat di zaman kontemporer ini, kuncinya adalah kualitas SDM yang unggul, bukan karena melimpah ruahnya SDA.Â