Oleh karena itu, ke depan kita mesti meluruskan orientasi pembangunan maritim sesuai dengan yang dimaksud Presiden Jokowi dan Wapres JK, yakni menjadikan Indonesia sebagai PMD. Â Sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi, hankam dan budaya maritim. Â Lebih dari itu, Indonesia juga diharapkan bisa menjadi teladan (a role model) bangsa-bangsa lain di dunia dalam hal pendayagunan dan pengelolaan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan lautan bagi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia secara adil dan berkelanjutan.Â
Maka, bauran kebijakan pembangunan kemaritiman harus seimbang dan proporsional antara tujuan untuk menegakkan kedaulatan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, dan pelestarian lingkungan. Karena, masalah utama bangsa adalah kemiskinan, stunting growth, gizi buruk, ketimpangan sosial, dan rendahnya daya saing; maka upaya untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan haruslah mendapat prioritas utama sesuai dengan daya dukung lingkungan dan batas-batas kelestarian SDA kelautan.
Dalam jangka pendek -- menengah (2019 -- 2024), pertama yang harus dilakukan adalah penyusunan/penyempurnaan, dan implementasi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) secara terpadu dari lahan atas -- pesisir -- lautan di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Nasional. Â Dalam ruang wilayah antara daratan pesisir dan laut sampai 12 mil harus dialokasikan minimal 30% dari total wilayah untuk kawasan lindung. Yakni berupa daerah pemijahan dan asuhan bagi biota perairan, sempadan pantai, lokasi rawan bencana, dan areal lain yang mesti dilindungi.Â
Di dalam 70% wilayah sisanya bisa digunakan untuk berbagai macam kegiatan (sektor) pembangunan, seperti budidaya perikanan tambak, budidaya laut, perikanan tangkap dengan ukuran kapal dibawah 30 GT, pariwisata bahari, pertambangan ramah lingkungan, kawasan industri ramah lingkungan, pemukiman, dan pelabuhan. Lokasi setiap sektor pembangunan harus cocok dengan kesesuaian lahannya.Â
Kedua, optimalisasi sektor perikanan tangkap, dengan cara mengembangkan 10.000 armada kapal ikan modern ukuran 50 GT -- 500 GT untuk memanfaatkan sumber daya ikan di wilayah-wilayah laut yang masih underfishing dan selama ini menjadi ajang illegal fishing oleh nelayan asing. Â Wilayah-wilayah laut yang dimaksud antara lain adalah Laut Natuna, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Arafura, Perairan Barat Sumatera, dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia. Â
Kapal-kapal ikan modern diatas  400 GT juga bisa kita gunakan untuk menangkap cakalang, tuna, dan ikan pelagis besar lainnya di laut lepas (diatas 200 mil), dimana kita mendapatkan kuota penangkapan di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.  Selain di Bitung, untuk mendaratkan, mengolah, dan memasarkan ikan hasil tangkapan 10.000 kapal ikan modern itu, kita harus membangun pelabuhan-pelabuhan perikanan baru yang terintegrasi dengan kawasan industri perikanan berkelas internasional di Aceh, Natuna, Bangka-Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Baubau, Morotai, Sorong, Biak, Tual/Aru, dan Kupang. Â
Di wilayah-wilayah laut yang sudah overfishing, seperti Pantura dan Pantai Selatan Sulawesi, kita kurangi jumlah kapal ikan dan nelayannya sampai intensitas penangkapannya lebih kecil atau sama dengan potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) nya. Hanya kapal-kapal ikan yang berukuran dibawah 30 GT yang boleh beroperasi di wilayah laut di bawah 12 mil. Â
Sarana produksi perikanan tangkap dan perbekalan melaut yang berkualitas dan harga relatif murah harus tersedia bagi nelayan di seluruh wilayah NKRI. Â Untuk menjaga stabilitas rantai suplai dan harga, setiap pabrik pengolahan perikanan harus dimitra kerjakan dengan kapal-kapal ikan yang jumlahnya sesuai dengan kapasitas pabrik secara saling menguntungkan.
Ketiga, selain pengembangan budidaya tambak udang Vaname seluas 500.000 ha seperti diuraikan diatas, kita kembangkan tambak udang windu seluas 50.000 ha, tambak bandeng 100.000 ha, nila salin 50.000 ha, kepiting soka 50.000 ha, kepiting bertelur 50.000 ha, kerapu lumpur 50.000 ha, dan rumput laut Gracillaria spp 500.000 ha. Â Dengan menggunakan KJA produksi dalam negeri yang berkualitas, kita kembangkan budidaya di perairan laut dangkal dan laut lepas (offshore aquaculture) dengan ikan kerapu, kakap, bawal bintang, gobia, dan spesies lainnya. Â
Di perairan laut dangkal, kita kembangkan budidaya rumput laut penghasil karagenan, Euchema spp seluas 1 juta ha, lobster, teripang, abalone, gonggong, kerang hijau, kerang mutiara, dan komoditas unggulan lainnya. Supaya menguntungkan dan mensejahterakan secara berkelanjutan, semua usaha budidaya ini harus menerapkan cara budidaya yang terbaik (Best Aquaculture Practices), teknologi mutkahir (termasuk teknologi Industri 4.0), dan manajemen yang benar.
Keempat, peningkatan kualitas dan sertifikasi semua UPI (Unit Pengolahan Ikan) yang ada sekarang (61.603 unit) yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, supaya produk olahannya lebih bernilai tambah, berdaya saing, dan laku di pasar domestik maupun ekspor. Â Dari total UPI itu, hanya 718 unit (1,2%) yang berskala besar dan modern, selebihnya 60.885 unit berskala Menengah, Kecil, dan Mikro (MKM).Â