Sejak 2012 IPB menemukan 4 spesies mikrolaga laut dengan kandungan hidrokarbon sekitar 20% dari total berat keringnya, dan telah menghasilkan biofuel. Â Jika kita kembangkan budidaya mikroalga ini seluas 2 juta ha areal laut pesisir (0,3% total wilayah laut Indonesia) terintegrasi dengan industri pengilangannya, maka bisa diproduksi sekitar 2 juta barel biofuel/hari.Â
Jumlah ini melampaui kebutuhan minyak mentah nasional, sekitar 1,4 juta barel/hari. Â Dengan demikian, kita tidak perlu lagi menghamburkan devisa untuk impor minyak sekitar Rp 500 trilyun/tahun, yang sejak 2012 merupakan penyebab utama dari defisit nercara perdagangan dan transaksi berjalan. Jutaan orang tenaga kerja akan terserap oleh usaha budidaya mikroalga laut dan industri biofuel ini, dan masyarakat pesisir yang selama ini kebanyakan hidup miskin juga akan sejahtera.
Dengan keanekaragaman hayati laut (marine biodiversity) terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi industri bioteknologi kelautan yang luar biasa besar, dengan total nilai ekonomi empat kali lipat dari industri teknologi informasi. Industri ini meliputi 3 cabang industri: (1) genetic engineering untuk menghasilkan bibit dan benih fauna serta flora yang unggul; (2) ekstraksi senyawa bioaktif dari organisme laut yang menghasilkan bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, pewarna, film, dan beragam industri lainnya; dan (3) bioremediasi lingkungan. Dalam dekade terakhir, China berhasil membudidayakan padi di perairan laut dengan produktivitas 9 ton/ha/panen (Yangzhou University, 2017). Artinya, budidaya laut berbasis bioteknologi bisa menjadi terobosan untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Seiring dengan pergesaran pusat ekonomi dunia dari Poros Atlantik Asia-Pasifik, dan posisi geoekonomi - geopolitik Indonesia yang begitu strategis (penghubung Samudera Pasifik dan Hinida serta Benua Asia dan Australia); peran kemaritiman bagi Indonesia bakal semakin krusial. Â Betapa tidak, sekitar 45% dari total barang yang diperdagangkan di dunia diangkut dengan ribuan kapal melalui 3 ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), dengan total nilai ekonomi rata-rata sebesar 15 trilyun dolar AS/tahun (UNCTAD, 2010).
Oleh sebab itu, sangat tepat Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla menjadikan kemaritiman sebagai salah satu prioritas kebijakan pembangunannya, dengan tagline Indonesia sebagai PMD (Poros Maritim Dunia). Banyak kemajuan di bidang maritim telah direngkuh dalam empat tahun terakhir. Penegakkan kedaulatan, khususnya pemberantasan Illegal fishing oleh nelayan asing, dan program konservasi lingkungan telah membuahkan hasil menggembirakan. Â
Pembenahan manajemen pelabuhan mampu memangkas dwelling time, dari 9 hari pada 2014 menjadi rata-rata 4 hari sejak 2016. Pada 2014 sekitar 70% ekspor produk Indonesia harus melalui Pelabuhan Singapura, sejak 2016 hanya tinggal 40%. Beroperasinya 18 trayek Tol Laut telah memperlancar, mempermudah, dan mempermurah arus penumpang dan barang di seluruh wilayah Nusantara. Â Sehingga, disparitas harga barang-barang antar wilayah pun menurun cukup signifikan. Â
Destinasi pariwisata bahari semakin atraktif, indah, dan berkembang di berbagai wilayah NKRI, sehingga mampu meningkatkan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia untuk menikmati pariwisata bahari, dari hanya 3 juta pada 2014 menjadi sekitar 6 juta pada 2017.Â
Namun, kehidupan nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang hasil perikanan semakin susah akibat terlalu rumit, lama, dan mahalnya mendapatkan izin usaha perikanan. Â Sebagian besar kebijakan dan regulasi hanya mengutamakan pelestarian sumber daya ikan, tetapi kurang memperhatikan aspek ekonomi dan kesejahteraan nelayan, pembudidaya perikanan, dan stakeholders perikanan lainnya.Â
Nelayan cantrang, pukat hela, dan pukat tarik lainnya tidak bisa melaut. Usaha budidaya ikan kerapu, lobster, kepiting soka, dan kepiting bertelur gulung tikar. Puluhan pabrik pengolahan ikan dan seafood di hampir semua kawasan industri perikanan, seperti Belawan, Sibolga, Bungus, Muara Baru (Jakarta), Cilacap, Benoa, Bitung, Ambon, Tual, Kaimana, dan Sorong sekarat, lantaran kekurangan bahan baku. Â Dengan sebab yang sama, 14 pabrik surimi di Pantura matisuri.Â
Nilai ekspor perikanan turun drastis, dari 4,6 milyar dolar AS pada 2014 menjadi 3,2 milyar dolar AS pada 2017. Ratusan ribu nelayan, pembudidaya, buruh pabrik dan pedagang ikan jadi pengangguran. Ujungnya, gelombang demonstrasi masif merebak dimana-mana sejak Maret 2015 hingga awal tahun ini memprotes keras kebijakan perikanan yang mematikan itu.
Agenda pembangunan maritimÂ