Mohon tunggu...
RD Putri
RD Putri Mohon Tunggu... Lainnya - A learner.

I think therefore I write.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saya Korban Pelecehan Seksual, Saya yang Salah?

8 Juli 2020   21:58 Diperbarui: 10 Juli 2020   04:04 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelecehan seksual yang terjadi pada korban banyak dikaitkan dengan struktur budaya yang ada di masyarakat seperti sistem patriarki. 

Sebuah pandangan di masyarakat dimana perempuan dijadikan objek seksualitas atau objek kekuasaan laki-laki. Pelecehan seksual memang rentan terjadi pada perempuan namun tidak dapat dikecualikan bahwa laki-laki pun mengalaminya.

Masyarakat Indonesia menanggapi pelecehan seksual yang terjadi pada laki-laki sebagai hal yang tidak perlu diperhatikan. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana korban perempuan lebih mendapatkan sorot dibanding ketika korbannya adalah laki-laki. 

Toxic masculinity yang sudah ditanam sejak kecil menjadikan para korban laki-laki enggan speak up terkait pelecehan yang terjadi. Stereotip pada laki-laki digambarkan sebagai seseorang yang kuat, rasional dan otoriter (memiliki control) membuat para korban dicap gagal sebagai laki-laki.

Korban pelecehan seksual di masyarakat kerap kali diberi stigma negatif seolah-olah merekalah yang menjadi "penjahatnya". Mereka dianggap berlebihan ketika melapor atau mempermasalahkan pelecehan yang terjadi. 

Sering kali masyarakat menanggapinya dengan "lebay", "cuma bercanda" atau hanya "main-main". 

Besar-kecil bentuk pelecehan seksual yang diterima korban tetaplah sebuah pelecahan seksual. Dari pelecehan seksual seperti cat calling atau menggoda, perilaku seksis sampai pelanggaran seksual seperti pemerkosaan.

Masyarakat seolah-olah memberikan pembenaran bagi para pelaku pelecehan seksual dengan mengalihkan isu pelecehan pada korban. Jika korban pelecehan seksual terjadi pada perempuan, mereka dianggap sebagai penyebab terjadinya pelecehan tersebut. 

Pakaian menjadi salah satunya. Busana yang dianggap paling nyaman untuk digunakan oleh para perempuan dituduh sebagai alasannya. Pandangan ini bagai menganggap bahwa perempuan yang berbusana tidak memakai jilbab boleh (bebas) dilecehkan.

Beda halnya ketika korban pelecehan seksual tersebut adalah laki-laki. Di lingkungan masyarakat, laki-laki yang kurang (tidak) menunjukan sisi maskulinitasnya rentan dilecehkan. 

Para pelaku pelecehan seksual kerap kali merasa lebih berkuasa dibandingkan korbannya. Perlakuan seksis dan kekerasan verbal banyak diterima oleh korban laki-laki. 

Pelecehan-pelecehan yang terjadi banyak dianggap sebagai candaan belaka oleh orang-orang sekitar yang menyebabkan para korbannya tidak dapat marah maupun stand up. Tuntutan untuk menjadi semaskulin mungkin di lingkungan masyarakat menjadikan para korban menjadi incaran pelaku.

Kesaksian para korban pelecehan seksual kerap kali membuat para korban mendapatkan tindak pidana atau sanksi sosial karena victim blaming, sebuah tindakan menyalahkan korban, yang sangat masih kental  di masyarakat. 

Masih ingat dengan kasus Agni, mahasiswi UGM yang mengalami pelecehan seksual ketika sedang KKN? Agni mendapatkan nilai C pada mata kuliah KKN karena dianggap telah bertindak ceroboh dan telah merusak nama baik UGM di masyarakat.

"Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi ikan asin pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan." Pernyataan kontroversial yang diberikan oleh salah seorang dosen universitas. 

Atau kasus Baiq Nuril yang justru dihukum 6 bulan penjara dengan denda Rp. 500 juta karena merekam percakapan asusila yang diterimanya oleh seorang kepala sekolah terhadap dirinya.

Sebagai sarana yang menyediakan sumber informasi bagi masyarakat, media memainkan peran penting dalam victim blaming yang terjadi. Selain menjadi tempat untuk para korban pelecehan seksual untuk didengar, media dapat terlalu mengekspos privasi dan kerahasiaan identitas korban yang dapat menyebabkan diskriminasi. 

Banyak media yang lebih menampilkan kasus pelecehan seksual melalui sudut pandang pelakunya dibandingkan korbannya. Sikap victim blaming di masyarakat menyebabkan para korbannya  mengalami dua penderitaan: dilecehkan dan disalahkan.

Dengan banyaknya pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat, dibutuhkan sebuah Undang-Undang yang mengatur tindak pidana yang berhubungan dengan kekerasan seksual dan melindungi para korbannya. 

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menuntut Negara untuk memenuhi hak-hak korban dalam penanganan, perlindungan dan pemulihan. 

Negara wajib mengalokasikan biaya untuk pemenuhan hak-hak korban dan Negara juga wajib untuk menguatkan peran dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat dalam penyelenggaraan terpenuhinya hak-hak korban.

RUU PKS yang dikeluarkan dari daftar Program Legilasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2020 cukup menggegerkan, Wakil Ketua Komis VII DPR Mawrwan Dasopang beralasan bahwa "pembahasannya agak sulit".  

Hal ini menunjukan bahwa Negara dalam hal ini DPR tidak serius untuk melindungi para korban kekerasan seksual dan telah melukai hak dan keadilan korban.

Rasa trauma dan takut yang dilalui oleh korban kekerasan seksual membutuhkan pendampingan psikolog agar korban dapat merasa aman dan kembali ke lingkungan masyarakat. 

Tindak pidana juga diperlukan bagi pelaku supaya kejahatan seksual tidak terjadi lagi di masa mendatang. Dan hal-hal tersebut tertuang dalam RUU PKS.

Lalu, apalagi yang menjadi penghalang pengesahan RUU PKS ketika Negara hadir untuk melindungi korban sampai ke pemulihan? Berapa banyak lagi korban yang dibutuhkan agar segera disahkannya RUU PKS? Berapa banyak lagi luka dan trauma yang harus dilalui korban?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun