Sebentar lagi, pemilu Presiden AS akan berlangsung. Dalam pemilu ini, akan terjadi pertarungan dua figur yang merepresentasikan dua sisi yang kontradiktif. Dari partai Republik, ada Donald Trump sebagai inkumben. Sementara dari partai Demokrat, ada Joe Biden, mantan wakil Presiden AS.
Donald Trump adalah representasi dari massa populis anti-establishment yang kini sedang membajak Partai Republik. Keras soal imigrasi, tegas dengan kriminalitas, dan tidak segan menyatakan political incorrectness. Apalagi Beliau tidak berasal dari the political class yang menguasai politik Amerika Serikat sejak Perang Dunia Kedua. So, he didn't play by their rules again this time.
Joseph R. Biden, Jr. adalah antitesis dari Presiden Trump, baik secara pendirian maupun latar belakang politik. Liberal soal imigrasi, moderat terhadap kriminal, dan politically correct. Terlebih lagi, Beliau adalah veteran politik nasional Amerika Serikat. Sejak 1973, Beliau sudah berkiprah dalam politik tanpa henti sampai sekarang.
Sampai sekarang, polling masih menunjukkan kemenangan besar bagi Biden dalam Electoral College. Financial Times (2020) menyatakan bahwa jika pemilihan diadakan hari ini, 308 suara akan diperoleh Joe Biden. Sementara, Presiden Trump hanya memperoleh 131 suara. Mengapa Presiden Trump diproyeksikan akan kalah besar dalam pemilu ini?
Pertama, kacaunya penanganan COVID-19 di Amerika Serikat. Sejak awal, muncul sebuah kesan bahwa administrasi Trump tidak memiliki strategi komprehensif. Ketika banyak negara sudah menerapkan pembatasan sosial, pemerintah ini masih ribut soal pemakaian masker. Terlebih lagi, presiden ini juga mendukung para demonstran anti-masker dan anti-lockdown di berbagai wilayah.
Kedua, respons pemerintah terhadap social upheaval pasca pembunuhan George Floyd. Ketika banyak anak muda AS turun ke jalan menuntut keadilan, Presiden Trump tidak memberikan tanggapan yang tepat. Bukannya memberikan pesan kedamaian dan persatuan, Beliau justru membalas dengan keras. "I am your president of law and order," tandas Beliau (Liptak dan Westwood dalam mercurynews.com, 2020).
Penulis tidak simpatik dengan organisasi #BlackLivesMatter dan gerakan #DefundThePolice. Akan tetapi, perlu diakui bahwa AS memerlukan moral leadership yang penuh kasih. Compassion and mercy is needed to heal the divide. Bukan dengan melakukan crackdown terhadap mayoritas demonstran.
Bahkan, figur seperti Pat Robertson, seorang televangelis senior yang ultra-konservatif mengkritisi tindakan Presiden Trump. "You just don't do that, Mr. President. It isn't cool!" Seruan ini jelas menandakan bahwa Donald Trump sudah kebangetan.
Polling dan fenomena sosial-ekonomi memberikan sinyal negatif terhadap kemungkinan terpilih kembalinya Donald Trump. Dengan kata lain, Joe Biden memiliki peluang terbesar untuk meraih tampuk kepresidenan. Lantas, bagaimana perubahan konstelasi kebijakan AS jika Beliau menang?
Mari kita mulai dari dua kebijakan yang paling mempengaruhi Indonesia; hubungan internasional dan perdagangan luar negeri. Dalam isu ini, Biden lebih kooperatif dan terbuka. Misalkan dalam menghadapi the rise of China. Daripada melakukan perang tarif, Beliau memilih untuk bekerja sama dengan negara-negara aliansi AS untuk bernegosiasi dengan RRT secara multilateral. Sehingga, Beliau berjanji untuk memperbaiki hubungan AS dengan aliansinya. (McMillan dalam producer.com, 2020)
Selanjutnya, pada bidang ekonomi, Biden sebagai kandidat berusaha menampung arus demokratik sosialis kiri di Partai Demokrat. Maka dari itu, Beliau menjadi lebih progresif dalam berbagai kebijakan ekonomi. Tren ini tercermin dari talking points Beliau yang fokus kepada ketimpangan pendapatan, perubahan iklim, dan membangun kembali rantai pasok lewat government procurement.