Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gerakan Antikomunis? Tidak Genah!

17 Juli 2020   19:28 Diperbarui: 17 Juli 2020   19:20 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://m.beritahukum.com/

Kemarin, demonstrasi cukup besar terjadi di sekitar gedung DPR. Skala ini dibuktikan dengan ditutupnya jalan di depan DPR. Massa berhimpun karena acara Sidang Paripurna DPR yang membahas dua legislasi kontroversial; RUU HIP dan RUU Cipta Kerja alias Omnibus Law. Penolakan terhadap keduanya menjadi kebulatan suara demonstrasi kali ini. Lantas, DPR juga belum mengesahkannya.

Meski suaranya bulat, ternyata asal suara demonstrasi ini terpecah. Ada yang datang dari kalangan mahasiswa seperti GMNI UKI, Fijar, dan lain-lain. Begitu juga dengan serikat buruh seperti KSN, FPPI, GEBRAK, dan lain sebagainya. Namun, ada satu fragmen demonstan yang menarik perhatian penulis. Siapa mereka?

Namanya saja sudah intriguing; ANAK NKRI. Singkatan ini memiliki arti Aliansi Nasional Anti Komunis NKRI. Terdengar nasionalis dan menegangkan, bukan? Mendengarnya membuat penulis ingat dengan upaya TNI menumpas Pemberontakan Madiun 1948 atau Gerakan 30 September 1965.

"First impression are always unreliable," tandas Franz Kafka. Begitu juga dengan impresi awal penulis kali ini. Ternyata, aliansi ini adalah gabungan dari berbagai ormas Islam fundamentalis. Mulai dari FPI, PA 212, GNPF MUI, dan banyak lagi. Rekam jejak masa lalu mereka jelas tidak menunjukkan warna ideologi yang nasionalis.

Dengan kata lain, ANAK NKRI adalah serigala berbulu domba. Para pentolan gerakan fundamentalisme agama yang berganti rupa. Jika kemarin rupa mereka terang-terangan, maka kini mereka memakai jubah nasionalisme dan anti-komunisme. Sehingga, mereka bisa menyelip dalam dinamika isu anyar.

Paradoks ini diperparah dengan narasi yang dibawa. Pada deklarasinya 5 Juli 2020 kemarin, slogan-slogan ala 65 didaur ulang. Apelnya saja dinamakan "apel ganyang komunis". Ikrar yang dibacakan juga berjanji untuk melawan perubahan ideologi dan melindungi ulama dan negara dari komunis (Ariefana dalam suara.com, 2020). Intinya, "komunis" adalah samsak tinju yang harus dipukul.

Lebih jauh lagi, aksi antikomunis macam ini bukan kali pertama. Pada Juni 2016, DPD FPI mengadakan demo antikomunis di berbagai daerah. Unjuk rasa ini sempat viral karena tema besarnya yang sungguh keblinger. Lihat saja foto berikut ini:

Sumber: https://www.merdeka.com/
Sumber: https://www.merdeka.com/
Bayangkan, liberal disamakan dengan PKI karena menolak hukum agama. Cocoklogi ini jelas menyalahi pemahaman ideologi politik dasar. Liberalisme dan komunisme adalah dua ideologi yang antagonistik. Keduanya ibarat minyak dan air yang tidak bisa menyatu. FPI malah memaksakan persamaan keduanya sebagai landasan gerakan mereka pada waktu itu. Sebuah landasan yang jelas ora genah.

Keanehan ini semakin kentara ketika BBC News Indonesia (dalam bbc.com, 2016) menelusuri pemahaman peserta aksi akan maksud slogan tersebut. Hasilnya, banyak peserta aksi yang gagal paham dan tidak bisa menjawab.

Ternyata, evolusi gerakan politik ini menjadi ANAK NKRI tidak mengubah kualitas narasinya. Blunder lagi, keblinger lagi. Kali ini, ada salah tiga narasi yang kembali menimbulkan pertanyaan.

  1. Bubarkan partai pengubah Pancasila.
  2. Lawan gerombolan Trisila dan Ekasila.
  3. Makzulkan Jokowi.

Partai pengubah Pancasila? Siapa yang mengubah Pancasila? PDI Perjuangan? Ibu Rieke Diah Pitaloka? Menurut hemat penulis, Pasal 7 RUU ini tidak mengubah Pancasila sedikitpun. Justru, legislasi ini menancapkan sebuah interpretasi tunggal pemerintahan terhadap ideologi Pancasila, terinspirasi dari buah pikiran Bung Karno. Itulah mengapa penulis menentang RUU HIP pada tulisan ini.

Jadi, masalah terletak pada monopoli interpretasi Pancasila di tangan negara. Bukan terhadap interpretasi Trisila-Ekasila itu sendiri. Justru, adanya dikotomi Pancasila-Trisila-Ekasila menunjukkan bahwa Pancasila berasal dari cara hidup asli Indonesia, gotong royong. Terlebih lagi, lima mutiara indah yang datang dari budaya manusia Indonesia itu sendiri. Bukan dari budaya-budaya lain.

Dampaknya, implikasi bahwa kelompok penyokong Trisila-Ekasila harus dilawan menjadi tidak valid. Mereka tidak salah untuk mengangkat interpretasi Bung Karno ke ranah publik. Justru, hal yang harus dilawan adalah nafsu kuasa pemerintahan untuk memonopoli ideologi Pancasila secara legal. Biarkan setiap individu memaknai Pancasila dengan caranya sendiri, supaya tumbuh jutaan arti partikular.

Berbicara soal nafsu kuasa, disinilah narasi ketiga bermain. Slogan "makzulkan Jokowi" menjadi kulit pisang yang memelesetkan gerakan ini. Tujuan mereka yang sebenarnya terungkap dengan pernyataan ini. Jelas bahwa mereka menggunakan RUU HIP dan dinamika legislasi lainnya sebagai kuda tunggangan. Sebenarnya, destinasi mereka tetap sama; kekuasaan dan pengaruh politik.

Sebagai seorang antikomunis (bahkan anti sosialisme secara umum), penulis geleng-geleng kepala melihatnya. Gerakan ini tidak genah sama sekali. Mereka mengklaim diri antikomunis, namun menolak RUU Cipta Kerja. Waktu mayoritas gerakan antikomunis sepanjang sejarah menyokong pasar bebas, ANAK NKRI malah terang-terangan menolaknya. Sifat gerakan mereka juga kolektivis.

Akhirnya, satu pertanyaan muncul di benak penulis. Apakah benar gerakan antikomunis ini, anti-komunisme? Jawabannya adalah tidak. Sejak awal, pemahaman gerakan ini terhadap komunisme sudah tidak genah. Mereka hanya memakai "komunis" sebagai kambing hitam dan RUU HIP sebagai kendaraan menuju kekuasaan politik. This is not a battle of ideas, but a battle for power and influence.

Trik usang ini sudah dipakai berkali-kali. Jangan sampai kita tertipu lagi!

REFERENSI

https://www.suara.com/. Diakses pada 16 Juli 2020 (21.11).

https://metro.tempo.co/. Diakses pada 16 Juli 2020 (21.35).

https://nasional.kompas.com/. Diakses pada 16 Juli 2020 (21.37).

Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun