Dengan upaya ini, Pertamina dapat memangkas unit produksi dan distribusi yang diperlukan. Pemangkasan ini muncul dari berkurangnya kebutuhan penyulingan dan storage yang diperlukan oleh perseroan. Sehingga, biaya rata-rata produk BBM yang dipasarkan menurun. Jika biaya produksi berhasil ditekan, maka model bisnis Pertamina akan semakin menguntungkan. Selain itu, harga BBM yang tertera di SPBU-SPBU kita bisa diturunkan.
Lantas, penurunan harga BBM inilah yang diperlukan oleh konsumen. Mengapa? Sebab harga jual BBM di POM bensin kita terlalu mahal.
Kini, Pertamax Turbo (RON 95) dijual pada harga Rp 9.850/liter. Akan tetapi, harga BBM RON 95 pada negara-negara tetangga kita jauh lebih rendah. Malaysia menjualnya pada Rp 4.387/liter. Myanmar mengenakan harga 5.478,31/liter. Terakhir, Vietnam memberikan harga Rp 7.582,96/liter untuk BBM RON 95 (Baskoro dalam industri.kontan.co.id, 2020).Â
Sehingga, langkah ini harus dilakukan jika pemerintah benar-benar ingin menolong rakyat; Menyediakan BBM berkualitas dan ramah lingkungan dengan harga yang kompetitif. Bukan dengan terus mencekoki masyarakat BBM yang tidak ramah lingkungan dan not value for money.
Meski demikian, langkah ini bukan tongkat ajaib yang menyelesaikan masalah ekonomi-lingkungan. Dia hanya batu loncatan jangka menengah yang membantu bangsa ini naik kelas dalam pemenuhan energi. Dari BBM beroktan rendah menuju BBM beroktan tinggi. Tentu saja ini harus terjadi. Namun, di masa depan, kita harus beralih dari BBM itu sendiri menuju energi baru terbarukan (EBT).
Bagaimana cara kita menyongsong peralihan tersebut? Menurut hemat penulis, cara terbaik adalah dengan mengubah pola konsumsi masyarakat dan mendukung research & development (R&D).Â
Lebih jauh lagi, keduanya harus dipromosikan lewat kebijakan publik untuk mengubah insentif secara makro. Intinya, buat penggunaan bahan bakar tidak terbarukan menjadi mahal dan R&D energi terbarukan terjangkau.
Dalam mendorong biaya penggunaan bahan bakar tidak terbarukan, pemerintah bisa memulai dengan meningkatkan pajak atas BBM (PPh). Selanjutnya, pemerintah juga sebaiknya merubah basis objek pajak kendaraan bermotor.Â
Jika sekarang kapasitas mesin (dalam CC) menjadi salah satu basis penentuan pajak, maka ini harus diganti dengan jumlah emisi yang dikeluarkan. Sehingga, masyarakat akan mengubah preferensinya menuju kendaraan beremisi rendah. Terakhir, pemerintah melalui Pertamina juga dapat memperbanyak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG).Â
Sementara, dalam mendukung R&D energi terbarukan, pemerintah sudah melakukan langkah yang benar dengan memberikan tax holiday dan tax allowance untuk keduanya.Â
Namun, harus ada upaya kebijakan publik yang lebih mendasar lagi. Upaya tersebut dapat diwujudkan lewat perubahan terhadap basis objek pajak korporasi (PPh 23) dari net income menuju distributed net profit/dividen.Â