Sejak COVID-19 mewabah, banyak pihak mengibaratkannya sebagai bala tentara. Penulis sepakat dengan perumpamaan ini. Apalagi dalam konteks kehidupan ekonomi. Virus ini adalah bala tentara masif yang merisak urat nadi perekonomian secara menyeluruh.
Gangguan ini tercermin dari pergerakan pasar modal kita. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah turun 26% sejak awal tahun. Ini menunjukkan bahwa COVID-19 melumpuhkan perekonomian kita. Lumpuh karena pelaku pasar dengan animal spirits-nya panik dan pesimis terhadap masa depan.
Kepanikan dan pesimisme ini bisa berlarut-larut. Mengapa? Sebab keduanya membuka kesempatan bagi agitasi. Dalam situasi ini, kita sebagai pelaku lebih mudah terhasut oleh kabar burung. Kita tidak lagi mengambil keputusan berdasarkan fakta dan rasionalitas. Akibatnya, tindakan-tindakan seperti panic buying di pasar barang dan panic selling di pasar modal marak terjadi.
Adanya panic buying mengganggu stabilitas sistem rantai pasok berbagai kebutuhan. Dampaknya, muncul kelangkaan di sekitar kita. Sementara, panic selling mengganggu stabilitas sistem keuangan (SSK) kita. Ambyar karena investor melepas kepemilikannya secara masif.
Maka dari itu, kita harus menghentikan penyebab dari kerentanan ini. Penyebab itu sendiri terdiri atas tiga unsur. Pertama, persentase partisipasi investor domestik ritel yang rendah. Kedua, ide investasi pasar modal yang kurang membumi di masyarakat. Ketiga, investor ritel yang kurang memahami instrumen yang mereka beli. Lantas, ketiga pemicu inilah yang membuat rapuh fondasi pasar modal kita.
Sampai akhir 2019, baru ada 2,5 juta investor ritel berdasarkan Single Identification Number (Aldin dalam katadata.co.id, 2019). Padahal, jumlah penduduk kita mencapai 260 juta jiwa. Sehingga, baru 0,96% dari penduduk Indonesia yang memiliki instrumen pasar modal. Alamak, bahkan 1% pun tidak!
Bandingkan dengan tingkat partisipasi di negara tetangga. 25% penduduk Malaysia adalah investor ritel. Thailand malah sudah berada di tingkat 37,2%. Apalagi Singapura yang sudah berada di sekitar 40%. Tandanya, negara kita tertinggal jauh dalam hal ini
Mengapa partisipasi investor ritel kita begitu rendah? Menurut hemat penulis, ini disebabkan oleh ide investasi pasar modal yang kurang membumi. Ada persepsi negatif yang keliru di masyarakat mengenai pasar modal, despite all the campaign efforts. Agitasi menang melawan promosi.
Bahkan, di lingkungan penulis masih tertanam stigma bahwa, "Pasar modal itu beresiko besar, lebih banyak ruginya." Lebih parah lagi, ada yang menganggap bahwa pasar modal sama seperti perjudian. Akibatnya, stigma ini mengalami resonansi dan menimbulkan agitasi yang memagari; Menghalangi calon investor ritel untuk nyebur di pasar modal.
Sehingga, rakyat Indonesia lebih nyaman dengan ide membeli emas, tanah, deposito berjangka, dan yang setara lainnya dibandingkan pasar modal sebagai medium berinvestasi. Agitasi "hindari risiko dan ketidakpastian" menjadi hantu yang menjauhkan orang-orang dari pasar modal. Akhirnya, pembentukan investor ritel baru melamban.
Ternyata, agitasi tidak hanya terjadi di luar pasar modal. Pada lantai bursa, agitasi juga menjalar bagai api menjilat ranting kering. Kalau para penggoreng uang panas dan bandar menjual instrumen beramai-ramai, investor ritel mengikutinya. Tren ikut-ikutan ini dipantik agitasi yang mirip, yaitu menghindari kerugian (cut loss). Ini adalah pola pikir yang salah kaprah.
Jadi, kita semestinya jangan mau dihasut dan ikut panik. Justru, manfaatkan "promo" ini sebagai kesempatan untuk menjadi investor ritel di pasar modal. Kemungkinan untungnya lebih besar, Bung. Begitu pula kita yang sudah menjadi investor ritel sebelumnya. Jangan cut loss. Justru, gunakan situasi ini untuk membeli wonderful companies at a fair price, seperti nasihat Warren Buffett.
Melalui pemanfaatan ini, kita akan memenuhi sebuah panggilan patriotik. Ibarat mitologi Yunani Kuno, kita akan menjadi Atlas yang menopang pasar modal dan sistem keuangan di pundak kita. Sehingga, kita dapat mencegahnya dari kejatuhan lebih jauh. Bahkan, kita dapat menjadi kekuatan yang membuatnya naik kembali seperti sediakala.
Kalau kita bisa begini, maka SSK Indonesia akan terjaga keberlanjutannya. Sebab fondasinya tidak lagi rapuh dan mudah dihancurkan oleh agitasi para penggoreng. Kalau keberlanjutan itu terwujud, maka pembangunan bangsa ini dapat berlangsung dengan optimal. Sebab sistem keuangan sebagai generator kekayaan yang diperlukan itu lebih produktif dan dapat diandalkan.
Kesimpulannya, kita bukan bangsa penakut. Kita bangsa yang optimis. Kalau pasar modal jatuh karena COVID-19, jangan panik dan menjauh darinya. Justru, ini adalah kesempatan untuk menjadi pemilik bisnis-bisnis nasional kita dengan harga diskon.
Diskon pasar modern saja dijabani. Masa pasar modal tidak?
DAFTAR PUSTAKA
katadata.co.id. Diakses pada 17 April 2020 (23:03).
thestar.com. Diakses pada 17 April 2020 (23:03).
bangkokpost.com. Diakses pada 17 April 2020 Â (23:03).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H