And I can't fight this feeling anymore
I've forgotten what I started fighting for
It's time to bring this ship into the shore
And throw away the oars, foreverÂ
Ada yang masih ingat dengan lagu ini? Kalau ingat, artinya bisa dua. Pertama, pembaca adalah bagian dari generasi X/Boomers yang menjadi anak muda di era 80an. Kedua, selera musik pembaca memang oldies. Sama seperti penulis.
Refrain dari lagu REO Speedwagon berjudul "Can't Fight This Feeling" ini menggambarkan perasaan penulis. Khususnya perasaan terhadap Covid-19 alias Corona yang mewabah saat ini. Â Bahkan, penulis sering sengaja mengganti bagian akhir refrain lagu ini:
It's time to bring this ship into the shore
And throw away Corona, foreverÂ
Rasa gemas selalu membuncah ketika melihat gambar virus ini. Mengapa? Sebab virus ini menyebabkan kematian ribuan orang di seluruh dunia. Terlebih lagi, dia mematikan rezeki sektor informal karena kehilangan konsumen di lapangan. Kegiatan mayoritas umat manusia juga dibatasi. Dipagari. dihalangi. Oleh sebuah slogan bernama physical distancing.
Dengan pembatasan ekstrem ini, umat manusia dipaksa untuk membongkar kebiasaan lama. Mengubah pola hidup dari regular living menuju remote living.Â
Para pekerja formal kini bekerja dari rumah. Anak-anak sekolah sudah belajar lewat kelas online. Begitu pula dengan para mahasiswa. Bahkan, ujian tengah semester (UTS) juga dilakukan via sistem online milik universitas.Â
Transisi menuju remote living memang tidak mudah. Apalagi kalau kita sudah terbiasa berkegiatan di luar seperti penulis. Lantas, proses apa yang dilewati dalam transisi ini? Dari pengalaman penulis, proses ini mirip dengan culture shock.
Pertama, kita pasti merasakan fantasia bulan madu. The honeymoon stage. Dalam tahap ini, kita merasakan euforia perpindahan dari kebiasaan lama. Euforia ini muncul karena kita berpindah dari rutinitas lama dan segala kerumitannya.Â
"Hore tidak perlu ngantor," atau "Yes! Kuliah/sekolah dari rumah!" Itulah sebagian kecil ekspresi dari individu yang berada di tahap ini.
Saat sampai ke rumah, rasanya lega. Akhirnya bisa berkuliah dari rumah tercinta. Cukup jauh dari kampus dan hiruk pikuk kehidupan anak kos. Muncul sebuah kesan bahwa remote living adalah break yang penulis butuhkan dari rutinitas yang melelahkan.Â
Akan tetapi, waktu akan membuat kita frustasi dengan remote living.  The frustration stage. Ternyata, utopia yang selama ini kita dambakan tidak sesuai kenyataan.Â
Pada tahap ini, berbagai kekurangan remote working mulai menyita perhatian. Mulai dari jaringan internet yang byar pet, ketiadaan "rasa bekerja" yang mendorong produktivitas, dan lain sebagainya.Â
Penulis sendiri mengalami ini empat hari setelah PJJ dimulai. Koneksi internet sendiri tidak bermasalah. Namun, menjaga disiplin selama kuliah selama PJJ ternyata sangat sulit.Â
Banyak "godaan" yang muncul selama kuliah. Mulai dari media sosial sampai multitasking tugas lain sembari kuliah. Akibatnya, konsentrasi kadang ambyar tanpa sadar.
Sampai saat ini, penulis sendiri masih "frustasi" dengan PJJ. Akan tetapi, berbagai kelebihan dari remote living membuat penulis mulai menyesuaikan diri dengannya. Ada kedekatan yang semakin erat dengan keluarga inti, mendapatkan pengetahuan teknologi baru, dan lain-lain.Â
Belum lagi, remoting masih akan berlangsung sampai Mei/Juni nanti. Sehingga, penulis wajib menjalani the adjustment stage. Jika tidak, penulis bisa stress dan lebih mudah terpapar Covid-19. Adapt or die.
Setelah berhasil menyesuaikan diri, maka kita dapat menerima keadaan tersebut. Inilah yang disebut sebagai the acceptance stage. Kita mulai menerima realita remote living sebagai gaya hidup.Â
Tidak ada lagi prasangka yang keliru terhadap berbagai polah remoting. Semua dijalani sebagai realita yang memang harus terjadi. Semoga penulis bisa sampai ke langkah ini.
Dirangkum dalam suatu urutan, inilah yang terjadi selama beradaptasi menuju remote living:
- Achieving the dreamÂ
- Loathing the reality
- Adjusting to reality
- Getting on with reality
Selanjutnya, proses inilah yang memberikan banyak pelajaran bagi kita semua. Pelajaran-pelajaran tersebut berserakan di sekitar. Kita hanya perlu membuka diri untuk menerimanya.
Pertama, kita diajarkan untuk membuktikan kepedulian. Be empathetic. Berbagai aksi di seluruh dunia untuk membantu dan memberikan apresiasi terhadap upaya perang melawan Covid-19 menunjukkan empati tersebut. Ini menjadi sebuah bukti bahwa ketika tantangan besar menghadang, we human beings can take up the challenge.
Kedua, kita diajarkan untuk menjaga kebersihan diri. Dari dulu, kita berkata bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Namun, kebiasaan kita yang tak acuh kepada kebersihan diri membuatnya pepesan kosong belaka.Â
Sejak Covid-19 mendera, urgensi kebersihan meningkat pesat. Akhirnya, kita dipaksa untuk menjaga higienitas demi menghalangi penularan. Tanpa Covid-19, mungkin kita akan masih business as usual dan tidak mafhum.
Ketiga, kita diajarkan untuk mendekat dengan keluarga inti kita. Selama ini, regular living membuat kita jauh dari orang terdekat kita. Khususnya keluarga sebagai harta paling berharga. Akhirnya, demi mencegah penyebaran pandemi ini, interaksi kita dengan keluarga melalui #dirumahaja meningkat.
Memang benar kata Presiden Ronald Reagan, "If they can't see the light, make them feel the heat." And Covid-19 is a strong one indeed. Even I can't fight this feeling anymore; We should learn the lesson.
Baik, Covid-19. We got the lesson. Sekarang, tolong segera pergi. Agar kehidupan bisa kembali menuju kelaziman. Sebuah kelaziman baru yang lebih menghargai kebersihan, lebih berempati, dan menjunjung tinggi nilai kekeluargaan.
REFERENSIÂ
Medium. Diakses pada 4 April 2020.Â
Azlyrics. Diakses pada 4 April 2020.Â
Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.
[Link] Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H