Indonesia adalah negara yang penuh dengan hal-hal mistis. Pernyataan ini dibuktikan dengan hantu-hantunya yang sangat beragam. Bahkan, setiap kultur memiliki persepsi hantu yang berbeda-beda. Belum lagi, ada perbedaan deskripsi hantu yang berkuasa di setiap wilayah.Â
Hal ini adalah bukti dari multikulturalisme kita. Namun, pada waktu yang sama, ia juga mencerminkan sebuah jerat yang mengikat masyarakat kita. Apa jerat tersebut? Logika mistika. Istilah yang dicetuskan Tan Malaka ini mencerminkan sebuah masyarakat yang lebih percaya hal mistis. Ia belum memiliki rasionalitas dan cara berpikir yang ilmiah dan faktual.
Sejak masa penjajahan, hantu-hantu ini "digunakan" untuk berbagai tujuan. Ada hantu seperti Wewe Gombel yang digunakan untuk menjaga kelakukan anak kecil. Khususnya agar tidak ngayeng malam-malam. Selain itu, ada hantu yang digunakan agar manusia selalu menjaga dirinya seperti kuntilanak, pocong, dan lain sebagainya.Â
Semua tujuan itu menggunakan cara yang sama; Ketakutan. Mendengar cerita-cerita seram tentang hantu mendorong manusia untuk bertindak dalam konvensi masyarakat. "Kalo macem-macem, ditakutin hantu luh." Lantas, rasa takut diapa-apain hantu inilah yang mendorong ketaatan anggota masyarakat.
Namun, disrupsi teknologi dan profesi di era Revolusi Industri 4.0 membawa Indonesia menuju masa peralihan. Sebuah transisi dari era logika mistika menuju cara pikir yang lebih rasional. Lantas, bagaimana wujud disrupsi yang mendorong peralihan ini?
Menurut hemat penulis, peralihan ini didorong oleh kemunculan YouTube dan Instagram. Dengan platform ini, muncul profesi Youtuber dan Instagrammer. Dua profesi kreatif yang memerlukan inovasi terus menurus. Dorongan inovasi inilah yang membuat para kreator konten ini mencari "pagar" untuk didobrak.
Hantu adalah "pagar" yang selama ini membatasi tindakan kita di dalam konvensi masyarakat. Maka dari itu, para inovator ini melihat hantu sebagai objekan. Lebih jauh lagi, batasan yang harus didobrak untuk menimbulkan viralitas di masyarakat. So, they disrupt it accordingly.
Sampai akhir 2010-an, acara mistis di televisi dan YouTube didominasi oleh konsep yang menciptakan ketakutan dan rasa penasaran terhadap hantu. Masih ingat dengan Mister Tukul Jalan-Jalan? Masih Dunia Lain? Scary Job? Acara-acara  ini adalah contoh nyata dari konten mistis era 2010-an.
Aliran tontonan-tontonan ini sama. Mereka mengeksplor lokasi-lokasi angker dan berusaha mengungkap para hantu di depan kamera. Itulah sebabnya penampakan selalu berusaha ditangkap. Lebih jauh lagi, mediasi dan kesurupan adalah hal yang diharapkan terjadi. Mengapa? Sebab manifestasi di luar nalar seperti ini membuat penonton semakin takut sekaligus penasaran.
Dengan kata lain, they still create within the convention. Hantu itu menakutkan, misterius, dan tidak lucu. Bahkan, pembawa acara se-koplak Tukul Arwana sekalipun tidak berhasil menanggalkan kesan seram di Mister Tukul.Â
Akan tetapi, sebuah tren baru muncul tiga tahun belakangan. Beberapa Youtuber Indonesia mulai melakukan sebuah ide gila. Predikat gila pantas diberikan, sebab mereka mendobrak konvensi masyarakat. Hantu itu tidak menakutkan, tidak misterius, dan bisa menjadi lucu dengan perundungan.Â
Perundungan yang terjadi juga berbagai macam. Ada yang memukul pocong dengan panci. Ada pula yang menembak kuntilanak dengan kembang api. Bahkan, ada yang menghajar kuntilanak menggunakan mercon. Sudah begitu, mereka juga melakukannya secara live di YouTube. Intinya, mereka ingin melakukan agresi terhadap hantu yang (sebenarnya) hanya ingin menunjukkan eksistensi dan merekam secara langsung.
Namun, perundungan bukan satu-satunya jalan memancing manifestasi dari para hantu. Beberapa kreator konten melakukan interview sebagai cara. Wawancara ini kadang dilakukan melalui mediator. Mirip seperti acara Dua Dunia. Akan tetapi, ada juga yang berupaya berkomunikasi secara langsung dengan batin. Lantas, jawaban dari para entitas gaib ini dielaborasi oleh sang komunikan.
Meski caranya berbeda, ada satu hal yang jelas. Kini hantu dijadikan konten YouTube oleh manusia. Sehingga, mereka mengalami penurunan harga diri yang drastis. Dari yang sebelumnya ditakuti, sekarang hantu mengalami eksploitasi. Digunakan sebagai bahan rundungan manusia demi menciptakan sensasi di dunia maya, instead of being feared.
Apakah ini melanggar hak asasi mereka? Iya dan tidak. Iya karena harga diri mereka jelas dilecehkan. Bayangkan saja jika kita berada di posisi mereka? Dipukul, ditembaki, bahkan dibakar. Tidak enak, bukan? Belum lagi mereka dipaksa untuk "pindah alam" waktu berbicara dengan manusia.
Meski demikian, hantu memiliki derajat yang lebih rendah dibanding manusia. Semestinya, mereka memiliki hak dan kewajiban asasi yang berbeda. Belum lagi, banyak hantu-hantu ini memang mengganggu masyarakat. Dampaknya, mereka pantas untuk dihajar seperti itu agar tidak nakal.Â
Kesimpulannya, ada satu alasan kuat mengapa hantu mengalami penurunan harga diri saat ini; Disrupsi teknologi dan profesi. Adanya fenomena ini mendorong para inovator di media sosial untuk mendobrak konvensi masyarakat. Dan pada masyarakat Indonesia yang penuh hal mistis, hantu menjadi sasaran gebrakan ini. Akhirnya, para hantu pun jatuh harga dirinya.Â
Fenomena ini miris, namun perlu terjadi. Supaya masyarakat kita bisa memiliki faktor pendorong ketaatan yang lebih rasional dibanding ketakutan diapa-apain hantu.
Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis.
Link:Â https://www.qureta.com/next/post/mengapa-harga-diri-para-hantu-menurun.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H