Kemarin malam, penulis berkesempatan untuk menonton film Akhir Kisah Cinta Si Doel. Film ini sudah dinanti-nanti oleh khalayak. Penulis adalah salah satunya. Meski penulis adalah anggota Generasi Z (belum lahir saat Si Doel Anak Sekolahan ditayangkan di televisi), namun penulis cukup mengidolakan cerita ini. Mengapa? Sebab kisah ini realistis, reflektif, dan sarat makna.
Ia realistis karena tidak ada polarisasi tokoh di dalamnya. Tak ada tokoh protagonis yang maha sempurna dan si antagonis maha jahat seperti sinetron masa kini. Justru, setiap karakter digambarkan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Doel memang jujur, namun plin-plan luar biasa. Sarah memang gemilang dalam karier, namun terlalu asertif. Sementara Zaenab memang punya cinta yang tulus, namun kurang asertif.
Tritagonisnya setiap tokoh, ditambah dengan latar cerita yang dekat dengan masyarakat pinggiran Jakarta membuat kita serasa ngaca waktu menyaksikan si Doel. Kita pasti pernah menemui adik yang setia dan bawel seperti Atun. Atau paman yang lucu dan ngomel melulu macam Mandra. Bahkan sosok anak SD seperti Abi Kartubi, anak Mpok Atun yang sering melawan perintah ibundanya.Â
Dari interaksi para tritagonis inilah muncul berbagai pelajaran kehidupan. Pelajaran-pelajaran ini luas bidangnya. Mulai dari cara kita berinteraksi sebagai makhluk sosial, cara menghormati orangtua, cara menjaga prinsip, bahkan sampai pelajaran berpolitik pun ada. Jarang ada kisah keluarga sederhana dengan makna sedalam ini.
Ketiga alasan inilah yang membuat penulis terus mengikuti Si Doel. Bahkan, ketika Rano Karno mengumumkan bahwa Si Doel The Movie 3 akan menjadi akhir cerita ini, penulis langsung mengimpikan menonton film ini bersama keluarga. Akhirnya, impian ini terjadi pada 23 Januari 2020.
Ketika masuk dan duduk dalam sinema, perhatian penulis langsung tertarik pada satu hal; Demografi para penonton yang berdatangan. Mereka datang silih berganti, namun hampir semua berada dalam rentang demografi yang sama. Mereka adalah bapak-bapak dan ibu-ibu paruh baya yang membawa keluarganya. Para anggota Baby Boomers dan Generasi X yang sudah menginjak remaja/dewasa saat SDAS tayang di televisi.
Bahkan, mayoritas Generasi Y dan Generasi Z yang datang dibawa oleh mereka. Menurut hemat penulis, para penonton menjadikan film ini sebagai ajang kumpul keluarga. Persis seperti versi sinetronnya di era 90an. Sebuah tayangan yang menyatukan keluarga di ruang tamu untuk menonton TV bersama dan bercengkerama.
Singkat cerita, film pun dimulai. Selama menonton, penulis memerhatikan tiga ekspresi emosi yang mendominasi penonton. Ada tertawa, menangis, dan melongo alias diam seribu bahasa.Â
Pembaca sekalian pasti tahu siapa pemancing tawa dalam film ini. Jelas Bang Mandra. Akan tetapi, pancingan tawa kali ini berbeda. Sepertinya, Rano Karno sebagai sutradara menanggapi keluhan Mandra yang merasa ngelenong sendiri. Kini, Mandra memiliki beberapa pemeran pembantu yang ikut melawak bersamanya, macam Abi Kartubi dan Maulana (diperankan Ustadz Maulana). Sehingga, Beliau makin menggelitik penonton.
Tangisan muncul ketika cinta segitiga Doel-Sarah-Zaenab bergulir dan patah. Disinilah inti dari film ini. Decisively breaking the love triangle between them. Dan Doel sebagai eksekutor adalah antitesis dari the decisive man. Itulah alasan mengapa kisah ini bergulir sampai 27 tahun. Lantas, tahap akhir dari kisah cinta ini sungguh memakan emosi mereka bertiga. Dipadukan dengan soundtrack yang sedih dari Andmesh Kalameng membuat mayoritas penotnon ikut terbawa dalam proses tersebut. Alias ikutan menangis seperti Doel, Sarah, dan Zaenab.
Lantas, diam seribu bahasa terjadi saat pembicaraan-pembicaraan yang menentukan terjadi. Ketika pembicaraan soal cinta segitiga ini terjadi, penonton seperti terhipnotis. Bahkan, penulis yang belum selesai tertawa karena Mandra pun langsung diam dibuatnya. Secara bahasa, dialognya sederhana, bahkan cenderung biasa saja. Namun, cara Doel-Sarah-Zaenab menyampaikannya membuatnya memiliki kekuatan.