Sampai sini, semua ekonom setuju dengan dasar-dasar Kurva Laffer. Namun, para ekonom masih memperdebatkan tingkat tarif yang memaksimumkan penerimaan pajak pemerintah. Dengan kata lain, dimanakah puncak dari punuk kurva ini?Â
Sampai tahun 2010, para ekonom sepakat bahwa puncak itu terletak pada tarif 70%. Namun, sebuah penelitian dari Christina dan David Romer mematahkan konsensus ini.Â
Kedua ekonom liberal Amerika ini menyatakan bahwa setiap kenaikan tarif pajak sebesar 1% akan mengurangi PDB sebesar 3%. Sehingga, punuk Kurva Laffer terjadi pada tingkat tarif pajak 33,3% atau 1/3 (Groseclose dalam ricochet.com, 2012).
Artinya, tarif pajak korporasi Indonesia saat ini berada pada Prohibitive Range. Sehingga, menurunkan tarif pajak korporasi akan mengurangi penerimaan pajak pemerintah dalam jangka pendek. Inilah yang disebut sebagai arithmetic effect. Sebuah efek jangka pendek pemotongan tarif pajak terhadap penerimaan pajak pemerintah.
Akan tetapi, ada satu efek lagi yang belum kita bahas. Efek inilah yang menjadi kunci meningkatnya penerimaan pajak pemerintah dalam jangka panjang setelah pemotongan tarif pajak. Singkatnya, this made tax cuts pay for itself. Apa nama efek tersebut? Arthur Laffer menamakannya sebagai economic effect.Â
Efek ini adalah peningkatan efisiensi, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi dari pemotongan pajak. Dengan pemotongan tarif pajak, korporasi bisa memiliki lebih banyak dana untuk reinvestasi dan pengembangan usaha.Â
Kedua hal inilah yang mampu mendorong efisiensi dan produktivitas korporasi sebagai entitas ekonomi. Sehingga, pertumbuhan ekonomi pun meningkat.
Terlebih lagi, para ekonom sepakat bahwa corporate tax cuts dapat mendorong penerimaan pajak dalam jangka panjang. Mengapa? Sebab mereka memiliki kontrol yang tinggi terhadap waktu, level, dan unsur-unsur pendapatan mereka (Mitchell dalam fee.org, 2018).Â
Sehingga, korporasi memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menanggapi pemotongan tarif pajak. Dampaknya, efek yang diharapkan dapat bekerja dengan cepat.
Kesimpulannya, ditinjau dari Kurva Laffer, langkah pemotongan tarif PPh 23 dalam Omnibus Law kita sudah tepat. Secara fiskal, pemotongan yang dilakukan masih sustainable dan prudent. Penurunan penerimaan pajak pemerintah karena pemotongan ini tidak akan membahayakan posisi fiskal kita.
Selain itu, efek ekonomi yang timbul juga diperlukan untuk mendorong kompetitifitas ekonomi kita. Kompetitifitas inilah yang harus kita dorong untuk me-recharge perekonomian kita lewat inisiatif sektor privat. Sehingga, Indonesia mampu lepas dari middle-income trap yang selama ini menjeratnya.