Empat hari lagi, PDIP akan melangsungkan Kongres Partai ke V. Kongres partai terbesar di Indonesia ini sudah menjadi perhatian segenap pengamat politik. Persiapannya saja sudah ditayangkan di headline berita televisi nasional. Begitu pula dengan konferensi pers mengenai seluk beluk Kongres secara umum.
Dalam Kongres ke V ini, PDIP ingin menunjukkan tanduknya sebagai partai yang modern. Ia akan menonjolkan warna kebudayaan Indonesia. Kesenian-kesenian dari berbagai wilayah di Indonesia akan ditampilkan. Selain itu, Kongres ini juga melarang penggunaan plastik. Sangat sesuai dengan program pemerintahan Jokowi yang ingin mengurangi sampah plastik (Kadafi dalam merdeka.com, 2019).
Tetapi, tradisi-tradisi Kongres sebelumnya tidak akan ditinggalkan. Para penggembira dalam acara partai tetap dilibatkan. Selain itu, satu tradisi lagi juga tidak luput dari Kongres PDIP. Tradisi tersebut berbunyi demikian:
"Ibu Megawati pasti dipilih kembali menjadi ketua partai."
Sebagai ketua Partai, Megawati Sukarnaputri (itulah penulisan nama yang benar menurut Bung Karno) sudah menjabat selama 20 tahun. Sejak PDIP berdiri tahun 1999, ketuanya belum pernah diganti. Beliau telah memecahkan rekor ketua umum partai politik (parpol) terlama di Indonesia. Angela Merkel atau Margaret Thatcher mah lewat kalau soal waktu jabatan sebagai ketum parpol.
Lantas, mengapa PDIP sebagai body politic sangat setia kepada Megawati? Padahal, partai ini memiliki banyak politisi-politisi ulung yang berpotensi menjadi ketum partai. Tetapi, mereka tidak pernah maju melawan Megawati. Mereka cenderung menghindari konfrontasi politik dan ikut mendukung pemilihan kembali Megawati sebagai ketum.
Jawaban pertanyaan tersebut terletak pada paradoks seorang Megawati. Pemalu namun asertif. Kalem tapi trengginas dalam orasi. Keibuan tetapi tega dalam berpolitik.
Sifat pemalu Ibu Mega terlihat ketika diwawancara. Beliau cenderung irit dalam memberikan jawaban. Presiden Jokowi saja masih sedikit lebih cerewet kalau diwawancara. Namun, di balik sifat tersebut, ada raksasa politik yang tahu apa yang dia inginkan. Ia memiliki hitung-hitungan politik yang cermat dalam melangkah. Itulah sebabnya PDIP tetap bertahan menjadi partai paling kuat di Indonesia.
Kalem? Lihat saja nada bicara Ibu Mega. Cool, calm, and collected. Seperti setiap kata sudah ditimbang dan dipilih secara hati-hati. Tetapi, ketika Megawati naik ke podium, Beliau bak banteng yang lepas dari kandangnya. She went ballistic. Mulai dari pekik "merdeka!" sampai nada bicara yang naik turun seperti roller coaster. Dalam berpidato, Beliau berusaha untuk menjaga reputasi sebagai anak Singa Podium.
Bahkan, Beliau pernah "kelewat liar" dalam debat Pemilu 2009. Dengan berapi-api, Beliau menyatakan bahwa Indonesia terletak di antara Australia dan Amerika. Ini adalah sebuah kesalahan data letak geografis yang mendasar. Sudah salah, kencang pula. Mungkin banyak dari kita sudah lupa. Tetapi penulis masih mengingatnya sampai sekarang.
Terakhir, sosok keibuan itu nampak dalam Politik Nasi Goreng. Beliau menggunakan skill memasak sebagai seorang ibu to get her way. Terbukti, metode diplomasi politik ini selalu berhasil. Lihat saja pertemuan Mega-Prabowo kemarin. "Luar biasa nasi gorengnya, saya sampai nambah," tandas Prabowo. Bekunya hubungan politik PDIP-Gerindra berhasil dicairkan lewat suguhan nasi goreng hangat.