Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Waktu Penulis Jadi Pemimpin

30 Juli 2019   13:19 Diperbarui: 30 Juli 2019   13:32 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: neilpatel.com

Sejarah adalah rangkaian cerita dari orang-orang hebat. History is the study of great men. Kebanyakan sosok-sosok hebat itu adalah pemimpin yang mengubah dunia. Latar belakang mereka pun bermacam-macam. Ada yang memang keturunan ningrat seperti Ratu Elizabeth 1 dan Ratu Kalinyamat. Tetapi, ada juga yang hanya anak seorang pedagang kelontong dan penjahit seperti Margaret Thatcher.

Tetapi, ada satu latar belakang yang (hampir) selalu menghasilkan pemimpin-pemimpin hebat. Mayoritas pemimpin dari latar belakang ini menjadi household names. Mereka selalu dikenang dan sulit dilupakan oleh dunia. Apa latar belakang tersebut?

Penulis. Iya, pemimpin dunia yang sebelumnya menjadi penulis. Umumnya, mereka sudah menelurkan berbagai karya tulis sebelum menduduki kursi kepemimpinan negaranya. Mulai dari artikel sampai buku berjilid-jilid. Seperti Sukarno, Winston Churchill, dan dalam dinamika dunia saat ini, Boris Johnson.

Mari kita mulai dengan mengupas Pemimpin Besar Revolusi kita.

Sejak muda, Bung Karno dikenal sebagai intelektual yang aktif menulis. Saking aktifnya, Beliau sampai membuat lebih dari 500 artikel dan komentar dalam surat kabar Oetoesan Hindia (berdikarionline.com, 2019). Tulisan-tulisan itu banyak membahas pergerakan kemerdekaan, kecacatan imperialisme, kolonialisme, dan lain sebagainya. Dari tulisan-tulisan itu, Bung Karno berteriak melawan penjajah.

Teriakan dari goresan pena ini membuat Bung Karno keluar-masuk penjara. Tetapi, Beliau tidak pernah menjadikan itu halangan. Justru, Beliau kekeuh menulis dalam berbagai media. Mulai dari koran sampai majalah. Dalam tulisan-tulisan itu, terkandung ide-ide Beliau yang revolusioner. Banyak konsepsi yang kita kenal sekarang berawal dari tulisan-tulisan tersebut. Mulai dari Pancasila sampai Nasionalisme Indonesia.

Coba kalau Beliau tidak menulis sama sekali? Mungkin bangsa kita tidak akan pernah merdeka.

Sementara, Winston Churchill melangkah lebih jauh. Beliau adalah seorang jurnalis di masa muda. Seorang jurnalis yang sering turun langsung menjadi koresponden perang. Korespondensi ini Beliau lakukan sambil menjadi tentara membela Imperium Britannia. Pekerjaan kepenulisan ini begitu beresiko. Bahkan, Beliau pernah ditangkap oleh pasukan Boer pada Perang Anglo-Boer tahun 1899.

Saat Churchill kembali ke Inggris, Beliau mengumpulkan tulisan-tulisan korespondensi tersebut. Setelah disunting, Beliau menerbitkannya menjadi sebuah buku. Seperti The Story of Malakaland Field Force, The River War, dan lain sebagainya. Sampai saat ini, buku-buku tersebut menjadi referensi historis bagi peristiwa yang terkait (winstonchurchill.org, 2019).

Bahkan, setelah Beliau pensiun sebagai Perdana Menteri Inggris, Churchill tetap aktif menulis. Selain melukis, menulis menjadi safety valve yang menjaga Beliau tetap eling. Bahkan, Beliau menerbitkan buku 4 volume berjudul A History of English-Speaking Peoples. Dalam 1412 halaman, Beliau merangkum sejarah Bangsa Inggris secara personal (winstonchurchill.org, 2019).

Selama hidupnya, Beliau menelurkan 43 buku. Ini menunjukkan kecintaan Beliau terhadap ranah kepenulisan. Menulis memberikan Beliau kesempatan untuk mengembangkan alam pemikiran dan menorehkan warisan abadi kepada sejarah. "History will be kind to me for I intend to write it."

Sekarang, Inggris memiliki seorang Perdana Menteri yang juga penulis biografi Churchill. Namanya Alexander Boris de Pfeffel Johnson. Akrab disapa sebagai Boris. Sebelum terjun ke politik, Beliau adalah seorang jurnalis koresponden Uni Eropa untuk The Telegraph. Setelah menjadi anggota parlemen dan Walikota London, Beliau tetap nyambi menulis.

Dari menulis, seorang Boris menjadi dikenal orang. Beliau dikenal sebagai jurnalis dan penulis yang kontroversial. Gaya menulisnya dikenal bombastis dan penuh dengan kata-kata kompleks. Sama seperti gaya bicaranya. Dengan gaya ini, Beliau mengkritik berbagai establishment yang dianggap menyulitkan. Mulai dari para birokrat di Uni Eropa sampai para sosialis-korporatis di Inggris.

Bahkan, Allsop (dalam cjr.org, 2019) menjuluki PM Boris sebagai Britain's Journalist Prime Minister. Jelas membuktikan kredensialnya sebagai pemimpin berlatar belakang penulis. 

Kini, Boris diberikan kesempatan untuk menorehkan kepemimpinan bagi negaranya. PM Boris memiliki kesempatan to put his views into practice. Penulis sendiri optimistis akan kepemimpinan Beliau. Banyak pandangan politik-ekonomi yang Beliau suarakan melalui tulisannya sangat sesuai dengan kondisi saat ini. Tinggal kita lihat saja bagaimana Boris Regime bergulir ke depannya.

Ketiga contoh di atas memberikan kita jawaban akan satu pertanyaan. Mengapa pemimpin berlatar belakang penulis mampu memperoleh kehebatan dan pengaruh besar?

Pertama, mereka memiliki lingkup bacaan yang luas. Orang yang suka membaca mungkin tidak suka menulis. Tetapi, orang yang suka menulis tidak mungkin tidak suka membaca. Dunia kepenulisan menuntut para pelakunya untuk sering-sering membaca referensi. Tanpa lingkup bacaan yang cukup, tulisan yang bagus dan informatif tidak akan muncul.

Dalam kepemimpinan, mereka menjadi pemimpin dengan lingkup literasi yang baik. Pengetahuan mereka luas. Dampaknya, mereka mampu menjadi pemimpin yang inovatif dan revolusioner.

Kedua, alam pikiran mereka matang. Kematangan ini muncul dari menulis. Mengapa? Menulis mengasah cara berpikir. Sebelum menulis, si penulis harus berpikir mencari ide-ide untuk ditulis. Saat menulis, ide-ide itu harus dirangkai oleh kata-kata, menjadi sebuah tulisan yang koheren. Selain itu, masih ada fraseologi, ketepatan konteks, dan berbagai hal lain yang harus dipikirkan.

Sebagai pemimpin, mereka lebih bijak dan cerdik dalam mengambil keputusan. Semua keputusan sudah melalui alur pikir yang jelas dan pasti. Akibatnya, mereka tidak menjadi pemimpin yang plin plan.

Ketiga, ide-ide mereka abadi di masyarakat. Menulis adalah sebuah pekerjaan untuk keabadian. Eternalization of ideas. Ketika ide tersebut diabadikan, ia akan menggoreskan warisan yang abadi untuk sejarah. Warisan inilah yang membuat nama mereka dikenang oleh generasi yang akan datang.

Mau jadi pemimpin hebat? Menulislah sedari muda. Niscaya namamu akan dikenang sampai akhir masa.

SUMBER

berdikarionline.com. Diakses pada 30 Juli 2019.

winstonchurchill.org. Diakses pada 30 Juli 2019.

Disclaimer: Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis. 

Link: qureta.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun