Model reforma agraria di negara komunis adalah pemindahan kepemilikan berdasarkan koersi/paksaan. Â Dalam model ini, para tuan tanah dianggap sebagai kelas borjuis kontra-revolusioner. Mereka adalah kaum terlaknat yang pantas dimusnahkan oleh pemerintah, yang dianggap sebagai wakil kediktatoran proletariat. Setelah "dimusnahkan", tanah baru dibagi-bagikan kepada petani penggarap.Â
Lihat saja kasus reforma agraria di Republik Rakyat Tiongkok (1949-1953). Pada masa ini, pemerintah mengambil paksa tanah dari para pemiliknya sejak turun temurun dan membagi-bagikannya kepada para petani penggarap miskin. Dalam proses pengambilan paksa ini, pemerintah menggunakan dua senjata mematikan; Organ Partai Komunis dan petani penggarap miskin itu sendiri.Â
Melalui People's Court, para petani penggarap diradikalisasi dan diindoktrinasi dengan teori konflik kelas Marxisme. Singkatnya, they all lurched to the Left. Selain itu, para petani juga dipersenjatai dengan bambu sampai senapan. Setelahnya, para pemilik lahan yang dianggap borjuis dan kontra-revolusioner itupun dihakimi massa petani, disiksa, dan dibunuh di tempat (Phillips dalam theepochtimes.com, 2018).Â
Sementara, model reforma agraria di negara demokrasi-kapitalis adalah pemindahan kepemilikan berdasarkan transaksi ekonomi. Artinya, tuan tanah sebelumnya dan para petani penggarap sama-sama diuntungkan. Kalau tidak, buat apa mereka bertransaksi, bukan? Dalam model ini, pemerintah berperan sebagai mediator yang menciptakan alat transaksi tersebut.Â
Republik Cina adalah salah satu contohnya. Sejak tahun 1951-1973, mereka melakukan program Land to the Tiller. Pemerintah menciptakan Obligasi Lahan (Land Bonds) sebagai medium transaksi antara tuan tanah dengan petani penggarap. Petani penggarap sebagai penerima hak milik harus membayar sejumlah bagian dari penjualan hasil panen kepada pemerintah.Â
Setelahnya, uang tersebut akan digunakan untuk memberikan kompensasi ganti untung kepada para tuan tanah. 70% dari kompensasi tersebut berbentuk uang atau hasil bumi. Sementara, 30% sisanya diberikan dalam bentuk saham perusahaan milik negara. Jadi, dalam jangka panjang, para tuan tanah menukar asetnya menjadi passive income dan saham (Yueh dalam taiwantoday.tw, 2009).Â
Selain hampir tidak ada korban yang berjatuhan, reforma agraria ini juga menjadi basis dari sebuah sektor pertanian yang produktif dan stabil. Ini dibuktikan dengan tingkat produktivitas tanaman padi sebesar 6,29 ton/hektar (Yu Liu dalam ap.fftc.agnet.org, 2018). Ini jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang hanya 3,3 ton/hektar.Â
Padahal, Indonesia memiliki potensi bidang agraria yang jauh lebih besar. Namun, kita tertinggal jauh soal produktivitas lahan dibanding Taiwan. Perbandingan ini sungguh memberikan gambaran urgensi perlunya reforma agraria di IndonesiaÂ
Pepatah bijak pernah berkata, "If you can't beat them, join them." Untuk meningkatkan produktivitas pertanian kita, mari kita ikuti model reforma agraria seperti Taiwan dan berbagai negara demokrasi-kapitalis lainnya. Sehingga, kita mampu mengembalikan insentif, memperluas akses permodalan, dan meningkatkan produktivitas pertanian di negeri kita sendiri.Â
SUMBERÂ
cnnindonesia.com. Diakses pada 17 Juni 2019.
antaranews.com. Diakses pada 17 Juni 2019.
akademi-cips.org. Diakses pada 17 Juni 2019.
jabar.tribunnews.com. Diakses pada 17 Juni 2019.
britannica.com. Diakses pada 17 Juni 2019.
theepochtimes.com. Diakses pada 17 Juni 2019.
taiwantoday.tw. Diakses pada 17 Juni 2019.
ap.fftc.agnet.org. Diakses pada 17 Juni 2019.Â
Disclaimer:Â Tulisan ini sudah terbit di laman Qureta penulis