Pada tulisan sebelumnya, kita sudah membahas mengapa Revolusi Pangan 4.0 penting untuk diterapkan. Tetapi, ada beberapa pertanyaan penting yang belum kita jawab. Apa tujuan revolusi ini? Bagaimana bentuk kebijakannya? Bagaimana dampak kebijakannya?Â
Mari kita mulai dari tujuan Revolusi Pangan 4.0. Ada tiga tujuan utama dari revolusi ini. Pertama, menurunkan harga bahan pangan bagi konsumen. Kedua, meningkatkan insentif bagi petani untuk mendorong produktivitas lahan. Ketiga, mendorong peran konsumen dan petani dalam pengelolaan pangan di Indonesia.Â
Untuk menurunkan harga bahan pangan, hanya ada dua alternatif yang bisa dilakukan; Mengurangi permintaan atau meningkatkan penawaran. Mengurangi permintaan adalah hal yang sangat sulit dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia. Mengapa? Setiap tahun, 4,8 juta bayi lahir di Indonesia (koran-jakarta.com, 2017). Artinya, semakin banyak manusia yang memerlukan makanan.Â
Mengurangi permintaan sama saja dengan mengurangi jumlah konsumen dan intensitas konsumsi. Upaya ini seperti memasukkan unta ke lubang jarum; Tidak mungkin dilakukan. Kecuali jika kita dipimpin oleh Thanos, yang dapat memusnahkan setengah populasi makhluk hidup dalam satu jentikkan jari.Â
Tentu kita tidak mau fiksi Marvel seperti itu menjadi kenyataan. Maka, satu-satunya cara adalah dengan meningkatkan penawaran bahan pangan. Peningkatan ini harus bersifat berkelanjutan dan riil, agar mampu mengimbangi peningkatan konsumsi. Sehingga, penurunan harga terjadi karena meningkatnya jumlah bahan pangan yang tersedia di pasar bagi konsumen.Â
Untuk meningkatkan kuantitas penawaran bahan pangan, kita perlu mengubah dan meningkatkan insentif bagi petani. Tulisan sebelumnya sudah membuktikan bahwa subsidi adalah "insentif" gaya lama yang tidak memberikan outcome yang semestinya. Petani pun tidak terbantu olehnya.Â
Mengapa? Hanya 5,7% dari bibit padi subsidi pemerintah yang diserap oleh petani di lapangan. Padahal, pemerintah sudah menggelontorkan lebih dari Rp 30 Triliun untuk subsidi bibit dan pupuk (CIPS, 2019:2). Ini sama saja dengan pemborosan uang para pembayar pajak.Â
Maka dari itu, harus ada perubahan model insentif bagi para petani. Insentif ini harus mendorong petani untuk meningkatkan produktivitas lahannya. Sehingga, pendapatan petani dan ketersediaan bahan pangan di pasar meningkat. Akhirnya, efek ini menciptakan downward pressure bagi harga pangan di pasar.Â
Dengan dihapusnya subsidi, maka produsen dan konsumen tidak lagi membayar untuk kebijakan pangan yang menciptakan misalokasi sumber daya. Selain itu, pemerintah juga mengurangi lingkup peranannya dalam perdagangan pangan. Sehingga, sektor swasta bisa mengambil lingkup peranan yang lebih luas dalam perdagangan pangan.Â
Meningkatnya peranan sektor swasta memperkuat peran mekanisme pasar dalam perdagangan pangan. It unleashes the power of the market. Harga benar-benar menjadi sinyal dan indikator dari semua tindakan petani dan konsumen. Tetapi, market forces dan market discipline adalah dua sisi mata uang, di mana petani dan konsumen juga dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan bertindak rasional.Â
Lantas, bagaimana bentuk kebijakannya? Revolusi Pangan 4.0 memiliki lima kebijakan utama. Berikut adalah kebijakan-kebijakan tersebut.Â
Menghapus larangan impor bahan panganÂ
Menghapus subsidi pupuk dan bibitÂ
Menghapus batas maksimal investasi asing di bidang hortikulturaÂ
Membuka kompetisi dalam bidang distribusi bahan pangan melalui deregulasiÂ
Mari kita kupas dari menghapus larangan impor bahan pangan. Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2014, yang boleh mengimpor beras hanyalah Bulog dan perusahaan lain yang ditunjuk pemerintah. Regulasi ini membuat para importir skala kecil dihalangi untuk melakukan impor pangan di Indonesia (CIPS, 2019:1).Â
Ketika hal ini terjadi, terbentuklah sebuah struktur oligopolis yang berperan sebagai kartel bahan pangan. Mereka bisa membuat kesepakatan harga dan menentukan harga jual terhadap pedagang eceran. Umumnya, harga tersebut lebih mahal dibanding harga pasar yang seharusnya. Akhirnya, harga bahan pangan yang diterima konsumen semakin mahal.Â
Kalau ingin harga pangan turun, kartel oligopolis ini harus dimusnahkan dengan meningkatkan kompetisi. Regulasi ini harus dihapus, agar semakin banyak importir kecil yang terlibat dalam usaha impor bahan pangan. Ketika kompetisi meningkat, maka setiap importir akan berusaha mengimpor bahan pangan yang paling kompetitif, dan harga pun bisa menurun.Â
Kedua, hapus subsidi pupuk dan benih. Sekarang, subsidi sudah menjadi "insentif yang mematikan insentif". Mengapa? Kualitas bibit dan pupuk yang diberikan rendah. Itulah sebabnya daya serap subsidi menjadi rendah. Kalau program ini terus dijalankan, kita sama saja "bunuh diri" dalam bidang pangan.Â
Lalu, apa kebijakan penggantinya? Daripada mensubsidi benih agar terjangkau, lebih baik permudah akses petani terhadap bibit unggul dengan harga terjangkau.Â
Perbanyak pilihan bibit bagi para petani dengan harga yang beragam, agar mereka bisa mencapai keputusan produksi yang paling efisien. Namun, permudahan akses ini hanya dapat terjadi jika jumlah produsen hortikultura semakin banyak.Â
Masalahnya, ada satu halangan besar bagi penambahan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura membatasi persentase PMA maksimum sebesar 30%.Â
Regulasi ini membuat investor asing ragu untuk menanamkan modalnya di sektor hortikultura Indonesia. Akhirnya, mereka memilih berinvestasi di negara tetangga (Ariyanti dalam liputan6.com, 2015).Â
Sehingga, permudahan akses petani ini hanya dapat dilakukan dengan menghapus batasan PMA dalam sektor hortikultura. Selain meningkatkan kapital dan kompetisi, PMA juga mendorong transfer teknologi dalam bidang pembibitan. Sehingga, sektor hortikultura di Indonesia menjadi semakin kompetitif dan menghasilkan bibit unggul yang terjangkau bagi petani.Â
Terakhir, harus ada kompetisi yang lebih luas di bidang distribusi bahan pangan. Selama ini, distribusi bahan pangan kita dikuasai oleh terlalu sedikit badan usaha besar. Badan usaha tersebut terdiri atas tengkulak dan distributor. Lagi-lagi, kedua pihak ini berhasil membentuk struktur oligopolis yang bisa berkolusi untuk menetapkan harga yang tidak sewajarnya.Â
Mengapa struktur oligopolis berhasil terbentuk? Sebab sektor ini terlalu over-regulated dan mendorong adanya restrictive practices dalam perdagangan bahan pangan. Untuk mengatasinya, diperlukan sebuah upaya deregulasi dengan menghapus Peraturan Kemendag Nomor 63 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Acuan Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen serta mengubah UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang PerdaganganÂ
Dengan menghapus harga acuan, pemerintah mendorong daya kerja mekanisme pasar serta mengembalikan market discipline bagi petani dan konsumen.Â
Selain itu, mengubah regulasi tentang perdagangan menjadi lebih longgar juga mendukung tumbuhnya berbagai badan usaha baru di bidang distribusi bahan pangan. Sehingga, para tengkulak dan distributor tidak bisa seenak jidat menetapkan harga.Â
Memang, Revolusi Pangan 4.0 bukanlah jalan singkat menuju ketahanan pangan. Tetapi, ketika diterapkan secara konsekuen, upaya ini dapat menciptakan downward pressure yang signifikan bagi harga pangan di Indonesia. Â
SUMBERÂ
koran-jakarta.com. Diakses pada 13 Juni 2019.Â
akademi-cips.org. Diakses pada 13 Juni 2019.Â
akademi-cips.org. Diakses pada 13 Juni 2019.Â
akademi-cips.org. Diakses pada 13 Juni 2019.Â
Disclaimer:Â Tulisan ini sudah diterbitkan di laman Qureta penulis.
Link: www.qureta.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI