Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ubah Orientasi Kebijakan Pangan untuk "Revolusi Pangan 4.0"

13 Juni 2019   17:42 Diperbarui: 13 Juni 2019   17:50 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: goodnewsfromindonesia.id

"Sekarang , bawa duit cepe udah gak dapet apa-apa di pasar," Keluh Ibu penulis beberapa kali. Pernyataan serupa juga penulis dengar dari banyak ibu-ibu di sekitar penulis. Kemampuan ekonomi mereka beragam. Dari yang (maaf) kurang mampu sampai yang sangat mampu. Apa artinya kalau para Beliau-Beliau ini sudah mengeluh demikian? 

Harga pangan membumbung tinggi. Beras, jagung, tepung terigu, hingga tahu-tempe semakin mahal. Daya beli uang belanja ibu-ibu ini mengalami penurunan. Semakin sedikit bahan pangan pokok yang dapat mereka beli. Porsi makanan yang dikonsumsi keluarga semakin sedikit. Akhirnya, jumlah asupan nutrisi yang masuk ke tubuh anggota keluarga Indonesia semakin berkurang. 

Jumlah asupan nutrisi yang berkurang mengakibatkan berbagai dampak negatif. Mulai dari stunting, kekurangan gizi, sampai perlambatan perkembangan kognitif anak. Kalau sudah begini, bagaimana kita bisa mencapai visi Indonesia Emas 2045? Bagaimana kita bisa mengejar ketertinggalan dengan negara tetangga kita? 

After all, mereka memiliki harga pangan yang lebih murah dibanding negara kita. Sebagai perbandingan, harga beras dan gula di Malaysia adalah Rp 7.000 dan Rp 15.000 per kilogram. Lalu, di Singapura (yang tidak punya sektor agrikultur), harga komoditas yang sama adalah Rp 10.000 dan Rp 13.000 per kilogram. Sementara, komoditas yang sama di Indonesia memiliki harga Rp 13.000 dan Rp 15.000 per kilogram (Center for Indonesian Policy Studies [CIPS], 2019:1). 

Belum cukup yakin? Lebih lanjut, CIPS (2019:1) membandingkan harga beras dan gula di Indonesia dan Thailand. Seperti kita ketahui, Thailand adalah negara tetangga kita di Asia Tenggara dan sesama negara agraris. Harga kedua komoditas di Thailand hanya Rp 5.000 dan Rp 8.000 per kilogram. Berbeda Rp. 8.000 dan Rp 7.000 per kilogram dengan Indonesia. 

Bukti statistik di atas menyatakan dengan sangat jelas; Harga bahan pangan di Indonesia mahal.  

Fenomena seperti ini sangat mengherankan. Indonesia adalah negara agraris, mengapa harga pangan bisa mahal? Penyebab fenomena ini kompleks. Namun, semuanya berakar pada satu penyebab; Orientasi kebijakan pangan yang salah. 

Orientasi kebijakan pangan kita selama ini adalah swasembada pangan (food self-sufficiency). Orientasi ini sudah berlaku di Indonesia sejak dikeluarkannya Kasimo Plan pada tahun 1952. Artinya, tujuan kebijakan pangan Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan pokok dari produksi sendiri, tanpa impor atau membeli dari negara lain (CIPS, 2019:1). 

Tujuan ini membuat pemerintah melakukan segala upaya intervensionis untuk menekan impor dan mendorong tingkat produksi pangan. Seperti biasanya, tidak ada full consideration of market discipline dalam upaya ini. Mulai dari subsidi pupuk dan benih oleh Kementan, pembelian hasil panen dengan harga eceran terendah oleh Bulog, sampai penetapan harga eceran tertinggi oleh Kemendag di pasar. 

Melalui berbagai kebijakan ini, diharapkan petani menerima keuntungan yang layak dari hasil panennya. Sehingga, tingkat produktivitas petani meningkat seiring waktu. Selain itu, konsumen juga dapat membeli bahan pangan dengan harga yang terjangkau. Akhirnya, swasembada pangan tercapai dan konsumen serta produsen menerima keuntungannya. 

Tetapi, apakah penerapan kebijakan-kebijakan ini berhasil mencapai tujuannya? Tidak. Justru sebaliknya. Harga pangan di Indonesia semakin mahal bagi konsumen, dan lebih mahal dibanding negara tetangga. Selain itu, pendapatan petani sebagai produsen juga sangat tidak layak. Apa buktinya? 

Pendapatan petani pemilik lahan di Indonesia adalah Rp 32 juta per hektar. Sementara, pendapatan petani penggarap (yang termasuk sebagai mayoritas petani di Indonesia) hanya Rp 4,9 juta per hektar (CIPS, 2019:1-2). Ini jauh lebih rendah dibanding PDB riil per kapita Indonesia tahun 2017 sebesar Rp 51,89 juta (databoks.katadata.co.id, 2018). 

Kalau tren ini terus terjadi, maka kita sedang menggali kubur kita sendiri. Ketika pendapatan petani lebih rendah dibanding pendapatan rata-rata, maka generasi penerus yang mau menjadi petani semakin sedikit. Semakin sedikit petani, maka semakin sedikit produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang terus meningkat. 

Singkatnya, kita hidup bersama sebuah bom waktu pangan, yang harus segera kita jinakkan agar tidak meledak hebat di masa depan. 

Bagaimana cara menjinakkannya? Hanya ada satu cara. Ubah orientasi kebijakan pangan kita dari swasembada pangan menuju ketahanan pangan. Apa bedanya? 

Jika swasembada pangan berbicara soal self-sufficiency, ketahanan pangan berbicara soal food sustainability. Artinya, konsep ini menekankan akses fisik dan ekonomi terhadap makanan yang aman dan bergizi, dengan jumlah yang sesuai selera konsumen, untuk memenuhi kehidupan yang aktif dan sehat (CIPS, 2019:1). 

Konsep ini tidak sempit dan jingoistic seperti swasembada pangan. Selain itu, konsep ini juga memerhatikan kemakmuran konsumen serta produsen. Mengapa? Akses fisik dan ekonomi memiliki arti bahwa bahan pangan dekat dengan posisi konsumen, dan dapat dibeli dengan harga yang terjangkau. Ideal ini menuntut adanya kedekatan jarak antara produsen dan konsumen secara fisik dan ekonomi. 

Ketika jarak antara produsen dan konsumen semakin dekat, maka kedua pihak akan diuntungkan. Produsen tidak perlu lagi menghadapi biaya dan sistem distribusi yang excessive. Sementara, konsumen akan menerima harga bahan pangan yang lebih terjangkau dengan ketersediaan yang lebih melimpah. 

Sehingga, perubahan orientasi ini bisa membawa lebih banyak net gain bagi konsumen dan petani Indonesia. Namun, upaya ini tidak akan bekerja jika hanya sebatas retorika semata atau hanya mengganti kata "swasembada pangan" dalam legislasi-legislasi tentang pangan di Indonesia. Itu sama saja dengan pembohongan terhadap rakyat. 

Harus ada terobosan kebijakan pangan terpadu yang memastikan terwujudnya ketahanan pangan di Indonesia. Terobosan kebijakan pangan terpadu inilah yang penulis sebut "Revolusi Pangan 4.0".  

Apa tujuan revolusi ini? Bagaimana bentuk kebijakannya? Bagaimana dampak kebijakannya? Akan kita jawab di tulisan selanjutnya. Tapi ada satu petunjuk yang penulis berikan. 

Revolusi ini adalah upaya untuk memundurkan peran pemerintah dan memajukan peran produsen serta konsumen dalam pengelolaan pangan Indonesia. 

SUMBER 
akademi-cips.org (1) Diakses pada 12 Juni 2019.
akademi-cips.org (2) Diakses pada 12 Juni 2019.
akademi-cips.org (3) Diakses pada 12 Juni 2019.
akademi-cips.org (4) Diakses pada 12 Juni 2019.
akademi-cips.org (5) Diakses pada 12 Juni 2019.
katadata.co.id. Diakses pada 12 Juni 2019.
akademi-cips.org (6) Diakses pada 12 Juni 2019. 

Disclaimer: Tulisan ini sudah diterbitkan di laman Qureta penulis.

Link: qureta.com 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun