Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ubah Orientasi Kebijakan Pangan untuk "Revolusi Pangan 4.0"

13 Juni 2019   17:42 Diperbarui: 13 Juni 2019   17:50 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: goodnewsfromindonesia.id

Pendapatan petani pemilik lahan di Indonesia adalah Rp 32 juta per hektar. Sementara, pendapatan petani penggarap (yang termasuk sebagai mayoritas petani di Indonesia) hanya Rp 4,9 juta per hektar (CIPS, 2019:1-2). Ini jauh lebih rendah dibanding PDB riil per kapita Indonesia tahun 2017 sebesar Rp 51,89 juta (databoks.katadata.co.id, 2018). 

Kalau tren ini terus terjadi, maka kita sedang menggali kubur kita sendiri. Ketika pendapatan petani lebih rendah dibanding pendapatan rata-rata, maka generasi penerus yang mau menjadi petani semakin sedikit. Semakin sedikit petani, maka semakin sedikit produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang terus meningkat. 

Singkatnya, kita hidup bersama sebuah bom waktu pangan, yang harus segera kita jinakkan agar tidak meledak hebat di masa depan. 

Bagaimana cara menjinakkannya? Hanya ada satu cara. Ubah orientasi kebijakan pangan kita dari swasembada pangan menuju ketahanan pangan. Apa bedanya? 

Jika swasembada pangan berbicara soal self-sufficiency, ketahanan pangan berbicara soal food sustainability. Artinya, konsep ini menekankan akses fisik dan ekonomi terhadap makanan yang aman dan bergizi, dengan jumlah yang sesuai selera konsumen, untuk memenuhi kehidupan yang aktif dan sehat (CIPS, 2019:1). 

Konsep ini tidak sempit dan jingoistic seperti swasembada pangan. Selain itu, konsep ini juga memerhatikan kemakmuran konsumen serta produsen. Mengapa? Akses fisik dan ekonomi memiliki arti bahwa bahan pangan dekat dengan posisi konsumen, dan dapat dibeli dengan harga yang terjangkau. Ideal ini menuntut adanya kedekatan jarak antara produsen dan konsumen secara fisik dan ekonomi. 

Ketika jarak antara produsen dan konsumen semakin dekat, maka kedua pihak akan diuntungkan. Produsen tidak perlu lagi menghadapi biaya dan sistem distribusi yang excessive. Sementara, konsumen akan menerima harga bahan pangan yang lebih terjangkau dengan ketersediaan yang lebih melimpah. 

Sehingga, perubahan orientasi ini bisa membawa lebih banyak net gain bagi konsumen dan petani Indonesia. Namun, upaya ini tidak akan bekerja jika hanya sebatas retorika semata atau hanya mengganti kata "swasembada pangan" dalam legislasi-legislasi tentang pangan di Indonesia. Itu sama saja dengan pembohongan terhadap rakyat. 

Harus ada terobosan kebijakan pangan terpadu yang memastikan terwujudnya ketahanan pangan di Indonesia. Terobosan kebijakan pangan terpadu inilah yang penulis sebut "Revolusi Pangan 4.0".  

Apa tujuan revolusi ini? Bagaimana bentuk kebijakannya? Bagaimana dampak kebijakannya? Akan kita jawab di tulisan selanjutnya. Tapi ada satu petunjuk yang penulis berikan. 

Revolusi ini adalah upaya untuk memundurkan peran pemerintah dan memajukan peran produsen serta konsumen dalam pengelolaan pangan Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun