Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masih Perlu Belajar Berdemokrasi

30 Mei 2019   08:00 Diperbarui: 30 Mei 2019   08:15 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat dengan mars di atas? Kalau pembaca berusia di atas 30 tahun, besar kemungkinan Anda masih mengingatnya. "Di bawah Undang-Undang Dasar '45, kita menuju ke pemilihan umum." Mars ini juga mengingatkan kita bahwa Pemilu adalah "Hak Demokrasi Pancasila". Tetapi, apakah Pemilu = Demokrasi? 

Ternyata tidak. Pemilu tidak pernah sama dengan demokrasi. Pemilu adalah pesta demokrasi, manifestasi nyata dari sistem demokrasi suatu negara. Tetapi, demokrasi itu sendiri jauh lebih luas dan dalam, baik sebagai sebuah ide maupun sistem. 

Jadi, apa itu demokrasi? Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat yang memelihara kebebasan, keadilan, dan persaudaraan semaksimal mungkin di mana kapasitas manusia dikembangkan secara penuh, melalui diskusi bebas dan terbuka tentang masalah dan keinginan bersama (Parsons dalam www3.nd.edu). 

Jika kita kaji lebih jauh, definisi di atas dapat dibagi menjadi tiga karakteristik. Pertama, demokrasi berdasar pada prinsip kebebasan, keadilan, dan persaudaraan. Kedua, demokrasi harus mampu mengembangkan kapasitas SDM secara penuh. Ketiga, demokrasi harus mendorong diskusi bebas dan terbuka tentang berbagai hal yang mendera bangsa kita. 

Sejak era Reformasi bergulir pada 22 Mei 1998, kita selalu menyebut negara kita sebagai negara demokrasi. Tetapi, apakah negara kita sudah memenuhi karakteristik demokrasi? Mari kita kaji pertanyaan ini melalui berbagai peristiwa politik pra dan pasca Pemilu 2019. 

Liberte, egalite, fraternite. Pemilu ini sudah bahwa bangsa kita sudah memiliki kebebasan politik (political freedom) yang lebih tinggi. Hampir tidak ada kritikus dari pihak oposisi yang mengalami persekusi dari pemerintahan. Selain itu, Pemilu 2019 juga berhasil dilaksanakan secara LUBERJUDIL, dengan turnout sebesar 80,76%, tertinggi sejak Pemilu 2004. 

Tetapi, masalah bermunculan ketika kita bicara soal persaudaraan. Pemilu 2019 berhasil membuat kehancuran persaudaraan bangsa Indonesia menyeruak ke permukaan. Banyak orang putus pertemanan, bahkan persaudaraan karena perbedaan politik. Banyak group WA keluarga dan angkatan yang terpecah belah. 

Penulis berkata seperti ini bukan hanya dari membaca berbagai berita semata. Penulis melihat langsung dari lingkungan sekitar penulis sendiri. Ayah penulis sendiri bahkan ingin memblokir beberapa kenalannya di Facebook yang berbeda dukungan, karena dianggap telah menyebarkan konten-konten hoax. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibu penulis. 

Setelah itu, mari kita tinjau pengembangan kapasitas SDM. Memang, demokrasi kita sudah menghasilkan cukup banyak pemimpin-pemimpin unggul, seperti Tri Rismaharini, Basuki Tjahaja Purnama, dan lain sebagainya. Tetapi, dari sisi legislatif, terutama DPR, masih banyak masalah yang harus diselesaikan berkaitan dengan sumber daya manusia. 

Widadio (dalam aa.com.tr: 2019) mengindikasikan tiga masalah utama berkaitan dengan DPR kita. Pertama, produktivitas legislasi yang sangat rendah. Selama masa baktinya (2014-2019), DPR RI hanya mengesahkan 68 UU, dan hanya 26 diantaranya yang termasuk sebagai prioritas. Bahkan, dari 55 RUU yang dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2019, baru dua yang disahkan menjadi UU. 

Masalah ini bukan tanpa sebab. Penyebab masalah ini adalah dinamika politik yang menganggu. Mulai dari tarik menarik antara KMP-KIH di tahun 2015, sampai dengan penggantian ketua DPR berturut-turut karena berbagai sebab. Terakhir, banyak anggota DPR RI yang membolos, bahkan pada saat Sidang Paripurna. Ini menunjukkan adanya kemalasan endemik di antara anggota DPR RI. 

Kemana muara dari ketiga masalah ini? Lembaga legislatif yang tidak representatif, tentu saja. Banyak aspirasi kita yang tidak ditampung dan disampaikan oleh wakil kita di Senayan. Suara kita pun tidak dilibatkan dalam decision making secara aktif dan efektif. Akhirnya, sistem demokrasi representatif kita tidak mampu bekerja dengan baik, dan tidak menghasilkan output yang diharapkan. 

Berlanjut ke diskusi bebas, Demokrasi Pancasila a la Indonesia sudah menjadikan hal ini sebuah fundamen ideologi dengan adanya sila keempat. Selain itu, UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3 juga menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Dalam hal ini, Pemilu 2019 berhasil memperkuat implementasi jaminan ini. 

Sumber: http://www.tribunnews.com
Sumber: http://www.tribunnews.com

Tetapi, masih banyak pihak yang menyalahgunakan kebebasan tersebut. Mereka memanfaatkan kesempatan "aksi damai" untuk menyusup, mendorong aksi provokatif dan anarkis. Kericuhan pada Aksi Damai 22 Mei menjadi bukti pernyataan ini. Bahkan, Mahfud M.D. menyatakan bahwa, "Gerakannya terlihat sekali sangat terencana dengan peralatan dan sistem komandonya." 

Untung saja aparat kepolisian kita berhasil menjaga ketertiban dengan sangat baik. Penulis sangat berterima kasih pada pekerjaan yang mereka lakukan untuk melindungi demokrasi. 

Berdasarkan perbandingan ideal dan realita di atas, dapat diketahui bahwa masih banyak aspek dari pelaksanaan demokrasi kita yang berlawanan dengan karakteristik demokrasi. Dalam istilah Democracy Index dari Economist Intelligence Unit, kita adalah sebuah flawed democracy, demokrasi yang cacat. 

Ternyata, memang benar demikian. Indonesia berada di urutan 65 dari 167 negara, dengan skor indeks sebesar 6,39. Kita tergolong sebagai sebuah flawed democracy. Area dengan skor yang cukup terletak pada proses pemilu, pluralisme, dan mekanisme pemerintahan. Sementara, area dengan skor yang rendah terletak pada budaya politik dan hak sipil (selengkapnya bisa dilihat di sini). 

Budaya politik yang kurang demokratis menunjukkan adanya disrespect terhadap hak politik orang lain. Hak sipil yang rendah juga menandakan rendahnya kebebasan individu sebagai anggota masyarakat, serta rendahnya perilaku respecting other individual's rights. Akhirnya, kedua indikasi ini menunjukkan ketidakdewasaan aktor politik di dalam negeri.  

Ini adalah wake-up call untuk kita semua. Sebuah panggilan untuk belajar berdemokrasi bagi setiap individu Indonesia. Mari kita tingkatkan decency dan respect dalam demokrasi kita. Ayo, kita rajut kembali persatuan yang sekarang ini kendur. "Build bridges, not walls," tandas Paus Fransiskus. 

Hentikan sudah segala tindakan penyebaran hoax dan saling menghina antar kubu. Let's learn to separate the political and the personal. Kita boleh berdebat hebat dalam panggung politik, tetapi tali silaturahmi tidak boleh putus. Kita boleh berbeda dalam politik, tapi kita sama-sama anak bangsa Indonesia. 

Thomas Jefferson mengemasnya dengan brilian, "I never consider a difference of opinion in politics, in religion, in philosophy, as a cause for withdrawing from a friend." 

Inilah yang perlu kita lakukan, untuk meningkatkan kedewasaan berdemokrasi kita. 

 

SUMBER 1, 2, 3, 4, 5

Disclaimer: Tulisan ini sudah diterbitkan di laman Qureta penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun