Mohon tunggu...
Rahma Dian
Rahma Dian Mohon Tunggu... Guru - Love writing and reading

Do something good it will be good for us. twitter: @dradikta | IG: dradikta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Filosofi Korek Api

26 Juni 2016   09:36 Diperbarui: 26 Juni 2016   10:37 1726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam tanpa bintang, di balkon rumah.

Duduk menikmati gelapnya malam yang serupa dengan perasaaku, redup. Tak banyak yang bisa kulakukan di saat seperti ini kecuali menyeruput kopi pahit dan sesekali mencium aromanya. Di otakku nama Bianca tertancap sangat dalam, aku merasa paling salah. Aku harus apa? Dari balkon berjalan menuju kamar, merebahkan diri di ranjang. Kupandangi seisi kamarku, entah untuk apa. Bangun lagi seruput kopi lagi. Aku ganti posisi lagi, duduk di meja belajar. Tiba – tiba terlahir sebuah hasrat untuk membuka laci. 

Nggak penting! Aku tahu isinya; pencil patah, novel telanjang or tanpa cover, bulpoin macet, dan barang gila lainnya. Namun hatiku tak bisa menolak, aku ingin menarik laci itu. “Gradakkk” terbukalah, selembar amplop putih yang isinya terlupa. Tapi aku ingat itu dari mana, instagram seseorang yang sengaja kucetak. Perlahan jemariku membukanya, isinya?

Sebuah kertas dengan gambar belasan korek api yang berbaris, empat diantaranya terbakar. Seharusnya semuanya ikut terbakar jika korek api ke lima tetap pada posisinya, sejajar dengan yang lain. Tapi korek ke lima agak mundur sedikit, sehingga belasan di belakangnya selamat. Kisah korek api tersebut semakin lengkap dengan kalimat di atasnya “Jika kita mau sedikit menurunkan ego, mundur sedikit serta mengalah. Kita bisa menyelamatkan yang lain.”

Keesokan harinya, di Rumah Sakit.

“Bas..kamu masuk temuin Bianca. Aku tunggu di sini ok!” Bujukan “PERTAMA” dariku semoga Bastian mau.

“Nggak ok kalau kamu di sini. Aku jadi PHP dong! Pokoknya kalau kamu nggak mau masuk, kita pulang!” Muka Bastian mulai ditekuk. Kakinya berpindah, masuk ke mobil. Sepertinya cara “KEDUA” harus hadir.

“Sayang..kamu turun dulu dengar penjelasan aku. Gini, pegang buah ini lalu kamu pergi temuin Bianca. Aku yakin dia pasti seneng banget. Dengan membuat dia senyum aja, kamu bisa menyelamatkan banyak nyawa. Bianca akan semangat memerangi penyakitnya, Tante Nadia tak akan menangis lagi, dan Om Farid jantungnya bakal aman. Kamu setuju kan?” Penjelasan paling lebar kukeluarkan namun Bastian cuek bebek. Wajahnya saja tak mau melihatku, dia lebih memilih memandang suster yang lalu lalang. Akupun menyerah, sekeranjang apel dan kertas korek api kuberikan. Akupun pergi. Beberapa detik kemudian, Bastian mengejarku.

“Dayana...tunggu! Aku udah baca yang di kertas. Aku akan masuk tapi kamu harus janji, saat situasi sudah membaik kita akan jelasin ke Bianca,” Bastian memberikan kelingkingnya padaku, akupun menyambutnya.

Masih di rumah sakit, ketika aku hendak pulang. Mata ini memberikan hal yang tak pernah kuduga. Bianca mau melihat dunia, dia duduk di kursi roda menikmati udara minggu pagi di taman rumah sakit. Lega rasanya, lebih lega ketika manusia yang mendorong kursi rodanya masih sempat mengirim pandangan sayang ke arahku, dasar Bastian.

Terima kasih teman – teman, sudang datang ngintip ceritanya. Semoga tak bosan dan mau follow twitternya: @dradikta sekalian IGnya: @dradikta bakal dapat hadiah lo hehehe... Salam cinta damai...salam kompasiana...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun