Dua gelas cincau dingin bertemu, terpaku. Aku dan Bastian ada di sana, memegang cincaunya masing – masing. Tadinya berharap minuman hijau itu bisa memberikan kedamaian namun tak seperti itu. Kami berdua malah saling bungkam, aku ingin memulai tapi lidah terlanjur susah. Mungkin aku harus menyeruput minuman ini, berharap pria yang mengaku cinta padaku itu merespon. “Glegek” alirannya sedikit mengurangi gersangnya fikiran. Tiba – tiba timbul hasrat buat melirik ke samping, ternyata Bastian mengikuti. Bukan hanya itu, dia juga membuka pembicaraan.
“Day, sudah saatnya kita jujur sama Bianca,” mata Bastian terfokus padaku seolah memintaku untuk setuju. Tapi, apa aku bisa? Hati belum sanggup menerima kekecewaan Bianca. Akhirnya,”Day....” suara serak kekasih menyapaku lagi. Aku masih bisu. “Bruakkk....!!” Hentakan dahsyat itu bukan hanya memecahkan telinga tapi membuatku berubah haluan, dari duduk, berdiri, lalu berlari mendekat. Ada apa?
Kerumunan putih abu – abu melingkar, aku dengan Bastian memaksa masuk dan tergelataklah seorang gadis, kepalanya berdarah. Itu Bianca! Kutelan ludah sedalam mungkin. Kualihkan mataku ke Bastian. Ekpresinya tak jauh beda denganku, kaget juga bingung. “Awas...awas!” Perintah keras itu berasal dari pria – pria berkostum putih. Semuanya pun menyingkir dan ambulance membawa Bianca. Bastian memegang tanganku,”Day...kita ke rumah sakit sekarang.”
Tiada kata terucap, alunan Bob Marley pun tak mengiringi. Aku, Bastian terperangkap sepi. Mobil sedikit seperti tempat pengasingan. Mungkin ini saatnya menyimpan suara, berdoa agar Bianca tak luka serius.
Sampai di rumah sakit, Bianca sudah di UGD. Aku dan Bastian duduk di ruang tunggu, semenit kemudian terdengarlah detak sepatu kegalauan. Seorang pria berjalan dengan tongkatnya. Dia terlihat muram, sesekali memegang dadanya, aku rasa jantungnya bermasalah. Sebelahnya seorang perempuan berambut sebahu, sepertinya dia lebih sehat dari pria yang menemaninya. Keduanya duduk bersebelahan denganku, tak sengaja aku melihat air matanya, tak sengaja pula mendengar keluhnya. Yup! Itulah orang tua Bianca, Om Farid dan Tante Nadia.
Hampir 30 menit menanti, namun dokter belum juga keluar. Bastian mengajakku menyingkir. Tampaknya akan ada pembahasan duarius. Memang ada, dan semuanya dimulai di taman rumah sakit, di sebuah kursi putih. “Day...beberapa saat sebelum Bianca dilempar mobil tadi, dia datang ke kelasku dan ngasih sesuatu,” Bastian mengeluarkan sebuah kotak hijau dengan 2 batang coklat di dalamnya.
Diikuti sebuah pesan tulisan ceker ayam. Akupun meraihnya, membaca pesan itu hingga air mata pun menggantikan fungsi mulut. Aku tak mampu berseru, Bastian menghapus air sendu itu dengan sapu tangan yang tak pernah ketinggalan di saku abu – abunya. Huh! Berat buat bilang tentang pesan itu “Coklat ini mungkin terlalu standar untuk menyatakan isi hatiku. Tapi aku berharap kamu menghargainya. I LOVE YOU_ Bianca.” Respon pacarku?
Bastian bilang kalau belum siap pacaran karena takut nilainya jeblok. Alasannya cukup tepat. Tapi apa aku sanggup berlindung dari dusta itu? Bianca sejak lama menyimpan perasaan terhadap Bastian. Aku baru nyadar kalau aku bukanlah teman yang baik tapi penyerobot. Rasanya aku telah mencintai manusia yang salah. Lalu, haruskah aku melupakan Bastian? Sukar, rasa sayangku terlanjur menumpuk buatnya. Satu semester bersama Bastian banyak sekali hal indah yang tak mungkin sirna dari ingatan.
“Dayana, kamu ke mobil duluan. Aku mau pamitan sama orang tuanya Bianca,” ujar Bastian.
Bastian kembali menemuiku dengan sejuta kepanikan. Wajahnya penuh keringat, matanya merah mau menangis namun tak mampu. Sepertinya hal gawat sedang terjadi. “Day...gawat! Luka di kaki Bianca ternyata parah bahkan dokter bilang kalau dia bakal lumpuh. Kamu tahu respon si tembem? Dia teriak – teriak, papa, mamanya diusir. Suster sama dokter aja diamuk!” Jelas pria tersayangku itu. Kepalaku mulai berputar,”Bagaimana menghidupkan semangat Bianca?”
“Day...sayang...kamu kok diam sih? Yah udah sekarang aku antar kamu pulang. Besok aja kita lihat Bianca,” Bastian memegang tanganku erat dan kami pun berlalu.
Malam tanpa bintang, di balkon rumah.
Duduk menikmati gelapnya malam yang serupa dengan perasaaku, redup. Tak banyak yang bisa kulakukan di saat seperti ini kecuali menyeruput kopi pahit dan sesekali mencium aromanya. Di otakku nama Bianca tertancap sangat dalam, aku merasa paling salah. Aku harus apa? Dari balkon berjalan menuju kamar, merebahkan diri di ranjang. Kupandangi seisi kamarku, entah untuk apa. Bangun lagi seruput kopi lagi. Aku ganti posisi lagi, duduk di meja belajar. Tiba – tiba terlahir sebuah hasrat untuk membuka laci.
Nggak penting! Aku tahu isinya; pencil patah, novel telanjang or tanpa cover, bulpoin macet, dan barang gila lainnya. Namun hatiku tak bisa menolak, aku ingin menarik laci itu. “Gradakkk” terbukalah, selembar amplop putih yang isinya terlupa. Tapi aku ingat itu dari mana, instagram seseorang yang sengaja kucetak. Perlahan jemariku membukanya, isinya?
Sebuah kertas dengan gambar belasan korek api yang berbaris, empat diantaranya terbakar. Seharusnya semuanya ikut terbakar jika korek api ke lima tetap pada posisinya, sejajar dengan yang lain. Tapi korek ke lima agak mundur sedikit, sehingga belasan di belakangnya selamat. Kisah korek api tersebut semakin lengkap dengan kalimat di atasnya “Jika kita mau sedikit menurunkan ego, mundur sedikit serta mengalah. Kita bisa menyelamatkan yang lain.”
Keesokan harinya, di Rumah Sakit.
“Bas..kamu masuk temuin Bianca. Aku tunggu di sini ok!” Bujukan “PERTAMA” dariku semoga Bastian mau.
“Nggak ok kalau kamu di sini. Aku jadi PHP dong! Pokoknya kalau kamu nggak mau masuk, kita pulang!” Muka Bastian mulai ditekuk. Kakinya berpindah, masuk ke mobil. Sepertinya cara “KEDUA” harus hadir.
“Sayang..kamu turun dulu dengar penjelasan aku. Gini, pegang buah ini lalu kamu pergi temuin Bianca. Aku yakin dia pasti seneng banget. Dengan membuat dia senyum aja, kamu bisa menyelamatkan banyak nyawa. Bianca akan semangat memerangi penyakitnya, Tante Nadia tak akan menangis lagi, dan Om Farid jantungnya bakal aman. Kamu setuju kan?” Penjelasan paling lebar kukeluarkan namun Bastian cuek bebek. Wajahnya saja tak mau melihatku, dia lebih memilih memandang suster yang lalu lalang. Akupun menyerah, sekeranjang apel dan kertas korek api kuberikan. Akupun pergi. Beberapa detik kemudian, Bastian mengejarku.
“Dayana...tunggu! Aku udah baca yang di kertas. Aku akan masuk tapi kamu harus janji, saat situasi sudah membaik kita akan jelasin ke Bianca,” Bastian memberikan kelingkingnya padaku, akupun menyambutnya.
Masih di rumah sakit, ketika aku hendak pulang. Mata ini memberikan hal yang tak pernah kuduga. Bianca mau melihat dunia, dia duduk di kursi roda menikmati udara minggu pagi di taman rumah sakit. Lega rasanya, lebih lega ketika manusia yang mendorong kursi rodanya masih sempat mengirim pandangan sayang ke arahku, dasar Bastian.
Terima kasih teman – teman, sudang datang ngintip ceritanya. Semoga tak bosan dan mau follow twitternya: @dradikta sekalian IGnya: @dradikta bakal dapat hadiah lo hehehe... Salam cinta damai...salam kompasiana...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H