Dulu namanya UMPTN, ujian masuk perguruan tinggi negeri. Â Bingung menentukan pilihan karena program studi yang lurus sejalan dengan jurusan sewaktu sekolah tidak tersedia untuk di kampus negeri di kampungku. Â Akhirnya memutuskan untuk memilih yang mirip, satu induk ilmu pengetahuan biologi.
Walau cuma berjarak 26 kilometer dari rumah, tapi tentu sangat merepotkan untuk pulang pergi ke kampus. Lebih-lebih aku belum bisa mengendarai sepeda motor. Â Itupun karena petuah abah, bahwa jangan naik motor kalau belum bekerja. Â Akupun patuh saja.
Akhirnya kos di sekitaran kampus. Â Itupun tak mencari sendiri. Â Entah bagaimana ceritanya diam-diam abah mencarikan kos, tentu saja yang sesuai budget saat itu. Â Dulu biasa kos-kosan punya nama sendiri, Malvinas Camp nama kosku. Â Kamarku paling belakang di samping dapur. Â Tak berjendela, berdinding bata polos di dua sisi, dan sisi sisanya dari papan triplek. Â Bagian atas kamar tak ada plafon, digantikan oleh selembar plastik tipis berwarna biru. Â Sewa 20 ribu per bulan, rasanya memang sesuai dengan kamar dengan kondisi seperti itu.
Dua tahun kuliah dengan IPK luar biasa, tak sampai angka dua pun. Â Untungnya abah dan mama tak juga protes. Â Padahal salinan transkrip tiap semester selalu dikirimkan ke alamat rumah. Â Untunglah tak sampai DO. Â Sampai akhirnya memutuskan ikut seleksi masuk kerja di awal semester 5.
Saat dinyatakan lulus. Â Ada seorang sepupu yang memberi kabar, kalau abah 'mengurus' pada panitia agar bisa membantu penempatan kerjaku tak terlalu jauh. Â Dulu memang sebelum surat keputusan terbit, pegawai tak tahu bakal ditempatkan dimana.
Mendengar ada usaha untuk melakukan hal yang di luar prosedur, akupun protes dengan abah. Â Tak mau dipermudah urusan penempatan. Â Beliaupun berkata singkat:
"Kita ini tak punya keluarga  yang bisa membantu urusan seperti itu, abah juga tak kenal siapa-siapa untuk diminta bantuan.  Lagian kamu ikutan tes pun abah tidak tahu. Kamu tahu-tahu cerita sudah lulus tes.  Gimana abah bisa membantu?"
Akupun tenang, mencoba bekerja sekaligus kuliah. Â Sampai akhirnya entah kenapa aku berniat untuk fokus kuliah dulu dan ingin berhenti bekerja. Â Walaupun awalnya abah mencoba memberi pengertian untuk mencoba sekuatnya menjalani keduanya. Â Akhirnya beliau menyerah, hanya memberi saran untuk mengundurkan diri baik-baik, karena masuknya pun baik-baik dan tanpa bantuan siapapun.
Tahun 1996 itu, karena telah bekerja aku diberi hadiah sepeda motor Alfa bekas oleh mama. Â Akhirnya pelan-pelan belajar mengendarainya karena telah dizinkan oleh abah tentu saja.
Ujung-ujungnya aku yang akhirnya mengikuti saran beliau, berusaha meneruskan kuliah dan bekerja sekaligus. Â Sampai akhirnya tiba masa pra jabatan. Â Beberapa hari sebelum mengikuti pelatihan, aku ditabrak truk saat mau menyeberang jalan raya menuju rumah.
Pingsan dan saat bangun aku sudah di dalam mobil bersama abah yang terlihat panik. Â Aku sempat dimarahi abah karena yang ditanyakan saat terbangun dari pingsan adalah kondisi sepeda motorku yang dihajar dump truk dengan telak. Â "Pikirkan k0ndisimu,dulu", katanya.
Untungnya aku cuma keseleo, yang pulih setelah dipijet beberapa hari kemudian.
Setelah bekerja, ternyata gaji golongan dua tak cukup untuk hidup sebulan. Â Nyaris setiap minggu terakhir tiap bulannya aku terpaksa meminta tambahan ke rumah. Â Biasanya abah dan mama hanya tertawa seraya berucap "Ini gimana ceritanya pegawai masih minta tambahan ke rumah?". Aku hanya mesem-mesem saja.
Ah, rindu sekali aku dengan masa-masa itu.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H