"Masalahnya apa? Kenapa kami?"
Pertanyaan yang mirip dengan pertanyaan pertama sebenarnya. Â Hanya mengubah kenapa menjadi apa.
"Aku hanya menjalankan perintah, om. Â Maaf" Â Seperti mengulang kalimat pertamanya saja. Â Suara datarnya membuatku kesal saja. Tapi apalagi. Â Sekarang dia adalah penentu hidup dan matiku. Â Tekanan di punggung kiriku semakin menjadi, ujung beceng itu seakan-akana makin melesak menembus kulit.
"Kenapa, kami?" Â Sekali lagi pertanyaan itu aku lontarkan. Kali ini dengan setengah berteriak.
Tak ada lagi jawaban. Â Hanya dengus napas, dan gerakan halus pelatuk yang tertarik. Â
Aku memejamkan mata. Â Membayangkan nanti hidup selanjutnya ke dunia macam apa, bagaimana dunia yang aku tinggalkan. Bagaimana dengan segala hutang janji maupun fisik yang belum terlunasi.
Aku menahan napas. Â Mencoba mengikhlaskan semuanya. Â Walau..
..
Dan suara azan ashar terdengar.
Tiba-tiba hawa panas terasa. Â Badanku bersimbah peluh. Mengerjapkan mata, menatap sekaliling. Tak ada tangan yang terikat, tak ada pistol yang terhunus di punggung. Â Tak ada Agus yang menyebalkan.
Yang ada hanya laptop yang masih menayangkan John Wick, sedang semangat menghabisi musuh-musuhnya. Â Film yang baru aku tonton seperempat jalan. Â Sebelum akhirnya terlelap dan nyaris mati di dalam mimpi.