Mohon tunggu...
R. Syrn
R. Syrn Mohon Tunggu... Lainnya - pesepeda. pembaca buku

tentang hidup, aku, kamu dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Ciri Pesepeda Pro Saat Bersepeda

14 April 2024   19:25 Diperbarui: 14 April 2024   19:47 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar (dokpri/radith)

Menulis ini gara-gara terpicu oleh cerita seorang anggota keluarga yang bersepeda cukup jauh, melewati trek yang cukup menanjak.  Dia bercerita bahwa detak jantungnya naik sampai 183 bpm saat menanjak pada elevasi  40 ke 90 meter.  Katanya lagi itu dikarenakan mengikuti pesepeda yang menurutnya masuk level pro.

Saya pun bilang, bahwa justru pesepeda yang diikutinya itu sangat tidak pro.  Pamer kecepatan dan kemampuan bersepeda di tanjakan sih mungkin.  

Saya bisa memberi komentar seperti itu karena teringat tiga kejadian saat bersepeda di Jogja.  Kebetulan tiga momen itu bersepeda bareng kawan-kawan yang benar-benar pro di bidangnya.

Kejadian pertama saat sata pertamakali bersepeda jarak jauh, start dari Jogja dan finish di Kota Solo. Saat itu bersepeda cuma berdua bersama seorang kawan bernama Bagus.  Pengalamannya yang paling kerena adalah saat bersepeda lintas pulau Sumatera sejauh ribuan kilometer.

Momen kedua adalah saat bersepeda bersama rombongan saat menuju Kaliurang yang elevasinya lumayan bikin putus asa bagi saya saat itu.  Ada dalam rombongan adalah Ferdian, pesepeda asli Jogja yang sudah terbiasa dengan tanjakan, dan juga Aristi, seorang dokter yang pernah "iseng" bersepeda dari Jakarta menuju Jogja saat mendaftar program dokter spesialis.

Ketiga adalah Radith, kawan yang beberapa kali menemani saya bersepeda cukup jauh, terakhir kali adalah saat mengawal bersepeda Jogja-Surabaya,walau dia memutuskan hanya menemani sampai titik Cemorosewu saja.

Pada tiga kejadian itulah, saya mendefinisikan bagaimana pesepeda pro seharusnya.

Saat bersepeda rute Jogja-Solo sejauh kurang lebih 60 kilometer, saya bersepeda terlalu semangat dan karena tak mengerti bagaimana mengatur kecepatan dan napas, maka sepeda dikayuh sekencang-kencangnya dan posisi gear juga paling tinggi biar ngebut.

Mas Bagus yang menemani saat itu, bukannya berada di depan, malahan posisi sepedanya lebih sering berada di belakang saya.  Mengamati cara saya bersepeda. Sampai akhirnya dia menjejeri sepeda saya dan memberi beberapa petuah.  Saya masih ingat diantaranya dia memberi arahan agar menurunkan rasio gear dan juga menurunkan kecepatan.

Itu katanya untuk menjaga napas dan tenaga agar tetap stabil, selain juga untuk mencegah kaki kram karena terlalu diforsir bersepeda dengan kecepatan tinggi. Setelah itu karena posisinya di belakang, jadi mudah mengontrol kondisi saya sepanjang perjalanan.  Mungkin karena itu dia mengajak berhenti sejenak sarapan soto di pertengahan perjalanan untuk menjaga kondisi tetap fit.

Syukurlah finish di Kota Solo dengan sehat walafiat dan tanpa ada kelelahan berlebihan.  Tak salah memang gelar pesepeda ultra disematkan pada mas Bagus. Selain memang kuat bersepeda jarak jauh, caranya membimbing pesepeda newbie seperti saya sangatlah pro sekali.   Caranya mengawasi kondisi dan gaya bersepeda serta sesekali membenarkan cara mangayuh dan mengatur tenaga dengan baik itu sungguh keren.  Benar-benar pesepeda pro.

.

Kejadian selanjutnya adalah kali pertama menanjak ke Kaliurang.  Jaraknya sebenarnya tak terlalu jauh dari pusat kota Jogja.  Hanya sekitar 20 kilometer, tapi elevasinya sangat lumayan menguras tenaga bagi pesepeda pemula seperti saya.  Apalagi kala itu, mungkin sekitar tahun 2012-2013, sepeda yang digunakan adalah sepeda besi yang berat dengan spare part seadanya serta bermasalah pada pedalnya yang kondisinya sudah tak lagi bagus.  

Walaupun saya berada di tengah para pesepeda handal, tapi tak ada yang pamer kekuatan dengan ngebut di tanjakan, semua mengayuh dengan santai dengan kecepatan sedang.

Di tengah-tengah tanjakan, saat pedal mengalami masalah sampai nyaris lepas, bukannya ditinggalkan.  Ferdian dan Aristi saat itu justru turut berhenti dan membantu memperbaiki masalah pada pedal yang memang kondisinya sudah tak lagi bagus.  Sepanjang perjalanan pun mereka terus memantau kondisi sepeda saya.

Tak cukup sampai di situ, di tengah-tengah tanjakan yang semakin tak masuk akal, sudah umum bagi pesepeda kurang ilmu macam saya untuk cepat-cepat menguras tenaga semaksimal mungkin agar cepat sampai di tanjakan.  Tentu saja itu hanya berakibat kehabisan tenaga dan terancam tak sampai tujuan.

Saya masih ingat saat itu Ferdian yang posisinya di belakang saya,  pelan-pelan menjejeri dan memberi saran untuk menurunkan posisi gear dan mengayuh dengan pelan dan ritme yang teratur.   Tak perlu cepat-cepat yang penting napas dan tenaga terjaga.  

Petuahnya saya turuti dan akibatnya sungguh positif, finish di tugu Kaliurang akhirnya tercapai untuk pertamakali.  Petuahnya itu pun selalu saya ingat sampai sekarang saat menemui tanjakan pada rute sepedaan.

Aristi dan Ferdian yang jam terbangnya tinggi serta kawan lain dalam satu rombongan sepedan saat itu menunjukkan  ciri pesepedapro sesungguhnya.  Tak meninggalkan kawan yang kesulitan serta memberi saran bagaimana bersepeda yang baik dan benar.

.

Kejadian ketiga adalah saat beberapa kali bersepeda dengan seorang kawan bernama Radith, pemuda asal Jogja yang terkenal dengan pengelaman bersepedanya yang sudah tak terbantahkan.  Rasanya semua macam tanjakan pernah dilahapnya, dan jarak tempuhnya sudah tak terhitung.

Salah satu momen bersepeda jauh legendaris bersamanya adalah saat bersepeda menyusuri jalanan yang mengelilingi Gunung Merapi, melewati Jogja, Magelang, Klaten dan Boyolali sekaligus.  Saat itu bersama-sama Saktya dan Bagso.   Mereka bertiga itu juga sabar saja menemani, mengawal dan bahkan menunggu saya saat benar-benar mencapai titik lelah saat di tengah perjalanan menuju Selo.

Tak ada yang mau meninggalkan kawan satu rombongan, bahkan saat lampu yang dipakai Bagso mengalami masalah di tengah perjalanan pulang saat tiba malam hari di pedalaman Klaten, masing-masing ambil posisi agar perjalanan tetap lancar dan jalan bisa terlihat dengan cukup jelas.

Sampai akhirnya sama-sama finish menjelang tengah malam di Kota Jogja dengan gembira.  Apalagi beberapa kali di tengah perjalanan, Radith selain menjaga ritme sepedaan, juga berbaik hati mengambil foto dengan kamera bagusnya untuk dokumentasi.  Hasilnya adalah foto di atas dan foto di bawah ini.

kenangan bersepeda mubeng Merapi (dokpri/radith)
kenangan bersepeda mubeng Merapi (dokpri/radith)

Jadi demikianlah.

Ternyata pesepeda pro sesungguhnya tak beda dengan seorang guru, yang secara langsung memberi arahan dan bimbingan dalam bersepeda.  Persis seperti apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, utamanya pada kalimat: ing madya mangun karsa,tut wuri handayani.  Orang-orang seperti itu memberi semangat, arahan dan motivasi dengan menempatkan diri sejajar di tengah-tengah ataupun berada di belakang saat bersepeda dengan jarak cukup jauh dan elevasi yang cukup menanjak.

Jadi, demikianlah harusnya pesepeda yang pro, mampu sabar menemani kawan sampai titik akhir, bukannya malah pamer kekuatan lalu ngebut meninggalkan kawan dan lalu mengejar finish duluan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun