Mohon tunggu...
R. Syrn
R. Syrn Mohon Tunggu... Lainnya - pesepeda. pembaca buku

tentang hidup, aku, kamu dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memori Mindful Eating di Masa Kecil

4 Februari 2024   22:05 Diperbarui: 7 Februari 2024   13:29 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: marocmama.com

Topik pilihan yang satu ini, justru berhasil melempar ingatan ke masa kecil.  Mindful eating, alias memfokuskan perhatian pada 'makan' adalah kebiasaan yang ditanamkan saat kecil.  Hal sederhana yang mau tak mau terdistraksi oleh teknologi. 

Saat makan di rumah saya artinya adalah duduk bersila bersama semua anggota keluarga.  Di ruangan dapur. Di atas lantai kayu.  Tanpa meja. 

Mengelilingi hidangan menu makan siang atau makan malam, sesekali saat sarapan yang agak jarang terjadi. Makannya pun menggunakan tangan. Sendok biasanya hanya digunakan untuk mangambil sayur.

Menu yang tak kalah sederhana. Sepiring nasi. Ikan sungai, biasanya satu orang kebagian jatah satu.  Oleh karena itulah seringkali sayang kalau tak dihabiskan bahkan sampai ke tulang-tulangnya. 

Segelas air putih.  Kadang-kadang ditambah sayur bening.  Pernah malah makan cuma dengan 'sayur' air teh manis.  

Tak seperti di film-film luar negeri. Di mana saat makan siang atau malam adalah momen ngobrol dengan keluarga. Saat makan di keluarga kami adalah senyap. Justru tak boleh mengobrol. 

Makanan dinikmati dalam diam. Paling sesekali berbicara, semisal menambah nasi, atau air putih. Tak ada tambahan untuk lauk ikan.

Makanan sederhana itu ajaibnya akan selalu habis dimakan. Mama yang selalu memasak hidangan. Walau beliau sibuk mengajar. Tapi selalu sempat memasak untuk keluarga. Jarang sekali lauk dibeli.  Lagian jaman dulu jarang ada yang jual lauk masak di kampung kami.

Setelah ritual makan usai.  Baru semua beranjak dari lingkaran.  Kembali dengan kesibukan masing-masing. Ohiya, sebagai tambahan. 

Acara makan haruslah dengan pakaian lengkap.  Kata abah itu untuk menghormati makanan,  layaknya upacara adat, tak layak makan dengan pakaian sembarangan.

Zaman itu.  Sekitar tahun 80-an. Televisi kebetulan baru menyala saat sore tiba. Masih pakai accu. Jadi tak ada distraksi saat makan. 

Dan, pada zaman itu pula nyaris tak ada makanan berpengawet buatan. Kalaupun ada, harganya juga tak terjangkau. Selain jarang warung yang menyediakannya.

Makanan yang sehat.  Tak ada gangguan yang berarti.  Makan seadanya dengan anggota keluarga. Bersyukur atas menu apapun yang tersedia. 

Mungkin itulah inti dari mindful eating: kesederhanaan.   Fokus pada makanan yang tersedia dan momen makan yang menyertainya.

Sesederhana itu ternyata.  

Dan nyatanya, mungkin akibat kesederhanaan gaya makan seperti itu.  Kami sekeluarga tak pernah menderita sakit yang berat, tak pernah ke dokter sekalipun. Kalaupun harus ke tenaga medis, cukup ke puskesmas atau ke mantri kesehatan.  Itupun hanyalah sakit ringan.

Ah. Saya jadi rindu masa-masa itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun