Mohon tunggu...
R. Syrn
R. Syrn Mohon Tunggu... Lainnya - pesepeda. pembaca buku

tentang hidup, aku, kamu dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Seberapa Beruntung Berpendidikan Tinggi?

18 Januari 2024   00:20 Diperbarui: 19 Januari 2024   16:46 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pendidikan tinggi. (Sumber: KOMPAS/HERYUNANTO)

Topik pilihan Kompasiana kali ini menarik, beberapa baris pertanyaan sangat menarik untuk dijawab, diuraikan dan diceritakan berdasarkan pengalaman saat mendapat kesempatan memperoleh gelar di tertinggi pendidikan.

Apalagi memang rasio lulusan jenjang S2 dan S3 di negeri ini sangatlah sedikit. Berdasarkan sumber data di Kemendagri pada akhir tahun 2022, jumlah penduduk di tanah air yang lulus S2 sebesar 0,45%, sementara lulusan S3 jauh lebih langka, yaitu ada di angka 0,03 %.

Sebagai bagian dari manusia langka di negeri ini, tentu sangat menarik jika bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan admin Kompasiana. Mari saya respon satu persatu lima daftar pertanyaan tersebut.

1. Seberapa penting seseorang menempuh pendidikan Magister (S2) dan Doktor (S3)? 

Penting tidaknya pendidikan tinggi bagi seseorang tentulah sangat relatif, tapi tentunya pendidikan itu sendiri adalah sangat penting tanpa memandang jenjang. 

Teruntuk orang-orang yang ingin mempelajari sesuatu dari banyak perspektif dan berlandaskan pola pikir ilmiah, tentu saja hukumnya malah jadi wajib.

Kewajiban untuk menempuh jenjang pendidikan tertinggi semakin terasa wajib jika ditujukan bagi yang berprofesi sebagai tenaga pendidik, khususnya dosen.

Hal tersebut karena selain memenuhi kelengkapan administrasi sebagai seorang tenaga pengajar, tentu saja seorang pengajar kudu memiliki sudut pandang yang lebih luas terhadap suatu objek, itu semata-mata agar para murid pun bisa mendapatkan ilmu dengan dasar yang kuat dan dari berbagai perspektif.

2, Apa saja yang memengaruhi keputusan seseorang untuk melanjutkan studi ke S2 dan S3? 

Lagi-lagi jawabannya adalah relatif. Tapi rata-rata adalah demi kepentingan karir dan demi memenuhi rasa penasaran akan ilmu, selain alasan-alasan lain yang kadang tidak logis.

Misal seorang kawan yang memutuskan untuk kuliah di Australia, gara-gara idolanya dikabarkan akan kuliah di sana, walau akhirnya sang idola tak jadi sekolah di negeri kanguru itu, kawan saya pun akhirnya malah kuliah di Eropa.

Saya sendiri memutuskan untuk kuliah lagi, karena penasaran ingin melanjutkan kuliah dan menguji daya tahan saya dalam mencari ilmu dan perspektif yang lebih luas, dan tentu saja menambah pengalaman dan kawan. Sesederhana itu.

3. Apakah tingginya strata pendidikan berbanding lurus dengan tingginya jabatan, prospek karier, hingga penghasilan? 

Jikalau terkait dengan korelasi tingkat pendidikan dan ketinggian jabatan, karir dan penghasilan, logikanya pastilah linear. Apalagi bagi yang bekerja di kantoran dan mendapatkan ijin resmi untuk melanjutkan pendidikan. 

Paling tidak, gelar yang didapat pasti mendapakan penghargaan berupa kesesuaian pangkat dengan strata pendidikan. Itu hal yang mutlak.

Jika bisa mengoptimalkan gelar akademis yang didapat, tentu saja berpengaruh positif terhadap karir dan penghasilan. 

Melihat persentase pemilik gelar pendidikan yang tinggi, tentu orang lain dan pihak-pihak manapun akan memiliki kepercayaan yang tinggi akan kemampuan yang dimiliki empunya gelar.

Sedikit banyak pasti akan dipertimbangkan untuk mengerjakan hal-hal yang bersifat konseptual yang dianggap sesuai dengan bidang ilmu yang telah didapatkan di tempat pendidikan, lebih-lebih jika gelar tersebut didapatkan dari lembaga pendidikan yang kredibel. 

4. Keuntungan apa yang Kompasianer dapatkan dengan memiliki gelar Master dan Doktor? 

Keuntungan yang dirasakan adalah bertambahnya ilmu dan pengetahuan sesuai bidang yang dipelajari, kemudian di sisi lain mendapatkan kesempatan untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan orang lain terutama mahasiswa yang diajar. Pemikiran pun terasa lebih baik dan terpola secara sistem karena luasnya perspektif yang didapatkan selama kuliah.

Hal lainnya adalah meningkatnya kemampuan membangun komunikasi, kemampuan membangun konsep, kemampuan untuk mencari solusi efektif atas sebuah masalah,dan kemampuan untuk mencari titik masalah dari sebuah sistem dan mencari alternatif solusi yang efektif pula untuk memecahkannya.

Hal lainnya adalah mental yang terasa makin tahan banting, karena proses perkuliahan yang benar-benar menguras pikiran, tenaga dan mental sekaligus adalah ujian yang tak kan pernah didapatkan dimanapun. 

Tentu saja bisa lolos melewatinya adalah suatu kebanggan sendiri, sebuah privilege langka yang tak semua orang bisa dan mampu menjalaninya. 

5. Bagaimana relevansi ilmu tersebut dengan pekerjaan yang kini dilakoni?

Semakin tinggi strata pendidikan yang diikuti, semakin bergeser pula fokus dari hal-hal teknis menuju hal-hal konseptual. Pola pikir yang dituntut untuk memandang sebuah hal sebagai suatu sistem, akan selalu membuat lulusan pendidikan pasca sarjana selalu relevan saat bekerja di bidang apapun.

Tentunya harus pula disertai dengan dukungan sistem birokrasi di lingkungan yang bersangkutan bekerja. Mengingat poin-poin diatas, utamanya poin nomor empat, relevansi adalah hal yang tak lagi patut dipertanyakan. 

Lebih-lebih saat hakikat dan konsep dalam mata kuliah filsafat ilmu bisa dipahami dan dikorelasikan dengan mata kuliah yang bersifat teknis.

Intinya ada pada pola pikir secara sistem dan konseptual, maka dimanapun tempat bekerja, akan terus relevan dan optimal sepanjang pekerjaan yang dilakoni benar-benar sesuai dengan perencanaan dan peraturan yang mendasarinya.

***

Jadi demikianlah, hakikatnya tak ada kata rugi dalam menuntut ilmu, karena selalu ada hal-hal positif saat mendapatkan hal-hal baru dan pola pikir deduktif yang tentu saja diajarkan oleh guru-guru terbaik yang sangat berpengalaman di bidangnya.

Saat ada kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, raihlah sesegera mungkin, secepat mungkin, dan jadilah bagian dari orang-orang yang beruntung dan jumlahnya masih teramat sedikit di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun