Mohon tunggu...
R. Syarani
R. Syarani Mohon Tunggu... Lainnya - pesepeda. pembaca buku

tentang hidup, aku, kamu dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kuburan Dendam

16 Desember 2023   21:05 Diperbarui: 16 Desember 2023   21:13 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: islamicinternationalfuneralservice.com

Circa, 1991

Pelajar kelas satu itu, namanya Aksara, pemuda yang lebih banyak diam daripada berbicara, mungkin akibat kutukan namanya, yang menyebabkan dia lebih nyaman berujar dalam tulisan dibanding langsung menyampaikannya dengan kata-kata.

Siang itu adalah kegiatan bersih-bersih di taman tengah, area yang sebenarnya tak begitu pantas juga disebut taman, karena tak begitu dirawat dengan paripurna.  Halaman kelas mungkin lebih tepat disematkan untuk tempat seluas beberapa meter persegi di antara koridor, laboritorium anatomi dan perpustakaan yang berhadapan dengan empat ruang kelas yang ada.

Seorang guru, tepatnya guru agama, entah kenapa siang itu hatinya mungkin sedang tidak baik, mungkin ada masalah di keluarga, entahlah dia tak peduli, kelihatan sekali menunjukkan raut muka yang menunjukkan perasaan tidak bersahabat, saat melihat Aksara sedang duduk diam di atas batu yang ada di tengah-tengah 'taman' tersebut.

Pak guru itu tak sekedarmenghampirinya, tapi juga memukul punggungnya dan serta merta berujar dengan cukup keras, entah dengan alasan apa.

"Kamu itu, bukannya ikutan kerja bersih-bersih, malah duduk saja.  Sia-sia saja pintar tapi pemalas"

Aksara menatap sang guru dengan bingung, dan memutuskan menjauh dari tempat tersebut.  Anak itu bukannya malas, tapi tak pernah merasa nyaman saat diawasi saat beraktivitas, apapun itu.  Seakan-akan orang hukuman, yang selalu dicurigai akan berbuat kesalahan jika lengah dari pengawasan.

Dia hanya ingin melakukan tugasnya dengan merdeka, dengan kepercayaan penuh, bukan dengan kecurigaan.  Dia merasa bahwa kedewasaan tumbuh dari kepercayaan, bukan dari sekedar tugas dan suruhan berdasar keterpaksaan.

 Circa, 1993

Pelajar kelas tiga itu namanya Aksara.  Sebenarnya tak lagi menyandang status anak kelas tiga, karena beberapa waktu yang resmi dinyatakan lulus, walau ijazah belum terbit, tapi ada selembar surat keterangan nilai-nilai yang diperolehnya saat tiga tahun bersekolah di tempat itu.

Dia masih tertegun, tak percaya menatap nilai pada mata pelajaran paling atas, pelajaran agama. Tertera angka 6 di situ, nilai yang sangat pas-pasan untuk syarat lulus.  Angka yang paling rendah di antara jejeran nilai pada pelajaran lainnya.  Rasanya kawannya yang lain sebandel apapun, tak ada yang mendapatkan nilai serendah itu.  

Pikirannya berusaha menerima, tapi nalarnya menolak.  Apalagi dia masih ingat, kalau jawaban dari soal ujian akhir mata pelajaran itu,  kebetulan adalah materi yang dipelajarinya, dan dia bisa menjawabnya dengan cukup baik.  Bagaimanapun, sejelek-jeleknyaitu adalah pelajaran tentang keyakinan, yang relatif tidak sesusah mata pelajaran ilmu pasti yang penuh dengan rumus, atau pelajaran anatomi yang penuh hapalan akan bagian-bagian tubuh beserta detil-detil rumit lainnya.

Tapi itu tak bisa merubah apapun, angka 6 itu abadi, tertera di ijazahnya, sampai kapan pun, dan mungkin membuat pikiran orang lain yang kebetulan melihat angka itu, akan berpikir buruk tentang keyakinan dan akhlaknya.  Tapi dia tak peduli, tak pernah peduli.  Hanya saja dendam ternyata muncul begitu saja, membara abadi di otak dan pikirannya.

Akhir 2023.

Sebuah pengumuman tertera di aplikasi pesan di telepon genggamnya, di grup angkatan sekolah, tentang wafatnya salah seorang guru di sekolahnya.  Lebih tepatnya, wafatnya guru agamanya di masa lalu. Guru yang memukul punggungnya dengan alasan yang aneh, guru yang sama yang memberinya nilai rendah di ijazahnya.

Sampai ada ajakan untuk takziyah, mengucapkan salam perpisahan ke rumah guru mereka di dekat komplek sekolahan mereka dahulu, janjian untuk sama-sama berangkat menjelang tengah hari.

Aksara tersenyum datar, tak menyiratkan rasa duka, rupanya bara dendam masih dipeliharanya selama bertahun-tahun.  Ajakan kawan hanya didiamkan, tak ada reaksi apapun.  Tak mengiyakan, pun tak ada niat untuk ikut.

Diam-diam, wajahnya kembali menyiratkan senyum.  Datar.  Tapi bara di mata dan dadanya, masih saja menyala, tak juga padam dan berubah jadi arang. Entah sampai kapan dia bertahan terus memelihara dendam, terkubur dalam-dalam, dalam alam pikiran..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun