Circa, 1991
Pelajar kelas satu itu, namanya Aksara, pemuda yang lebih banyak diam daripada berbicara, mungkin akibat kutukan namanya, yang menyebabkan dia lebih nyaman berujar dalam tulisan dibanding langsung menyampaikannya dengan kata-kata.
Siang itu adalah kegiatan bersih-bersih di taman tengah, area yang sebenarnya tak begitu pantas juga disebut taman, karena tak begitu dirawat dengan paripurna. Â Halaman kelas mungkin lebih tepat disematkan untuk tempat seluas beberapa meter persegi di antara koridor, laboritorium anatomi dan perpustakaan yang berhadapan dengan empat ruang kelas yang ada.
Seorang guru, tepatnya guru agama, entah kenapa siang itu hatinya mungkin sedang tidak baik, mungkin ada masalah di keluarga, entahlah dia tak peduli, kelihatan sekali menunjukkan raut muka yang menunjukkan perasaan tidak bersahabat, saat melihat Aksara sedang duduk diam di atas batu yang ada di tengah-tengah 'taman' tersebut.
Pak guru itu tak sekedarmenghampirinya, tapi juga memukul punggungnya dan serta merta berujar dengan cukup keras, entah dengan alasan apa.
"Kamu itu, bukannya ikutan kerja bersih-bersih, malah duduk saja. Â Sia-sia saja pintar tapi pemalas"
Aksara menatap sang guru dengan bingung, dan memutuskan menjauh dari tempat tersebut. Â Anak itu bukannya malas, tapi tak pernah merasa nyaman saat diawasi saat beraktivitas, apapun itu. Â Seakan-akan orang hukuman, yang selalu dicurigai akan berbuat kesalahan jika lengah dari pengawasan.
Dia hanya ingin melakukan tugasnya dengan merdeka, dengan kepercayaan penuh, bukan dengan kecurigaan. Â Dia merasa bahwa kedewasaan tumbuh dari kepercayaan, bukan dari sekedar tugas dan suruhan berdasar keterpaksaan.
 Circa, 1993
Pelajar kelas tiga itu namanya Aksara. Â Sebenarnya tak lagi menyandang status anak kelas tiga, karena beberapa waktu yang resmi dinyatakan lulus, walau ijazah belum terbit, tapi ada selembar surat keterangan nilai-nilai yang diperolehnya saat tiga tahun bersekolah di tempat itu.