Kisah Kawan-Kawan Satu Kamar, yang Terakhir Bikin Kesal

Gara-gara tulisan kawanku yang sepagi ini berhasil membuka lagi luka lama yang terpendam sekian lama.  Tentang betapa ada seseorang yang dengan mudah melupakanmu, padahal dirimu begitu ingat detil tentang dirinya.  Benar kata kawanku itu, harusnya jangan berharap sama manusia, tapi ya gimana rocker juga manusia, punya rasa punya hati, jangan samakan dengan pisau belati.

Ini adalah cerita sewaktu sekolah dulu, kebetulan aku sekolah kejuruan yang lokasinya jauh dari rumah.  Selain memang saat kelas satu wajib masuk asrama selama satu tahun, setelah itu bebas, mau lanjut jadi penghuni asrama lagi atau pindah ke kos di luar komplek sekolahan yang bisa kami sebut kampus.

Tahun pertama masuk asrama, aku bergabung dengan tiga siswa lainnya dengan kelakuan ajaibnya masing-masing.  Dalam kamar dapat satu dipan dan satu meja belajar yang merangkap lemari penyimpanan baju dan barang-barang pribadi.  Satu kamar, dua ranjang tingkat berbahan pipa besi, dua meja merangkap lemari yang terpaksa dishare.

Temenku yang satu ketemu saat sama-sama dari terminal kota Banjarmasin, menaiki mobil colt yang sama, dia waktu itu bawa gitar, padahal dia sendiri tidak bisa main gitar dengan baik, absurd memang.  Kawan yang satu ini dari orang kaya, walau endingnya kasian karena dia tidak naik kelas.

Temen kedua adalah termasuk yang aktif, interaksinya bagus, aku lupa kenapa dia akhirnya dipanggil Donal, yang bikin aku iri karena saat naik kelas dua terpilih jadi anggota panitia opspek, yang artinya punya otoritas untuk nyuruh-nyuruh siswa yang baru masuk.  Saking senangnya jadi panitia opspek, tandatangannya pun tulisannya kalau dibaca adalah : Push up!  Aneh, kan?

Teman ketiga ini aku kurang suka, karena saat naik kelas, malah naksir adik kelas yang aku suka. Eh, itu sih salahku sendiri karena kalah start hihi. Anehnya kami kembali tinggal di kos yang sama saat kelas dua.

Nah, yang aku lupa bagaimana ceritanya saat semester dua, aku pindah dari kamar isi empat orang itu ke kamar yang lebih kecil, yang isinya cuma dua orang.   Temen sekamar yang baru itu ternyata tak kalah ajaib, aku masih inget bagaimana kalau malam susah tidur karena giginya suka berbunyi kerekot-kerekot tak jelas begitu, Aku lupa nama fenomenanya, tapi begitulah.  Kawan yang rada ajaib ini juga nyatanya entah kenapa jadi satu kos juga sewaktu di kelas dua.

Nah, sekarang sampailah sata kelas dua.  Sempat kembali meneruskan hidup di asrama yang tak seramai waktu kelas satu, karena jarang ada anak kelas dua yang mau masuk asrama lagi.  Mungkin karena menu makanan di asrama yang monoton dan kurang asik.  Di asrama kelas dua cuma sempat beberapa bulan, sebelum hengkang ke kos seberang komplek sekolah.

Di kos itulah aku satu kamar dengan kakak kelas.  Orangnya berbadan agak gelap, agak kekar dengan hiasan tahi lalat di hidungnya.  Yang punya kebiasaan bebersih diri yang seringkali bikin aku yang tak paham soal perawatan wajah jadi takjub.  Kawan yang sering diskusi tentang pacarnya. Iya dia seringkali bercerita tentang pacarnya yang adalah kawan sekelasku, diskusi yang biasanya dilakukan di dipan yang kali ini tidak berbentuk tumpuk. Tapi dipan kayu, yang posisinya bersisian tapi berseberangan, semoga yang membaca bisa paham penggambaranku ini. Pokoknya demikianlah.

Sampai beberapa tahun berlalu, sudah lulus lalu reuni.  Saat bertemu, akupun menyodorkan tangan untuk salaman, dan reaksi kawan sekamarku yang terakhir adalah: siapa ya? aku lupa..