Awal abad 20 seakan-akan menjadi lebih canggih dibanding abad sebelumnya. Â Satu per satu teknologi baru bermunculan di negeri ini, selain munculnya sistem operasi windows yang semakin memudahkan dalam pengetikan berkas, ada satu hal lagi yang membuat hidup terasa beda yaitu hadirnya handphone alias telepon genggam.
Saya tidak tahu kapan persisnya benda itu mulai beredar di pasaran, justru mulai kenal dengan gawai itu saat berkunjung ke kos seorang teman di Malang di awal tahun 2000. Â Saat itu ada salah seorang kawannya dari teman itu,yang kemana-mana membawa kotak berisikan benda mahal itu. Â Iya, saking dianggap langka dan berharganya sebuah handphone sampai-sampai harus dibawa sama kotak kardusnya kemana-mana, bukannya dimasukan ke dalam kantong.
Rasanya itu salah satu seri dari merk Ericsson sebelum bergabung dengan perusahaan Sony beberapa tahun kemudian. Â Masih layar hitam putih dengan kapasitas memori terbatas, cuma bisa menelpon dan sms alias pesan pendek yang harganya masih mahal per pesan, dulu harga per pesan terkirim adalah 350 rupiah.
Dan masih diberlakukan sistem roaming, bayangkan utuk menerima telepon saja harus bayar cukup mahal. Â Provider yang ada baru indosat dengan kartu mentari dan telkomsel dengan kartu simpatinya.
Tidak seperti sekarang dimana counter kartu telepon menjamur dimana-mana dan harganya cukup murah. Â Dulu satu kartu perdana simpati yang baru saja harganya ratusan ribu rupiah, begitu pun kartu mentari. Â Saking mahal dan sedikitnya orang yang menjual kartu perdaya tersebut, sampai-sampai saya pernah menjual kartu seluler bekas ke salah satu kios penjual handphone bekas dan laku.
Baru sekitar tiga tahun kemudian sistem roaming perlahan-lahan dihilangkan, dan provider baru muncul. Â Seperti XL yang mengeluarkan kartu perdana bebas dan jempol. Â Bebas yang dikhususkan untuk yang sering nelpon, dan jempol untuk yang sering sms-an.
Handphone yang akhirnya bisa saya miliki pertama kali adalah Siemens C30, yang bentuknya panjang bulat dan sangat tidak ergonomis, mau dimasukkan ke kantong rasanya aneh dan mengganjal, itu juga dapat beli bekas dari adik. Â Sampai kemudian beralih ke Nokia 3315 yang masih bernada bunyi klasik khas Nokia dan masih layar hitam putih pula.
Selain kartu perdana yang mahal, tentu saja harga pemakaian pulsa juga termasuk tidak murah. Akibatnya pengguna telepon selular harus pintar-pintar mencari cara agar bisa menelpon murah atau malah mencari provider yang biayanya cukup terjangkau. Â Akibatnya pernah ada fenomena menelepon beberapa detik agar tidak kena biaya pulsa, itu berlaku untuk kartu IM3 saat awal-awal keluar, sehingga dikenal baik oleh kalangan mahasiswa.
Jadi, misal untuk memberi tahu sedang dimana, bisa berkali-kali nelpon dan dimatikan dan begitu terus. Misal ingin bilang sedang di warung A. Maka menelponnya dengan cara "Aku" Telpon dimatikan. "Di Warung" Matikan lagi. "A". Â Trik yang sungguh melelahkan.
Saya sendiri sekitar tahun 2004, sewaktu kuliah di Surabaya pernah menggunakan kartu Lippo, yang anehnya cuma berlaku di sebagian wilayah Jawa Timur. Â Tarif pulsanya murah dan bisa ditelpon dari telepon rumah atau wartel. Â Ya dulu masih ada wartel alias warung telkom di kampus, di samping kantin Fakultas Sastra salah satunya.