Mohon tunggu...
R. Syrn
R. Syrn Mohon Tunggu... Lainnya - pesepeda. pembaca buku

tentang hidup, aku, kamu dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angon Rasa di Klangon

5 November 2022   16:49 Diperbarui: 5 November 2022   16:57 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto Klangon dari blog mblusuk.com

Jogja masih sangat pagi, matahari masih malas dan bersembunyi di timur, tapi Dewi sudah menyiapkan Kougar-nya semenjak subuh. Sabtu itu tak ada kuliah, adanya janji dengan Vitto, sahabat sedari SMA dan cuma beda fakultas di universitas yang sama.  Vitto yang pesepeda kambuhan dan dadakan itu mengajaknya jalan-jalan ke Klangon, di utara kota yang dekat dengan Merapi.

Beberapa kali bersepeda dengan Vitto nyatanya memang menyenangkan, walau seringkali jaraknya tak pernah dekat dan waktunya tak pernah sebentar, tapi Dewi senang, karena jajannya terjamin, entah kenapa dia merasa aman saat sepedaan dengan kawan gemblungnya itu.

Baru saja hendak mengirim pesan, sosok yang ditunggunya datang.  Seperti biasa senyum-senyum di atas Rivera hitam doff-nya.  Mereka berdua memang menamakan sepedanya sesuai dengan seri bawaan dari pabriknya, kebetulan namanya unik dan terkesan gagah.

"Sudah siap?"  Vitto bertanya singkat, Dewi mengangguk.
"Bentar, ya. Pamit, sik".  Vitto mengangguk, Dewi masuk ke dalam rumah sebentar, lalu keluar lagi, sambil menenteng helm sepeda.

Baru jam enam lewat beberapa menit, jalanan baru memulai atraksinya.  Sepasang sepeda itu meluncur ke utara.  Dari rumah Dewi di sekitar Alun-Alun Kidul, mereka mengarah ke flyover Janti, katanya mau gabung dengan temannya Vitto.  Benar saja sesampai halaman sebuah salon tempat biasa mereka memulai titik perjalanan, sudah ada empat orang lagi yang menunggu dengan sepedanya masing-masing.

Dewi cuma mengenal dua di antaranya, karena sudah pernah dua kali sepedaan bareng, waktu ke Gua Kiskendo dan ke Mangunan beberapa bulan silam, yaitu Sakti dan Warm, yang sering salah eja jadi Worm. Dua lagi dia tak kenal, tapi kata Vitto mereka sebenarnya yang punya acara. 

Entah dapat informasi dan ide darimana sehingga rencananya mau blusukan mencari mata air yang konon tertutup debu merapi empat tahun silam.  Agak kurang kerjaan memang, tapi tampaknya pasti menyenangkan.

Tak sampai sepuluh menit, dari arah barat ada sepasang sepeda lagi menghampiri mereka, sepeda yang agak njomplang, yang satu relatif baru dan sepertinya sepeda touring impor, satunya lagi sepeda yang biasa dipakai ibu-ibu ke pasar, city bike biasa dengan enam percepatan.  Mereka mengenalkan dirinya satu persatu sambil salaman.

"Rassta". begitu kata si gondrong
"Farra" suara merdu si rambut sebahu menimpali. 

"Cantik". Kata Dewi sambil menjawil bahu Vitto, yang cuma mengangguk tak acuh.

Sebentar saja perkenalannya, perjalanan mereka dipimpin oleh dua orang lagi, Indah dan Adith yang konon dijuluki sepasang pesepeda penguasa Jogja, karena saking hapalnya mereka semua sudut-sudut Jogja sampai ke Kabupaten-Kabupaten di sekitarnya, ibarat kata mereka itu adalah peta berjalan, jadi berjalan bersama mereka dijamin aman. Begitu promo dari mulut Vitto sejak seminggu yang lalu.

Sekitar dua jam mengayuh akhirnya rombongan mampir di Cangkringan, di warung Soto. Makanan yang entah kesekian ratus kali mereka nikmati sebagai sarapan yang murah meriah tapi lebih dari cukup sebagai pengisi tenaga.

Sembari sarapan, Dewi melihat mata Vitto beberapa kali mencuri pandang ke arah Farra tanpa kentara, ada rasa hangat yang tiba-tiba menelusup ke dalam hatinya, bukan sekedar hangat tapi terasa membakar perasaannya, entah kenapa.  Cepat-cepat dia menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir perasaan tak enak yang tiba-tiba mengusiknya.

Sarapan usai, semua ditraktir oleh Vitto yang katanya sedang banyak duit, banyak gaya memang dia.  Tak urung membuat semua tersenyum lebar dan berterimakasih.  Itulah memang salahsatu yang menyenangkan dari Vitto, bisa ada rejeki dia tak pernah berat untuk membaginya dengan siapapun, bahkan dengan yang baru dikenalnya sekalipun.  Akibatnya orang cepat akrab dengannya.

Perjalanan dari Cangkringan menuju Klangon lebih banyak berteman diam, jalanan berdebu akibat rusak dilewati truk pengangkut pasir membuat mereka hening dalam balutan buff masing-masing.   Paling depan sebagai leader tentu saja Adit dan Indah, di belakangnya Farra dan Vitto, sisanya berderet di belakang.  

Dewi yang paling belakang hanya bisa diam melihat Rivera Vitto sejajar dengan Disc Trucker-nya Farra di depan.  Ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya.

Sesampai dusun Jetis, Dewi mendadak berteriak dari belakang.

"Mampir warung dulu, airku habis.."  Semua yang di depan menoleh, dan meminggirkan sepedanya ke warung yang letaknya dekat dengan sumber air.

Ternyata itu keputusan yang tepat, air di botol masing-masing memang tersisa sedikit, cuaca yang mulai hangat dan jalanan berdebu rupanya membuat kayuhan menjadi lebih berat.  Dewi apalagi, semangatnya tadi pagi mendadak pupus melihat selama di jalanan dia selalu ditinggal Vitto yang memilih menjejeri Farra.  Rasa yang membuatnya bingung.

'Apa karena aku terbiasa kemana-mana aman berdua dengan Vitto, tapi kenapa dia cepat akrab dengan Farra yang baru dikenalnya beberapa jam saja?' Gumam Dewi.

"Hey, ngelamun!"  Tiba-tiba saja sosok yang membuatnya setengah jengkel tersenyum di dekatnya.
"Ih!"  Responnya singkat.
"Ih, apa?" Vitto menaikkan alisnya dengan menyebalkan.
"Tumben menyapa, bukannya tadi asik dengan Farra?"

Vitto malah tertawa, dan dengan enteng memeluk bahunya, hal yang sebenarnya biasa dilakukan sahabatnya itu, tapi entah kenapa kali ini dia merasa risih dan menepiskan tangan Vitto..

"Kamu, kenapa Dew?"
Yang ditanya cuma diam, lalu memasang buff-nya.  Bergegas mengejar rombongan yang sudah berlalu di depan.

"Dew!"
'Tuh, kan masih saja semena-mena memanggil nama orang..' gumamnya lagi

Kougar hitamnya melaju, pelan dan akhirnya melambat, sampai akhirnya Dewi terpaksa turun dan menuntunnya di tanjakan Kalitengah, di depan sana, di puncak tanjakan, ternyata Vitto menunggunya.

"Ngapain?" Serunya, sambil terengah menuntun sepedanya.
"Menunggumu, lah". Sahut Vitto saat jarak mereka mendekat.
"Farra?"
"Apaan sih dari tadi kamu nanyain Farra melulu. Cemburu?"

Dewi terdiam saja, dan diam-diam merasa pipinya menghangat, tapi sekaligus lega, karena cuma ada mereka berdua yang tersisa di sana.  Enam lainnya sudah susul menyusul di depan.  Mungkin sudah sampai lapangan Klangon.

Ternyata tak seberapa jauh dari tanjakan jahanam itu, tujuan mereka sudah di depan mata.  Enam orang dengan sepedanya masing-masing sudah parkir di depan warung satu-satunya yang buka, dengan enam mangkok mie goreng instan yang masih mengepulkan asap.

"Vitto!"
Mereka berdua serempak menoleh, Farra yang ada di pikiran Dewi, berseru ceria memanggil.

"Tuh, dipanggil.'  Dewi memonyongkan mulutnya.
Vitto hanya tersenyum..

(bersambung_)

/

*kisahnya ini fiksi tapi perjalanannya nyata, detil perjalanan ke Klangon bisa ditengok di blognya mas Wijna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun