Jogja masih sangat pagi, matahari masih malas dan bersembunyi di timur, tapi Dewi sudah menyiapkan Kougar-nya semenjak subuh. Sabtu itu tak ada kuliah, adanya janji dengan Vitto, sahabat sedari SMA dan cuma beda fakultas di universitas yang sama. Â Vitto yang pesepeda kambuhan dan dadakan itu mengajaknya jalan-jalan ke Klangon, di utara kota yang dekat dengan Merapi.
Beberapa kali bersepeda dengan Vitto nyatanya memang menyenangkan, walau seringkali jaraknya tak pernah dekat dan waktunya tak pernah sebentar, tapi Dewi senang, karena jajannya terjamin, entah kenapa dia merasa aman saat sepedaan dengan kawan gemblungnya itu.
Baru saja hendak mengirim pesan, sosok yang ditunggunya datang. Â Seperti biasa senyum-senyum di atas Rivera hitam doff-nya. Â Mereka berdua memang menamakan sepedanya sesuai dengan seri bawaan dari pabriknya, kebetulan namanya unik dan terkesan gagah.
"Sudah siap?" Â Vitto bertanya singkat, Dewi mengangguk.
"Bentar, ya. Pamit, sik". Â Vitto mengangguk, Dewi masuk ke dalam rumah sebentar, lalu keluar lagi, sambil menenteng helm sepeda.
Baru jam enam lewat beberapa menit, jalanan baru memulai atraksinya. Â Sepasang sepeda itu meluncur ke utara. Â Dari rumah Dewi di sekitar Alun-Alun Kidul, mereka mengarah ke flyover Janti, katanya mau gabung dengan temannya Vitto. Â Benar saja sesampai halaman sebuah salon tempat biasa mereka memulai titik perjalanan, sudah ada empat orang lagi yang menunggu dengan sepedanya masing-masing.
Dewi cuma mengenal dua di antaranya, karena sudah pernah dua kali sepedaan bareng, waktu ke Gua Kiskendo dan ke Mangunan beberapa bulan silam, yaitu Sakti dan Warm, yang sering salah eja jadi Worm. Dua lagi dia tak kenal, tapi kata Vitto mereka sebenarnya yang punya acara.Â
Entah dapat informasi dan ide darimana sehingga rencananya mau blusukan mencari mata air yang konon tertutup debu merapi empat tahun silam. Â Agak kurang kerjaan memang, tapi tampaknya pasti menyenangkan.
Tak sampai sepuluh menit, dari arah barat ada sepasang sepeda lagi menghampiri mereka, sepeda yang agak njomplang, yang satu relatif baru dan sepertinya sepeda touring impor, satunya lagi sepeda yang biasa dipakai ibu-ibu ke pasar, city bike biasa dengan enam percepatan.  Mereka mengenalkan dirinya satu persatu sambil salaman.
"Rassta". begitu kata si gondrong
"Farra" suara merdu si rambut sebahu menimpali.Â
"Cantik". Kata Dewi sambil menjawil bahu Vitto, yang cuma mengangguk tak acuh.