Sejarah hukum laut internasional mengenal ada pertarungan antara dua konsepsi pokok, yaitu Res Nullius dan Res Communis. Res Nullius, yaitu laut tidak ada yang memiliki sehingga dapat diambil atau dimiliki siapapun, sedangkan Res Communis, yaitu laut merupakan milik masyarakat dunia sehingga tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara. Kemudian pada 1177 muncul teori klasik tentang kedaulatan laut, yaitu teori Bartulus dan Baldus. Teori Bartulus adalah teori yang membahas tentang bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai dan yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Sedangkan teori Baldus membahas tentang kepemilikan dan kepemakaian laut, yuridiksi atas laut, dan perjuangan Republik Indonesia yang menegakkan kedaulatan di laut.
Kemudian pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah RI mnegeluarkan Deklarasi Djuanda dengan tujuan untuk mewujudan bentuk wilyah NKRI yang utuh dan bulat,menentukan batas wilayah  negara Indonesia disesuaikan dengan Asas Negara Kepulauan; dan mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keselamatan dan keamanan NKRI. Lalu diajukan ke Konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958 di Jenewa ternyata usulan ditolak oleh negara-negara maritim besar. Kemudian pemerintah RI mengeluarkan PERPU No. 4/1960 tanggal 18 Februari 1960 tentang Perairan Indonesia.
Kedaulatan di ruang udara didasarkan atas teori udara bebas dan teori negara berdaulat di ruang udara. Teori bebas memiliki beberapa karakteristik. Â Pendiri teori ini dianut kaum Publicist, diantaranya Wheaton, Bluntschli, Stephan, dan Nys. Mereka berpendapat bahwa udara merupakan salah satu unsur yang menjadi milik bersama. Jadi, tidak ada dasar bagi negara manapun untuk memilikinya. Tidak ada negara yang dapat melaksanakan penguasaan terhadap udara karena pada kenyataannya mereka tidak dapat mempertahankan atau menyimpan udara untuk tetap berada di daerahnya. Udara milik umum.
Kemudian para tokoh keebebasan ruang dara dengan hak khusus negara kolong berpendapat bahwa secara fisik udara tidak dapat dijadikan objek pemilikan karena tidak dapat dikuasai oleh siapapun. Kemudian pengagendakan masalah rezim hukum udara menyatakan bahwa kebebasan ruang udara, tetapi ada batas daerah teritorial. Sedangkan teori negara berdaulat di ruang udara memiliki tiga pernyataan, yaitu negara kolong berdaulat penuh hanya terhadap suatu keinginan tertentu, negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh hak lintas damai bagi navigasi pesawat udara asing, dan negara kolong berdaulat penuh tanpa batas.
Konvensi-Konvensi Hukum Udara
Konvensi Paris (1919): pada tanggal 13 Oktober 1919 negara-negara sekutu menandatangani konvensi Paris yang berisi  tentang masalah di ruang udara. Akibatnya banyak negara di luar konvensi atau negara netral ikut menutup perbatasan ruang udaranya .
Konvensi Chicago (1944):Â konvensi Chicago tidak membuahkan hasil, sebaliknya malah mendapatkan tentangan keras.
Penafsiran Luas Ruang Udara Negara Secara Logika Yuridis:Â Jalur udara di atmosfir yang berisi cukup udara dimana pesawat udara dapat bergerak karena reaksi udara kepadanya sehingga mendapatkan gaya angkat.
Teori Penguasaan Cooper:Â kedaulatan negara di ruang udara ditentukan oleh kemampuan negara yang bersangkutan dalam menguasai ruang udara yang ada di atas wilayahnya.
Teori Ruang Udara Schachter: kedaulatan negara di ruang udara hanya terbatas di daerah dimana penerbangan dapat dilakukan dengan pesawat udara yang dikemudikan oleh manusia.
Penafsiran Kedaulatan Negara Pasca Sputnik I:
- Teori Bin Cheng membagi ruang penerbangan secara fisik menjadi dua bagian, yaitu ruang udara dan ruang angkasa.
- Teori Cooper
- Mc Dougal
- Jessup dan Taubenfeld
- Haley's Unamity  Theory
- Pepin, Goedhuis, dan Aaranson
Perjuangan Republik Indonesia Menegakkan Kedaulatan Negara di GSO
Deklarasi Bogota (1976): pada tahun 1976 di Bogota, Kolombia telah diadakan pertemuan yang membahas tuntutan GSO mengenai wilayah tertorial. Tuntutan tersebut bersifat kewilayahan, tetapi sebagai reaksi terhadap ketidakadilan dalam pemanfaatan GSO dikarenakan pengaturan lebih bertumpu pada doktrin first come, first saved, akibatnya sebagian jalur besar GSO didominasi  oleh negara-negara maju yang memiliki kemampuan IPTEK dan keuangan.
Pertemuan Quito Ekuador (1982): pertemuan ini tidak berhasil mengeluarkan suatu deklarasi , tetapi hanya final minutes  yang terdiri dari 6 prinsip yang mengenai tuntutan hak-hak terhadap GSO.
Konferensi Unispace II (1982):Â negara-negara katulistiwa mengusulkan dibentuknya rezim hukum sui generis bagi GSO di bawah pengaturan PBB atau ITU serta diberikannya hak berdaulat atas GSO bagi mereka.
Pertemuan Nairobi (1982): pertemuan ini bertujuan untuk mengubah rumusan pasal 33 ayat (2) Konvensi ITU 1973 dan dinyatakan bahwa dalam rangka pemanfaatan GSO secara efektif dan ekonomis harus senantiasa memperhatikan negara-negara yang membutuhkan  bantuan, negara-negara sedang berkembang dan negara-negara khusus (katulistiwa).
Pertemuan Sub Komite Hukum Un-Copuos (1983-1985):Â pertemuan ini membahas mengenai masalah pengaturan GSO melalui rezim hukum ius generis dengan menganalogikannya pada rezim ZEE dalam hukum laut.
Konferensi Radio Administratif Dunia (1985): pertemuan ini membahas mengenai apriori planning dalam pemanfaatan GSO, yaitu suatu upaya yang memungkinkan setiap negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemanfaatan GSO tanpa memandang tingkat perkembangan IPTEK dan ekonominya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H