PDI P menjadi salah satu partai yang mengusulkan hak angket terkait dengan kasus korupsi e-KTP. Hak Angket yang digulirkan tersebut mengundang perbincangan publik. Kenapa PDI P seperti ngotot memperlambat upaya KPK dalam mengusut tuntas korupsi yang banyak menyeret nama-nama anggota DPR.
Seharusnya biarkan KPK menjalankan tugasnya, dan DPR melakukan pengawasan. Bukan malah melakukan hak angket yang akan membuat konsenstrasi KPK terpecah dan pengusutan kasus bakal molor.
Namun yang menarik untuk dibahas adalah sikap partai pemenang pemilu, dalam hal ini membandingkan antara PDI Perjuangan dengan Demokrat. PDI P merupakan partai pemenang dan pimpinan koalisi pemerintah saat ini, sedangkan Demokrat pemenang pemilu 2009 dan juga pimpinan koalisi saat itu. Â
Beberapa nama kader PDI P disebut ikut menikmati pembagian uang saat masih duduk di komisi II DPR, sebagai komisi yang membahas tentang proyek e-KTP. Meski belum satu orang pun kader PDI P yang menjadi tersangka, tapi sikap PDI P yang mendukung hak angket membuat publik jadi curiga. Kenapa PDI P menjadi pihak yang ngotot mengajukan hak angket, kalau memang kader mereka tidak terlibat seperti yang disampaikan dalam berbagai kesempatan.
Jika melihat berdasarkan nama kader PDI P yang disebut ikut terlibat kasus e-KTP, memang akan membahayakan posisi mereka. Karena nama-nama tersebut saat ini menjadi pejabat publik dan berpotensi merusak nama PDI P. Misal nama yang disebut seperti Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Ganjar sudah pernah menjadi saksi dipengadilan, sedangkan Yasona mangkir dari panggilan KPK.
Dengan pengajuan hak angket ini, tentu sikap PDI P makin dipertanyakan publik. Kenapa gelisah dan ada upaya untuk melemahkan KPK disaat lembaga tersebut sedangkan beringasnya mengusut kasus korupsi?. Apalagi saat ini KPK juga telah maju satu langkah dalam pengusutan kasus korupsi BLBI yang merugikan negara hingga puluhan triliun rupiah. Tentu sikap PDI P itu dikaitkan dengan keterlibatan Megawati dengan kasus BLBI.
Seharusnya PDI P bisa belajar dari partai penguasa sebelumnya, yaitu partai Demokrat. Saat mereka dihantam badai korupsi, dimana banyak kader bahkan Ketum Demokrat sendiri terseret korupsi. Partai berlambang mercy tersebut tidak mengajukan hak angket, dan tidak ada upaya pelemahan KPK yang dilakukan Demokrat saat mereka berkuasa.
Padahal waktu itu bisa saja Demokrat melakukan hal tersebut, selain punya banyak kursi di DPR, mereka juga pimpinan koalisi. Â Pilihan Demokrat yang membiarkan proses hukum di KPK berjalan memang merugikan mereka sendiri, lihat saja bagaimana anjloknya perolehan suara Demokrat pada Pileg 2014. Dari partai pemenang pemilu, menjadi partai yang urutan keempat.Â
Tapi itu menunjukkan kalau Demokrat menjadi partai yang pro terhadap pemberantasan korupsi, mereka tidak menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Â Itu menjadi catatan penting untuk kita yang mempunya hak pilih.
Saat hak angket kasus e-KTP bergulir, Demokrat kembali menjadi garda terdepan menolak hal tersebut. Demokrat secara tegas menyatakan penolakan dalam paripurna, dan hal itu patut untuk diapresiasi. Karena menunjukkan kalau Demokrat bukan partai yang melindungi pihak yang melakukan korupsi, termasuk kader mereka sendiri.
Dukungan terhadap KPK juga datang dari mantan Ketua MK yang sekaligus pakar hukum, Prof Mahfud MD. Dalam cuitannya di twitter, Mahfud mengatakan kalau KPK harus terus jalan, karena telah dijamin oleh UU. Dia juga menyebutkan, kalau sesuai dengan pasal 79 ayat 3 UU MD3, yang bisa diangket oleh DPR adalah pemerintah dan lembaga pemerintah non kementerian, KPK bukan pemerintah. Menurut Mahfud, dalam UUD kita, pemerintah hanya eksekutif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H