Marx dan Engels di dalam salah satu tulisannya yang paling termahsyur, Manifesto Partai Komunis yang pertama kali terbit pada tahun 1848, mengatakan "masyarakat borjuis modern dengan hubungan-hubungan produksinya, hubungan-hubungan pertukaran, dan hubungan-hubungan miliknya, suatu masyarakat yang telah menjelmakan alat-alat produksi serta alat-alat pertukaran yang begitu raksasa, adalah seperti tukang sihir yang tidak dapat mengontrol lagi tenaga-tenaga dari alam gaib yang telah dipanggil olehnya dengan mantra-mantra" yang mengiringi pada penjelasan mengenai berbagai krisis yang dapat terjadi ditubuh masyarakat borjuis, yang sering terulang dan semakin berbahaya (Marx dan Engels, 2009).Â
Mudahnya, mereka melihat bahwa kapitalisme akan membunuh dirinya sendiri dan begitulah keniscayaannya. Krisis yang dimaksud akan terjadi ini karena pertumbuhan kapitalisme secara otomatis akan menumbuhkan kesadaran revolusioner dari pihak massa proletariat yang dimiskinkan dan dieksploitasi, yang mana pada situasi ini, kapitalisme akan menghadapi suatu jalan buntu karena sistemnya yang berjalan itu menghasilkan semakin banyak pengangguran, pembumbungan inflasi, produksi yang tidak terjual, dan masih banyak lagi (Hardiman, 2019).
 Seiring waktu berjalan, tahun demi tahun bahkan hingga abad berganti, pandangan Marx ini tidak kunjung terjadi. Kapitalisme, alih-alih membunuh dirinya sendiri, yang ada malah semakin kuat.Â
Kapitalisme berhasil menunjukkan bahwa dirinya dapat beradaptasi, kaum revolusioner mulai memikirkan kembali pandangan-pandangan Marx dan berujung pada perpecahan.Â
Keberhasilan Revolusi Rusia 1917 dalam menciptakan pemerintahan yang dipimpin oleh partai buruh pada era Perang Dunia Pertama tidak selalu dipandang oleh kelompok kiri sebagai keberhasilan.Â
Di Jerman misalnya, Mazhab Frankfurt beranggapan bahwa baik revolusi di Jerman maupun di Rusia, keduanya sama-sama revolusi yang gagal (Saeng, 2012).Â
Jika revolusi di Jerman berhasil ditumpas, revolusi di Rusia oleh Bolshevik yang digadang-gadang berhasil menurut mereka hanya mengulangi keburukan Tsar Rusia yang mana sama-sama memenjarakan manusia. Hal ini jelas berbeda dengan maksud dari Marx, yaitu kebebasan manusia tanpa penindasan kelompok manapun.
 Bagi Marx, kesadaran proletar akan tumbuh dengan sendirinya seiring situasi yang mengeksploitasi mereka, yang akan membawa mereka kepada revolusi, Pandangan ini nantinya akan dipersoalkan oleh Lenin. Ajaran komunisme Lenin menghendaki adanya partai yang memimpin revolusi, pandangan ini berbeda dengan Marx karena kehendak Lenin berarti bahwa kesadaran revolusioner dimasukkan dari luar, bukan suatu hal yang tumbuh di dalam dirinya sendiri.Â
Maka yang ada ialah kelas yang akan masih bergantung dengan kekuatan tertentu, bukan kelas yang sadar akan kebebasannya sendiri. Inilah mengapa sosialisme yang diterapkan Lenin akan berjalan bertahun-tahun sebagai teror tangan besi, suatu hal yang tidak seharusnya terjadi.
 Pandangan ini dilawan juga oleh Rosa Luxemburg yang masih percaya bahwa komunisme harus dijalankan oleh kesadaran kaum proletar itu sendiri, suatu pendapat yang menurut Lenin terlalu naif.Â
Bagi Lenin, revolusi itu tidak bisa hanya menunggu situasi yang matang, ia harus dikehendaki oleh kaum proletar atas pencerahan partai. Yang mana berujung pada kediktatoran proletariat.Â
Pada Revolusi Bolshevik, situasi Rusia pada saat itu adalah bangsa yang justru didominasi oleh kelompok yang bukan kelas buruh, seperti kelas tani, borjuasi, dan feodal (Magnis-Suseno, 2017). Mengutip Tamim Ansary, Marx telah menggambarkan industrialisme mengarah kepada revolusi, sedangkan Lenin beranggapan sebaliknya, yaitu revolusi akan mengarah kepada industrialisme.
 Lenin pun menghadapi teka-teki mengenai siapa yang akan memulai revolusi karena negaranya hampir tidak punya kaum proletar, hal ini yang akan mengarah pada pemahamannya bahwa revolusi itu haruslah diujungtombaki oleh partai (Ansary, 2019).
 Di lain pihak, selain pandangan marxisme-leninisme tersebut, terjadi juga konflik antara kelompok marxis ortodoks dengan sosial-demokrat.Â
Perpecahan ini barangkali lebih mudah untuk kita petakan lebih lanjut, yang mana ketika perubahan tidak kian terjadi, kaum marxis terpecah menjadi empat pendapat, pendapat yang pertama sudah kita ketahui sebelumnya mengenai Lenin.Â
Selain Lenin, ada Bernstein yang menurutnya Marxisme itu selayaknya teori ilmiah, mesti dilakukan "revisi" terhadapnya sesuai dengan pengetahuan baru yang memadai.Â
Bagi Bernstein, transisi dari kapitalisme ke sosialisme dapat terjadi tanpa revolusi, yaitu dengan cara yang demokratis, langkah kecil demi langkah kecil seperti penguatan serikat-serikat buruh dan koperasi-koperasi.Â
Hal ini berkaitan dalam kesamaan pendapat antara Lenin dan Bernstein bahwa kaum buruh sendiri tidak revolusioner, beda pada keduanya adalah Bernstein melepaskan keniscayaan revolusi, sedangkan Lenin justru memperjuangkannya lewat partai yang akan memimpin (Magnis-Suseno, 2017).
Bagi kelompok "revisionis" Bernstein, reformasi di dalam masyarakat mungkin untuk dilakukan, melihat juga bahwa tidak terjadi kebangkrutan kapitalisme dengan sendirinya, apalagi jika dilihat bagaimana krisis-krisis di dalam kapitalisme bukannya semakin sering tetapi malah semakin jarang terjadi (Gombert, dkk, 2016).Â
Cara ini ditentang oleh Lenin dan dua sisanya, yang mana pada pendapat kedua terdapat Karl Kautsky, marxis ortodoks yang beranggapan bahwa revolusi sosialis adalah keniscayaan akibat kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme, tetapi menolak segala usaha revolusioner sebelum kapitalisme memasuki tahap matang.Â
Pendapat Kautsky ini sekiranya didukung Rosa Luxemburg yang akan tetapi mencela keras penolakannya terhadap usaha revolusioner buruh, karena baginya kesadaran revolusioner adalah hasil pengalaman perjuangan mereka (Magnis-Suseno, 2017).Â
Rosa juga menolak Bernstein karena menurutnya kapitalisme tunduk pada kontinuitas persaingan para pemilik modal akibat struktur internalnya, lebih lanjut lagi menurutnya reformasi sosial dan revolusi sosial adalah dua hal yang tak dapat terpisahkan, yang mana perjuangan reformasi sosial adalah alat, namun perubahan sosial secara total merupakan tujuan (Luxemburg dalam Gombert, dkk, 2016).
 Kelompok marxis ortodoks macam Kautsky yang menolak revisi pada marxisme, merasa bahwa realitas eksternal yang matang otomatis berarti kesadaran revolusioner yang tumbuh, ketika kaum proletar sudah makin menderita di bawah kapitalisme, maka mereka akan memberontak.Â
Sedangkan bagi sosial-demokrat, seperti Rosa, realitas internal atau kesadaran adalah apa yang butuh ditempa terlebih dahulu. Kematangan situasi eksternal, kenyataan yang kita hadapi, tidak seiring dengan kesadaran revolusioner yang terdapat di dalam pemikiran proletariat.Â
Di Jerman, keduanya terpecah menjadi Partai Sosial-Demokrat Jerman dan Partai Komunis Jerman. Buntut dari perpecahan keduanya ini turut melahirkan apa yang kita kenal sebagai Teori Kritis dari Institut Penelitian Sosial Frankfurt yang berisikan Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Mercuse, dan sejumlah intelektual lain (Saeng, 2012).
 Irelevansi Marx yang nantinya juga menjadi perhatian Mazhab Frankfurt adalah bahwa marxisme dianggap terjebak pada determinisme ekonomi.Â
Yang mana mereduksi segala faktor yang ada hanya menjadi persoalan ekonomi, yang mana membuat para pewaris Marx ini dihadapkan pada dua pilihan, yaitu membiarkan ide-ide itu tenggelam atau berusaha menyelamatkannya. Determinisme ekonomi yang menjadi persoalan ini juga membuat penghilangannya nanti akan membuat ciri pemikiran Marx hilang.Â
Tetapi, menempatkan ekonomi sebagai pendorong besar akan membuat marxisme terbuka pada determinisme ekonomi (Jones, dkk, 2016). Hingga akhirnya yang kita lihat, salah satu hasilnya adalah Mazhab Frankfurt yang selain dipengaruhi Marx dan Hegel, juga dipengaruhi Sigmund Freud dan lain-lain (Saeng, 2012).
 Tetapi dalam perkembangannya, pada akhirnya sejarah menunjukkan bahwa di antara keempat pendapat yang dianut, dari Lenin, Bernstein, Kautsky, dan Rosa Luxemburg, hanya dua yang benar-benar terjadi. Menurut Magnis-Suseno, yang pertama adalah aliran Bernstein yang bahkan disebut sebagai saka guru "Demokrasi Barat" dan yang kedua adalah komunisme Lenin (Magnis-Suseno, 2017).Â
Selain yang telah dijelaskan tadi, sebenarnya ada banyak pemikir marxis yang mengambil jalan-jalan lain seperti Gramsci, Bertolt Brecht, Louis Althusser, dan lain-lain, tetapi sekiranya keempat perbedaan pendapat yang telah dijelaskan sebelumnya dapat sedikit mewakili dinamika marxisme pasca-Marx.
Daftar Pustaka
Ansary, T. (2019). The Invention of Yesterday. Diterjemahkan oleh Anshor, Zia. Tangerang: Penerbit BACA.
Gombert, Tobias, dkk. (2016). Buku Bacaan Sosial Demokrasi 1: Landasan Sosial Demokrasi. Diterjemahkan oleh Hadar, I.A, dkk. Bonn: Friedrich-Ebert-Stiftung-Akademie fur Soziale Demokratie.
Hardiman, B. (2019). Pemikiran Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Depok: Penerbit PT Kanisius.
Jones, Pip, dkk. (2016). Pengantar Teori-Teori Sosial. Diterjemahkan oleh Saifuddin, A. F. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Magnis-Suseno, F. (2017). Dalam Bayang-Bayang Lenin. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Marx, K, dan Engels, F. (2009). Manifesto Partai Komunis. Tidak Diketahui: Rowland Literature.
Saeng, V. (2012). Herbert Mercuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H