PAYUNG MERAH Payung merah menaungi altarmu, berlatar bunga-bunga. Dua kursi besi mengingatkanku lagi pada kisah celotehan camar, yang dulunya gemar melempar ucap samar-samar. Camarmu itu burung pengintai. Celotehannya detil Gerakanmu yang terlalu vulgar di mata mereka :Kau telah menyuburkan rumput-rumput di bawah payung, sobat. Di bawah payung merah ini, darahmu bercecer di antara letusan bedil dari balik dinding yang penuh lumut itu. Aku tahu kau terluka, bersandar pada kursi ini: hampir mati? Lalu, kau dibalut kelebat hitam yang melepaskan bola-bola api Nyeri sekali. Payung merah akan terus memayungi dua kursi yang mulai lapuk. Kusut rerumput menyemak di bawahnya, menjalari kaki-kaki kursi. Dua kursi itu singgasana yang ditaburi bunga-bunga. Sepuluh tahun silam, sepasang kekasih bertukar daging di bawah payung merah, saat bulan enggan tersenyum pada serigala liar yang lapar daging segar. Payung merah itu kini telah kusam. Terpaan air seni masam yang dipancar kemaluan peradaban, Menghapus segala kenangan yang terlukis Di dinding waktu Di atas dua kursi besi Dan rumput lebih subur di bawah payung merah. Aceh, 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H