Mohon tunggu...
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Anggota Jurnalis Media Pelajar Forum OSIS Jawa Barat

Hanya bocah SMA yang bermimpi menjadi seorang Kuli Tinta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Habitat di Ujung Hayat, Riwayat Puspa dan Satwa kian Melarat

5 Januari 2025   21:11 Diperbarui: 5 Januari 2025   21:43 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monyet Bergelantungan di Tiang Listrik (Radae Bogor)

Oke, ayo kita pertanyakan motif manusia. Untuk apa menanam pohon-pohon sawit? Tentu saja untuk kepentingan komersial, mencari keuntungan, panen sebanyak-banyaknya. Ketika ada makhluk lain yang memakan kepentingan mereka, secara bodoh manusia mengklasifikasikan makhluk tersebut sebagai hama. 

Maka, bisa ditebak akhir dari cerita ini. Pada akhirnya manusia selalu saja mendapatkan kekudusan deus ex machina dari hasil pembenaran mereka. Sedangkan satwa dan puspa yang telah mendiami tempat tersebut secara bertahun-tahun dituduh sebagai pengganggu, menemui takdir diabolus ex machina mereka sebagai pihak yang terpinggirkan. Hal yang sama seperti yang dialami gajah-gajah yang mati terperangkap jebakan di perkebunan warga. Padahal, secara teknis mereka pengingat ulung dan tidak pernah berkelana keluar dari jalur aslinya sejak lahir. Jadi apabila gajah tiba-tiba merusak kebun dan menginjak pemukiman dirinya tidak tersesat, justru manusia yang ceroboh mengintervensi rumah dari gajah-gajah itu.

Maka dari itu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali cara mereka mempertahankan satwa dan puspa yang ada demi keseimbangan ekosistem. Indonesia merupakan negara dengan megabiodiversitas tertinggi kedua setelah Brazil, menjadikannya negara yang memiliki bentang alam yang heterogen dengan berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang hidup di dalamnya. Bagaimanapun, mereka tak bisa digantikan dengan rekayasa apapun oleh manusia. Khususnya mengganti sistem hutan hujan tropis yang kompleks dengan perkebunan kelapa sawit yang homogen.

Riwayat Malang Satwa Dilelang, Puspa Ditebang, Habitat Dipialang

World Population review mencatat, Indonesia menjadi negara kedua yang paling banyak mengalami deforestasi. Sekitar 22% dari luas hutan primernya telah hilang. Hal ini tentu saja mengancam keberlangsungan hidup satwa dan puspa di salamnya. Puspa yang tergantikan oleh tumbuhan perkebunan yang homogen tak bisa lagi memberi makan satwa yang hidup berdampingan di dalamnya. Secara praktis kondisi ini menimbulkan efek domino bagi keduanya.

Poin terakhir yang perlu dikhawatirkan, degradasi lingkungan untuk kepentingan manusia justru membunuh manusia itu sendiri secara perlahan. Kita bukan lagi menghadapi satu-dua masalah seperti polusi seperti pada saat revolusi industri, tetapi tiga sekaligus. Masalah ini menjadi bencana yang dikenal sebagai Triple Planetary Crisis; polusi, perubahan iklim dan punahnya keanekaragaman hayati.

Pada dasarnya, polusi semakin tidak teratasi ketika hutan hujan tropis tidak mampu lagi menyerap emisi karbon karena luasnya telah berkurang secara drastis atau tanaman di dalamnya diubah menjadi lebih homogen. Hal ini kemudian berimplikasi pada perubahan iklim, kenaikan suhu rata-rata tahunan dan naiknya permukaan air laut. Perubahan yang secara radikal mengubah bumi ini menjadi petaka bagi keanekaragaman hayati yang tak mampu beradaptasi; bukan hanya bagi Indonesia, tapi di seluruh dunia. Lambat laun, fenomena tersebut semakin mengarah pada periode kepunahan massal.

Maka sebagai penutup, jadikan ini sebagai bahan intropeksi dan evaluasi demi keberlanjutan lingkungan. Karena saat kita bertanya mengenai nasib melarat puspa dan satwa yang habitatnya telah di ujung hayat, pernahkah kita juga berpikir; Bisakah kita bertahan dari perubahan iklim? Hidup di bawah bayang-bayang polusi? Beradaptasi dengan perubahan suhu ekstrem? Atau jangan-jangan, setelah punahnya puspa dan satwa karena kebodohan kita, justru kitalah spesies yang menghadapi kepunahan selanjutnya

Jika memang hipotesis itu terjadi, maka percayalah; Manusia akan menjadi makhluk tuhan paling toIoI di alam semesta karena menjadi satu-satunya entitas yang mengalami kepunahan karena perbuatannya sendiri.

Salam dari Sobat Satwa, Manusia! (PSSP Institut Pertanian Bogor)
Salam dari Sobat Satwa, Manusia! (PSSP Institut Pertanian Bogor)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun