Mohon tunggu...
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Anggota Jurnalis Media Pelajar Forum OSIS Jawa Barat

Hanya bocah SMA yang bermimpi menjadi seorang Kuli Tinta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Habitat di Ujung Hayat, Riwayat Puspa dan Satwa kian Melarat

5 Januari 2025   21:11 Diperbarui: 5 Januari 2025   21:43 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Monyet Ekor Panjang (Radar Bogor)

Tempo hari, ramai-ramai warganet mengkritisi pernyataan Prabowo Subianto yang menyatakan tidak masalah memperluas perkebunan Kelapa Sawit. Beliau menekankan deforestasi bukan alasan, menurutnya Kelapa Sawit sama-sama pohon; tidak ada bedanya dengan tumbuhan lain. Dirinya berkelakar; Namanya Kelapa Sawit ya Pohon, ya? Ada daunnya kan?"

Tentu saja tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut. Dari kacamata siswa SMA seperti saya, benar adanya bahwa kelapa sawit itu pohon dan memiliki daun. Tetapi yang menjadi masalah, apakah dirinya menggunakan kacamata puspa dan satwa dalam menyikapi fenomena ini?

Eksistensi Puspa dan Satwa dan Korelasinya dalam Ekosistem

Dalam konteks keberlangsungan ekosistem, puspa dan satwa memiliki keterkaitan erat. Keduanya saling memberikan impak satu sama lain dalam satu ruang komunal. Eksistensi mereka menciptakan ruang hidup harmoni tanpa ada spesies yang menelan pahit status marjinal karena terpinggirkan.

Sebagai contoh keterkaitan itu, adanya sebagian kecil populasi Macaca Fascicularis di tengah Gunung Kapur Cibodas menjadi bukti bagaimana kehidupan puspa dan satwa menjadi bagian yang tak terpisahkan. Spesies yang dikenal sebagai monyet ekor panjang membentuk komunitasnya tersendiri di tengah hiruk-pikuk aktivitas manusia. Fakta ini menimbulkan suatu pertanyaan; bagaimana satwa liar tersebut bisa bertahan di tengah gempuran urban sprawl dari Kota Bogor sebagai bagian dari Aglomerasi Jabodetabek?

Bukit Karsta Cibodas, Sepotong kecil Habitat Satwa di Pinggiran Kota

Sebagai pengantar, Gunung Kapur Cibodas merupakan bukit kapur purba yang berlokasi di Ciampea, Kabupaten Bogor. Bukit ini gagah menjulang dengan tinggi sekitar 385 MDPL. Tidak memenuhi syarat sebagai gunung--tetapi karena terlihat mencolok sehingga demikian masyarakat sekitar memanggilnya.

Siluet Gunung Kapur (Dokumentasi Pribadi)
Siluet Gunung Kapur (Dokumentasi Pribadi)

Secara fisik, tidak ada yang istimewa bagi bukit ini. Seperti bentangan alam karst pada umumnya yang terjal, bebatu dan bewarna putih. Walau permukaannya keras, beberapa jenis tanaman dan bebungaan tumbuh di atasnya. Jika tak salah ingat, dulu pernah membaca sekilas di sini terdapat spesies orchidaceae atau anggrek endemik langka dengan nama genus tjampeana. Tetapi saat saya coba browsing kembali tak menemukan jejaknya sama sekali--entah karena punah atau ternyata peneliti menyadari anggrek ini masih satu genus dengan spesies lain. 

Tetapi, kode alam dari keterkaitan itu bukan dari tamanan anggrek yang dimaksud. Justru pohon pisang dan bebuahan yang mematahkan argumentasi dari rumusan masalah artikel ini, karena memang erat kaitannya dengan kehidupan monyet ekor panjang yang hidup di sana. Populasi mereka tak kurang dari 500 ekor, dengan kepadatan populasi 2.0 individu per hektar dan diperkirakan terus bertambah. Catatan demografi ini menjadi kabar baik bagi Paguyuban Macaca Fascicularis se-asia tenggara karena populasinya dinilai aman di tengah kekhawatiran IUCN yang mengklasifikasikam mereka sebagai sebagai spesies rentan.

Meskipun populasi mereka dinilai aman, tampaknya habitat mereka menemui kerentanan. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sisi selatan dari Gunung Kapur semakin terjamah oleh peradaban manusia. Pertumbuhan penduduk memaksa wilayah di sekitarnya untuk terbangun, termasuk di sisi timur yang menjadi lokasi Pasar Baru Ciampea. Ditambah, terdapat aktivitas pertambangan kapur yang telah ada sejak era orde baru di sini. Habitat monyet ekor panjang kian menyempit karena berbagai faktor-faktor di atas.

Penyempitan habitat ini berimbas pada perilaku monyet ekor panjang dalam mencari makanan. Padatnya populasi di Gunung Kapur tidak diimbangi dengan ketersediaan makanan alamiah yang mencukupi, sehingga memaksa mereka untuk turun dan mencari makanan di pemukiman warga. Sehingga tak heran, seringkali terjadi kasus kontak antara monyet ekor panjang dengan manusia--yang seringkali meninggalkan kesan tidak baik. Entah itu penyerangan atau pencurian makanan.

Monyet Bersilaturahmi, Bukan Mencuri. Manusia dilarang Protes!

Fatah, rekan saya yang sempat menjadi Ketua Osis di SMAN 1 Ciampea menjelaskan bahwa sekolahnya beberapa kali disambangi oleh monyet ekor panjang. Saat ditanya seberapa sering dalam satu tahun, dirinya bahkan tak ingat karena menjadi sebuah peristiwa yang biasa. Pihak sekolah memutuskan untuk tidak menghitungnya lagi dan berusaha berdamai dengan situasi ini.

Tetap saja, alih-alih menjadi pengalaman menyenangkan, Fatah menjelaskan bahwa turunnya monyet-monyet itu kadang mengganggu kegiatan belajar-mengajar. Kadang ada beberapa makanan milik peserta didik yang dicuri, atau beberapa fasilitas sekolah yang rusak karena diobrak-abrik oleh satwa liar tersebut. 

Maka dari itu, dirinya menambahkan bahwa terdapat program khusus di sekolahnya untuk menanggulangi masalah ini. Terdapat feeding site di sekitar sekolah yang terletak di lereng Gunung Kapur tersebut. Peserta didik diminta untuk menaruh makanan seperti bebuahan, khususnya setandan pisang agar monyet-monyet itu bisa kenyang tanpa harus mengobrak-abrik tempat sampah sekolah dan menginvasi dapur milik warga sekitar. Tampaknya program ini cukup efektif, sehingga mereka tak lagi harus berebut makanan dengan manusia.

Walau demikian, sepertinya pemberian makanan di feeding site itu bukan solusi terbaik. Bagaimanapun, monyet ekor panjang adalah satwa liar. Mereka seharusnya hidup dan mencari makanan secara alamiah tanpa harus ada campur tangan dari manusia. Pemberian makanan rutin secara berkala ini justru berpotensi mengubah perilaku monyet ekor panjang secara radikal, yang membuatnya bergantung pada feeding site tersebut ketimbang harus mencari makanan sendiri sesuai kebiasaannya.

Monyet Bergelantungan di Tiang Listrik (Radae Bogor)
Monyet Bergelantungan di Tiang Listrik (Radae Bogor)

Walaupun kasus konflik antara manusia dan satwa di sekitar Gunung Kapur berkurang, tetap saja insiden turunnya monyet tak bisa hilang. Justru karena acapkali diberi makanan oleh manusia, akhirnya monyet-monyet tersebut kehilangan sifat analuriahnya di alam liar dan menjadikan lingkungan hidup manusia sebagai "gudang makanan" mereka. Karena memang situasi ini tidak biasa dalam dunia satwa, maka tak heran banyak monyet yang mengalami nasib apes saat turun ke pemukiman, seperti tenggelam di selokan atau tersetrum kabel listrik yang dipikirnya sebagai media untuk bergelantung dengan  aman.

Monyet Mati Tanpa Pisang, Manusia Tantrum Tanpa Tambang

Bisa dibilang, hal ini terjadi karena masifnya alih fungsi lahan dan aktivitas pertambangan kapur yang berjalan tanpa mempertimbangkan analisis dampak lingkungan yang memadai. Tahun 2023 lalu saya melaksanakan studi lapangan geografi di lokasi pertambangan ini, dan memang para penambang memang tidak memperdulikan efek jangka panjang yang ditimbulkan terhadap puspa dan satwa di sana. Sehingga meter demi meter lereng pekapuran itu kian terkikis karena terus diambil untuk kepentingan ekonomi.

Kawasan Pertambangan Karst Ciampea (Dokumentasi Pribadi)
Kawasan Pertambangan Karst Ciampea (Dokumentasi Pribadi)

Degradasi ekosistem di sekitar Gunung Kapur ini hanya secuil baris dari daftar panjang perusakan habitat puspa dan satwa di Indonesia. Menurut Prof. Satyawan Pudyatmoko, terganggunya kestabilan alam sistem alam dan iklim adalah hasil dari aktivitas manusia. Bahkan IPBES mencatat 1 juta spesies menghadapi ancaman kepunahan akibat dari degradasi ini yang berimplikasi pada perubahan iklim. 

Hipotesis Kelapa Sawit, Bisakah Manusia Hidup hanya dengan Memakan Cabai Rawit? Kan sama-sama Makanan!

Kembali pada pernyataan pemantik, marilah kita bayangkan apabila pepohonan di Gunung Kapur semuanya diganti menjadi perkebunan sawit dengan dalih; sama-sama pohon, punya daun, kok! Tetapi pada titik ini, cobalah kita gunakan kacamata monyet ekor panjang yang gemar memakan buah. Lalu, pepohonan bebuahan tropis itu secara masif diganti menjadi pohon sawit homogen dengan buahnya yang ranum dan menggiurkan.

Secara naluriah, tentu saja monyet tersebut akan menolak memakannya. Karena sederhana saja, bukan itu makanan mereka. Kalapun kita mempertimbangkan kemungkinan adaptasi luar biasa dari macaca fascularis yang bahkan bisa memakan mie instan, keputusan mereka untuk memakan buah sawit juga tidak membuat manusia senang. Lho, kok bisa?

Oke, ayo kita pertanyakan motif manusia. Untuk apa menanam pohon-pohon sawit? Tentu saja untuk kepentingan komersial, mencari keuntungan, panen sebanyak-banyaknya. Ketika ada makhluk lain yang memakan kepentingan mereka, secara bodoh manusia mengklasifikasikan makhluk tersebut sebagai hama. 

Maka, bisa ditebak akhir dari cerita ini. Pada akhirnya manusia selalu saja mendapatkan kekudusan deus ex machina dari hasil pembenaran mereka. Sedangkan satwa dan puspa yang telah mendiami tempat tersebut secara bertahun-tahun dituduh sebagai pengganggu, menemui takdir diabolus ex machina mereka sebagai pihak yang terpinggirkan. Hal yang sama seperti yang dialami gajah-gajah yang mati terperangkap jebakan di perkebunan warga. Padahal, secara teknis mereka pengingat ulung dan tidak pernah berkelana keluar dari jalur aslinya sejak lahir. Jadi apabila gajah tiba-tiba merusak kebun dan menginjak pemukiman dirinya tidak tersesat, justru manusia yang ceroboh mengintervensi rumah dari gajah-gajah itu.

Maka dari itu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali cara mereka mempertahankan satwa dan puspa yang ada demi keseimbangan ekosistem. Indonesia merupakan negara dengan megabiodiversitas tertinggi kedua setelah Brazil, menjadikannya negara yang memiliki bentang alam yang heterogen dengan berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang hidup di dalamnya. Bagaimanapun, mereka tak bisa digantikan dengan rekayasa apapun oleh manusia. Khususnya mengganti sistem hutan hujan tropis yang kompleks dengan perkebunan kelapa sawit yang homogen.

Riwayat Malang Satwa Dilelang, Puspa Ditebang, Habitat Dipialang

World Population review mencatat, Indonesia menjadi negara kedua yang paling banyak mengalami deforestasi. Sekitar 22% dari luas hutan primernya telah hilang. Hal ini tentu saja mengancam keberlangsungan hidup satwa dan puspa di salamnya. Puspa yang tergantikan oleh tumbuhan perkebunan yang homogen tak bisa lagi memberi makan satwa yang hidup berdampingan di dalamnya. Secara praktis kondisi ini menimbulkan efek domino bagi keduanya.

Poin terakhir yang perlu dikhawatirkan, degradasi lingkungan untuk kepentingan manusia justru membunuh manusia itu sendiri secara perlahan. Kita bukan lagi menghadapi satu-dua masalah seperti polusi seperti pada saat revolusi industri, tetapi tiga sekaligus. Masalah ini menjadi bencana yang dikenal sebagai Triple Planetary Crisis; polusi, perubahan iklim dan punahnya keanekaragaman hayati.

Pada dasarnya, polusi semakin tidak teratasi ketika hutan hujan tropis tidak mampu lagi menyerap emisi karbon karena luasnya telah berkurang secara drastis atau tanaman di dalamnya diubah menjadi lebih homogen. Hal ini kemudian berimplikasi pada perubahan iklim, kenaikan suhu rata-rata tahunan dan naiknya permukaan air laut. Perubahan yang secara radikal mengubah bumi ini menjadi petaka bagi keanekaragaman hayati yang tak mampu beradaptasi; bukan hanya bagi Indonesia, tapi di seluruh dunia. Lambat laun, fenomena tersebut semakin mengarah pada periode kepunahan massal.

Maka sebagai penutup, jadikan ini sebagai bahan intropeksi dan evaluasi demi keberlanjutan lingkungan. Karena saat kita bertanya mengenai nasib melarat puspa dan satwa yang habitatnya telah di ujung hayat, pernahkah kita juga berpikir; Bisakah kita bertahan dari perubahan iklim? Hidup di bawah bayang-bayang polusi? Beradaptasi dengan perubahan suhu ekstrem? Atau jangan-jangan, setelah punahnya puspa dan satwa karena kebodohan kita, justru kitalah spesies yang menghadapi kepunahan selanjutnya

Jika memang hipotesis itu terjadi, maka percayalah; Manusia akan menjadi makhluk tuhan paling toIoI di alam semesta karena menjadi satu-satunya entitas yang mengalami kepunahan karena perbuatannya sendiri.

Salam dari Sobat Satwa, Manusia! (PSSP Institut Pertanian Bogor)
Salam dari Sobat Satwa, Manusia! (PSSP Institut Pertanian Bogor)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun