Mohon tunggu...
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Anggota Jurnalis Media Pelajar Forum OSIS Jawa Barat

Hanya bocah SMA yang bermimpi menjadi seorang Kuli Tinta.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Negeri Para Tunawiwaha

12 Agustus 2024   17:55 Diperbarui: 23 Agustus 2024   19:10 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Di negeri kami.
Manusia-manusia berbekal mata.
Memutuskan menjadi tunanetra.
Buta akan segala peristiwa.

Di negeri kami.
Wajah-wajah berbekal pengecap rasa.
Memutuskan menjadi tunawicara.
Menjadi pengecut tanpa berani bersuara.

Di negeri kami.
Insan-insan berbekal telinga tuli.
Memutuskan menjadi tunarungu.
Membumihanguskan suara menjadi abu.

Di negeri kami.
Akal-akal berbekal kemampuan membaca.
Memutuskan menjadi tunaaksara.
Memperlakukan data dan fakta sebagai hasutan belaka.

Wahai janabijana
Di sinilah negeri para tunawiwaha
Yang menganggap sumpah janji hanya permainan belaka.
Yang memandang norma dan etika sebagai aturan tak kasat mata.
Yang menutup atmosfer distopia dengan narasi utopia.
Yang mengakali regulasi dengan memutarbalikkan logika.
Yang menganggap dirinya sebagai gerombolan adikuasa.
Yang culas dan picik bagai sengkuni dalam epos mahabrata.
Memarjinalkan strata kaum-kaum murba.

Wahai sang janabijana.
Dari rahim inilah aku lahir.
Disambut dengan pahit dan getir.
Juga kilat dan gemuruh petir.
Yang tersambar dari para birokrat amatir.

Wahai para tunawiwaha.
Demi tuhan, kalianlah golongan paling hina.
Yang telah menginjak-injak kedaulatan rakyat tanpa harga.
Mencabik-cabik norma dan etika.
Bekerja sama untuk memperkosa konstitusi negara.
Hingga sampai di titik yang jauh lebih menjijikan dari pelaku tunasusila.

Lihatlah negeri ini, negeri ibu kami.
Semakin goyah dan rapuh untuk berdiri.
Retaknya fondasi demokrasi.
Karena ditabraknya aturan dan regulasi.
Demi menginisiasi berdirinya monarki.
Melalui permainan politik dinasti.

Wahai para Tunawiwaha.
Dengarlah suara kami.
Suara dari dalam gua.
Suara dari kalangan tunakuasa.
Yang tidak menginginkan adanya pemakzulan penguasa.

Wahai para Tunawiwaha.
Cobalah untuk membuka hati dan nurani.
Berikan kami satu hal yang pasti.
Buatlah kegilaan ini berhenti.
Sebelum segalanya terlambat.
Pastikan negeri ini kokoh berdiri.
Agar bisa terus dinikmati oleh anak cucu kita nanti.

Bogor, 12 Februari 2024.

Kala itu, mading sekolahku tak membiarkan narasi bernada alegori revolusi untuk terpatri. Maka izinkan kusimpan puisi ini di sini, sembari berharap semua perandai-andaian itu tak akan terjadi. Tuhan senantiasa melindungi kita, pun Sang Janabijana lekas membaik seperti sediakala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun