Mohon tunggu...
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Anggota Jurnalis Media Pelajar Forum OSIS Jawa Barat

Hanya bocah SMA yang bermimpi menjadi seorang Kuli Tinta.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Jejak Mang Aris dan Kang Yahya Membangun Diversitas Budaya di Ciampea

30 Mei 2024   19:43 Diperbarui: 30 Mei 2024   20:09 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua gendang pesanan pelanggan yang rampung (Dokumentasi pribadi)

Seniman seharusnya mendapatkan perhatian, bukan menjadi kaum marginal yang tak dikenal. Namun jamak bagi para penjaga warisan kebudayaan ini terpinggirkan karena tergerus perkembangan zaman. Barangkali itulah yang dialami oleh Mang Aris, perajin wayang golek yang terseok menjalankan profoesinya sebagai seniman berskala internasional.

Di ujung gang sempit perkampungan Desa Tegalwaru, nyenyai orang sadari terdapat seniman berbakat yang abai dari berbagai sorotan. Rumah berbata telanjang tanpa dibalut oleh plester  yang pengap dan minim furnitur adalah kediaman Mang Aris menyesapi sisa hidupnya. Di tempat sederhana tersebut Mang Aris membuka asa berbekal budaya, tiap jari kasarnya yang berbuku-buku telaten mengukir kontur kayu seolah maestro yang menumpah tinta pada lembar partitur. Ponsel arkais dan angin tropis menjadi teman dikala berbonggol-bonggol kayu diukir, melantun melodi kemerduan dendang Sunda, senada dengan apa yang menjadi rutinias Mang Aris setiap hari layaknya seniman sejati.

"Ya nasib Mamang seperti ini, mau bagaimana lagi,"ujarnya diselingi tawa ironi.

Tidak berlebihan untuk menyebut Mang Aris seniman fakir, dirinya tersenyum apabila mendengar gurauan tersebut. Lelaki yang sebenarnya terlalu tua dipanggil sebagai Mamang sebab telah berusia senja itu berujar jika memang keadaan ekonominya berada di situasi yang kurang baik. Semenjak pandemi covid-19 omsetnya tak kunjung naik, bahkan akhir-akhir ini token listriknya makin berisik. Penjualan cenderung mengalami penurunan dibandingkan saat situasi normal sebelumnya. Hal itulah yang menyebabkan Mang Aris resah, anomali apa gerangan yang menghampiri sampai-sampai pandemi yang telah berlalu kian semampai tidak berimpak besar pada mata pencahariannya itu.

Kondisi yang dialaminya ini adalah kali pertama setelah kadung merintis usaha tersebut lebih dari empat dekade. Memorinya kembali digali untuk mengingat lagi masa-masa saat Mang Aris masih berusia muda.

Pria kelahiran 1964 tersebut merintis usahanya saat berumur 12 tahun. Ia mengatakan tertarik pada pada pagelaran wayang golek sejak lama, tak lepas dari peranan orangtuanya yang acapkali mengajak Aris kecil ke sana. Perkenalannya dengan kebudayaan itu menumbuhkan rasa cinta pada pandangan pertama Mang Aris terhadap kearifan lokal khas Jawa Barat itu. Bahkan dirinya berkelakar berkali-kali jatuh cinta pada setiap pandangannya. Sehingga saat beranjak remaja Mang Aris memutuskan untuk meningkatkan kapabilitas. Tak cukup sebagai penonton, pun menjadi pelaku seni dari pentas-pentas yang digemarinya.

Sebenarnya Mang Aris memulai perjalanannya sebagai dalang. Namun, setelah sekian waktu merasa tidak cocok dengan pekerjaan tersebut. Serampangan, Mang Aris banting setir menjadi perajin wayang golek. Dirinya mulai belajar untuk mengukir dan memahat kayu, melatih diri dengan alat sapih pemberian seorang kenalannya di Cikini. Mang Aris seorang prodigi (red: prodigy--orang yang berbakat), autodidak mengasah keahlian tanpa seorang mentor. Dirinya telah terampil membuat wayang golek di umur yang terbilang muda. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ia merintis usaha wayang golek sejak umur 12 tahun. Saat di jenjang SMP, Mang Aris mulai memasarkan buah karyanya di Ancol dan Kebun Raya Bogor untuk meraup lembar demi lembar rupiah. Peluh masaknya itu yang kemudian digunakan sebagai tambahan biaya sekolah.

Hari demi hari berjalan mulus. stimulus dari pengalaman Mang Aris berhasil meningkatkan taraf hidup keluarganya. Jadwal kegiatannya kian padat, dirinya aktif membangun relasi di tempat awal menjejak fondasi sebagai pelaku seni. Tepatnya di Cikini. Mang Aris mengenal seniman-seniman lokal lainnya di sana, terutama para dalang dan perajin wayang golek seluruh Indonesia. Dewi fortuna berpihak padanya di masa-masa itu, dirinya mengenal seorang ekspatriat asal Korea yang kebetulan sedang berkunjung di Jakarta pada dekade 80-an. Nang Aris kemudian mendapat tawaran untuk terlibat dalam produksi maskot Olimpiade Catalonia 1992 di Spanyol. Pada waktu itulah dirinya menggenapi masa keemasannya sebagai seorang seniman.

"Golek ini go internasional sejak lama. Dari partisipasi di olimpiade tersebut, akhirnya saya mendapatkan lebih banyak koneksi yang lebih luas. Menjelang tahun 1998 saya mengenal Pedro, seorang yang menawari saya untuk mengisi pameran sebuah Galeri milik pengusaha Belanda di Sanur. Alhamdulillah, saya bisa melewati krisis moneter karena kerja sama bisnis dengannya," kenang Mang Aris bangga dengan senyum lebar di balai bambunya yang sederhana.

Wayang golek yang telah dipahat menanti tahap pewarnaan (Dokumentasi pribadi)
Wayang golek yang telah dipahat menanti tahap pewarnaan (Dokumentasi pribadi)
Sayangnya, siapa pun tak bisa menampik fakta jika kegagalan adalah sebuah keniscayaan. Klimaks perjalanan hidup Mang Aris tak bertahan lama. Kerjasamanya dengan sang pemilik galeri terhenti akibat Bom Bali I dan Bom Bali II. Tragedi itu berimbas industri pariwisata mengalami kemunduran signifikan karena meningkatkan keraguan investor dan turis akan masalah keamanan. Galeri milik sang pengusaha asal Belanda ditutup. Hingga pada akhirnya kerja sama tersebut terputus laksana lilin yang padam sebab tertiup, berdampak pada produksi rutin golek Mang Aris hilang dan dirinya harus mengandalkan pesanan dari konsumen yang tak menentu.

Bukan berarti jalan buntu, usaha Mang Aris masih berjalan tanpa masalah yang berarti. Rezeki selalu saja bertemu, menyapa lelaki separuh abad itu tanpa pandang bulu. Dirinya masih kebanjiran pesanan dari berbagai daerah. Ia berkali-kali berpartisipasi dalam produksi maskot Jambore Nasional di Cibubur dan Pameran di Arab Saudi. Tanpa diduga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengapresiasi karyanya saat kunjungan ke Ciampea di acara Gubernur Saba Lembur 2012. Mang Aris tersenyum lebar menunjukkan potret berpigura golek buatannya dipamerkan oleh SBY dan Ibu negara Ani Yudhoyono bersama dengan sang anak. Ternyata ia bekerja sebagai dalang sejak remaja.

Mang Aris konsisten menjalankan usahanya di tengah segala keterbatasan (Dokumentasi pribadi)
Mang Aris konsisten menjalankan usahanya di tengah segala keterbatasan (Dokumentasi pribadi)

Kala ditanya mengapa dirinya tidak ada di foto tersebut, Mang Aris menjawab. "Waktu itu saya sedang sakit, anak yang mewakilkan. Ternyata keberuntungan buat dia, jadi bisa bertemu dengan Pak Presiden."

Mang Aris tetaplah manusia yang lemah. Bagai lautan lepas yang tak luput dari sapaan badai yang kerap melambai, ia kembali diterpa cobaan pada 2020. Pandemi menghantam seluruh dunia tak terkecuali hingga perekonomian ambruk. Usaha golek Mang Aris terdampak sangat parah hingga omsetnya menurun drastis. Nilai jual kebudayaan Mang Aris yang mengandalkan penjualan pada turis berkurang akibat tidak adanya pergerakan sosial dan ekonomi. Kebijakan isolasi menyebabkan usaha goleknya terjerembab pada titik terendah. Lebih miris, tanpa bantuan apapun dari pemerintah hingga belum menemui situasi normal seperti sediakala.

Meski begitu, di tengah kembang-kempis akan isi dompetnya yang kian menipis, tidak ada keraguan dalam diri Mang Aris disetiap tetes keringatnya, sekalipun ia harus tertawa getir sebab khawatir apa yang menjadi pengisi perutnya besok. Percekcokan dengan cobaan tak membuatnya jatuh atau runtuh, tetapi membuatnya semakin kuat. Mang Aris tetap tekun menggenapi tiap buah golek pesanan konsumen walau tak selaris dulu.

"Belum normal lagi (seperti sebelum pandemi-red). Mungkin gairah pariwisata sudah kian membaik, tapi orientasinya tidak lagi pada objek budaya seperti ini. Pembeli mah tetap ada walau hanya sedikit," ucap Mang Aris yang masih berharap goleknya kembali laris. Bagaimanapun, akan nasibnya di esok hari penuh dengan spekulasi dan apriori.

Tak hanya Mang Aris seorang, bergeser dua-tiga petak perkampungan tempat Mang Aris tinggal, terdapat sanak saudaranya yang juga menjadi penjaga warisan kebudayaan sebagai seorang perajin gendang.

Manusia tanpa budaya, adalah raga tanpa nyawa. Pun budaya tanpa nyawa, hanyalah roh tanpa adikara berupa raga. Barangkali itulah aforisme yang diyakini oleh Kang Yahya, perajin gendang tradisional yang menekuni keahliannya itu bertahun-tahun.

Kang Yahya (kanan) dan karyawannya memberikan plitur pada kayu. Usahanya telah berjalan hingga generasi ketiga (Dokumentasi pribadi)
Kang Yahya (kanan) dan karyawannya memberikan plitur pada kayu. Usahanya telah berjalan hingga generasi ketiga (Dokumentasi pribadi)
Kang Yahya adalah generasi ketiga yang meneruskan usaha gendangnya. Keahlian itu diturunkan oleh leluhurnya secara turun menurun. Dirinya adalah sosok dibalik nada-nada tembang sunda yang  terus mengalun di era modern di masa kini. Produksi gendangnya cukup diperhitungkan walau berskala rumahan, hal itu terlihat dari banyaknya kayu Nangka yang dijemur di halaman rumahnya. Dirinya bisa merampungkan satu set gendang dalam dua minggu, akan tetapi banyak faktor membuatnya tak menentu.

"Bergantung pada cuaca, kalau musim hujan produksinya tertunda karena kayu perlu dijemur sekitar satu-dua hari. Itu tahap paling awal, kalau awalnya saja sudah terkendala sesuatu, waktu yang diperlukan menjadi lama," jelasnya.

Kang Yahya menuturkan, dirinya belajar dari sang orang tua untuk merintis usaha ini. Tanpa bantuan modal apapun, ia memulai usahanya dari nol sejak 1998. Dirinya murni hanya mendapatkan bantuan moral berupa ilmu yang diwariskan secara turun menurun dari keluarganya, lalu mengembangkan keterampilan untuk menjadi pengrajin yang ahli dengan memproduksi banyak gendang dalam skala yang lebih besar. Dibantu karyawan yang sama-sama telaten, Kang Yahya bisa memenuhi banyak pesanan sekaligus dalam satu waktu.

"Normalnya ada empat (karyawan). Tapi sekarang yang bantu hanya satu," jelas Kang Yahya di sela-sela kesibukannya membalut ujung kayu dengan kulit sapi

Bukan tanpa alasan tiga karyawan lainnya dirumahkan. Omset penjualan menurun baru-baru ini, menyebabkan ketiganya kehilangan jam terbang. Permintaan gendang berada di titik yang rendah. Meski kondisi ini terhitung lesu, Kang Yahya maklum. Ia menuturkan di bulan Ramadhan memang permintaan gendang tak selalu ramai, apalagi di masa menjelang pemilu. Walau dirinya tak menjelaskan secara pasti korelasinya, tetapi bisa dipahami semakin dekat dengan idul fitri kebutuhan masyarakat akan karya seni tak begitu tinggi karena orientasinya mengarah pada barang kebutuhan pokok.

"Sebenarnya mayoritas konsumen kami dari instansi. Jarang sekali individu, kalaupun ada hanya pelaku seni. Nah di masa-masa ini mereka jarang butuh set gendang baru, paling hanya minta perbaiki kerusakan saja walau masih terhitung jarang," jelasnya takzim. Lekuk wajah Kang Yahya mengisyaratkan bahwa ini adalah hal yang normal.

Sembari merekat kulit dan kayu dengan paku, dirinya juga mengatakan pemasukannya sebagai produsen gendang lumayan. Tak seperti wayang golek yang jarang mengalami kerusakan karena umumnya dipajang menjadi objek pameran, gendang secara teratur digunakan sebagai alat musik. Selama penggunaannya pasti terdapat pengurangan kualitas baik dari segi suara, kelenturan kulit ataupun kekokohan kayu. Oleh karena itu jika tidak diberikan perawatan yang baik, gendang akan rusak dan perlu perbaikan. Konsumen biasanya secara berkala datang untuk mereparasi. Inilah sumber pemasukan dari Kang Yahya berasal, selain dari produksi gendang baru.

Berbeda dengan prospek usaha Mang Aris yang tampak payah, produksi gendang Kang Yahya memberikan pertanda yang cerah. Walaupun memiliki luasan pasar yang lebih sempit, tetapi jauh dari kata pailit. Dengan kata lain minat pelestarian budaya Masyarakat sunda lebih berkiblat pada seni musik, tercermin dari persentase penjualan gendang Kang Yahya yang cukup untuk menyerap tenaga kerja lain karena tingginya permintaan. Apabila didasarkan pada asumsi, hal itu bisa terjadi karena gendang jauh lebih mudah dimainkan dan bisa dinikmati baik bagi pelaku maupun penikmat seni.

Dua gendang pesanan pelanggan yang rampung (Dokumentasi pribadi)
Dua gendang pesanan pelanggan yang rampung (Dokumentasi pribadi)

"Soal keberlanjutan, bisa dibilang aman. Toh, banyak sekolah yang mempunyai perangkat gamelan atau degung untuk dipentaskan peserta didiknya di acara tertentu. Dengan kata lain, pemain dan calon pemain gendang itu masih banyak," jelas Kang Yahya.

Tapi bukan berarti kelestarian gendang Sunda Kang Yahya aman dari kata mati. Menurutnya, ketersediaan pemain bukan faktor tunggal. Dirinya beradagium pada kasus Mang Aris. Usahanya di tahap yang kritis sebab keberadaan dalang sebagai roh dari sang wayang sudah tak lagi eksis. Oleh karena itu, nilai jual wayang telah menyusut menjadi objek pajangan, bukan lagi tontonan seperti mula saat diperkenalkan pada masyarakat.

"Baik wayang golek dan gendang Sunda berakar di tempat yang sama, yaitu wayang kulit dan gamelan Jawa," tutur Kang Yahya. "Dulu, keduanya mengemban tugas mulia sebagai media penyebaran agama, Islam rahamatan lil alamin."

Sebab alasan itulah dirinya merasa bertanggungjawab untuk menjaga kelestarian warisan budaya ini. Kendati demikian, Kang Yahya menemui tantangan. Walau kepastian usahanya dinilai aman karena masih banyak yang bisa bermain gendang, ada masalah lain yang perlu diantisipasi walau hanya berdasar spekulasi. Kang Yahya tidak mau terus mengglorifikasi seakan kondisi ekonominya yang terjaga lintas generasi ini sedang berada titik tertinggi. Karena ketersediaan pencipta gendang juga harus menjadi perhatian yang perlu menjadi catatan.

"Mengajari bermain gendang mudah, yang susah itu mengajari cara membuat gendang," kata Kang Yahya dengan senyum tipis.

Bukan tanpa dasar dirinya berkata demikian, apalagi bersikap sombong. Masalahnya, membuat gendang memiliki banyak tantangan dan bukan perkara yang mudah. Kang Yahya bahkan tak segan mengakui jika dirinya sendiri tak mampu menjalankan usaha ini sendirian, maka dari itu dirinya merekrut beberapa karyawan.

"Selain soal cuaca seperti yang telah dijelaskan tadi, ada juga rintangan lainnya, yaitu ini," kelakar Kang Yahya, menunjukan otot lengannya yang kekar sambil tertawa lebar.

Gendang memang terdiri dari banyak komponen dari berbagai bahan yang berbeda. Dengan kata lain, bahan baku yang ada harus dirakit terlebih dahulu sebelum menjadi sebuah gendang. Prosesnya cukup panjang. Misalnya, dengan bahan utama kayu Nangka bukan berarti sebuah gendang bisa selesai setelah dipahat dan dihaluskan. Perlu kulit sebagai media pemukul yang harus direkatkan pada kedua sisi batang kayu dengan paku sebagai pengait tali yang juga terbuat dari kulit yang dikeringkan. Proses inilah yang menjadi bagian tersulit. Saat merekatkan tali pada paku agar kulit bisa meregang, membutuhkan keterampilan, ketelitian serta yang terpenting tenaga. Mengaitkan tali demi tali pada setiap pada paku cukup melelahkan apabila dikerjakan oleh satu orang. Maka dari itu, biasanya Kang Yahya dan karyawannya berbagi tugas dimulai dari mengampelas kayu, memaku, mengaitkan tali, dan kulit hingga tahap akhir yaitu memberikan plitur pada kayu agar terlihat estetis.

Menurut Kang Yahya, inilah yang menjadi kendala sulitnya mencari perajin gendang baru. Apalagi generasi muda sudah anti pada hal-hal konservatif yang berhubungan dengan kebudayaan, ditambah mereka enggan melakukam pekerjaan kasar seperti itu.

"Saya termasuk beruntung punya lima karyawan. Di Bogor Barat, hanya ada dua perajin seperti ini. Satu saya, satunya lagi kenalan di Cinangka. Itupun dia mengerjakan semuanya sendiri," jawab Kang Yahya kala ditanya apakah ada usaha sejenis di daerah sekitar.

Sudut rumah Kang Yahya yang dipenuhi set gendang (Dokumentasi pribadi)
Sudut rumah Kang Yahya yang dipenuhi set gendang (Dokumentasi pribadi)
Karena produsen yang langka dan berbagai tantangan itulah gendang-gendangnya dihargai dengan kocek yang tak murah. Untuk satu set gendang biasa dibanderol dengan harga di atas tiga juta rupiah. Kadang pelanggan juga meminta pesanannya dikustomisasi dengan lukisan sebagai tambahan di atas pelitur kayu. Kang Yahya menunjukkan hasil lukisannya yang menggambarkan harimau putih sebagai makhluk mitologi dari Tatar Pasundan. Menilik dari ketelatenannya, untuk membuat satu buah gendang kecil saja membutuhkan jerih payah, apalagi merampungkan satu set penuh agar bisa dijual. Gendang tak bisa diecer, maka dari itu perputaran modal dan keuntungan usaha Kang Yahya cukup besar, sebanding pula dengan usaha yang dibutuhkan.

Lalu bagaimana dengan Mang Aris? Walaupun omsetnya tidak sebesar Kang Yahya, wayangnya yang termurah dibanderol dengan harga enam ratus ribu rupiah. Lalu apabila dipesan untuk kepentingan pameran berskala internasional bisa menembus jutaan rupiah. Masih cukup mahal bagi kantong pribadi kita. Akan tetapi, seperti itulah yang seharusnya. Seniman memang pada dasarnya harus dihargai. Keahlian tidak datang dalam sekali atau dua kali, tetapi perlu distimulasi tanpa menghitung hari dengan kerja keras saban waktu hingga berada di level yang sama seperti mereka berdua.

Soal nasibnya yang terkatung-katung dan digantung oleh takdir tuhan bagai Nuh yang terombang-ambing di lautan, Mang Aris tetap optimis. Gelombang keterpurukannya pasti akan memiliki tepian, surut bersama berbagai cobaan yang menghujaninya mereda berangsur-angsur menjadi gerimis. Di masa tua, Mang Aris tetap konsisten dengan menjalankan profesinya bagai air mengalir. Walau jika diumpamakan situasinya mirip seperti Yunus yang sedang mengundi nasib dengan takdir kala perahu yang ditumpanginya dilahap oleh badai petir. Kegetiran inilah yang menjadi bahan bakar Mang Aris untuk mengulang kembali kejayaanya di masa lalu.

Pernyataan tadi bukan narasi tanpa aksi. Dirinya mencoba aktif bermedia sosial media di usia senja. Bukan semata untuk kembali meraup keuntungan, tetapi terus menghidupkan kembali kekayaan budaya agar dikenal oleh generasi muda. Seperti Namanya, Golek Waris, Mang Aris ingin nilai-nilai tradisi dan filosofi dalam wayang goleknya bisa diwariskan pada generasi muda. Ia ingin keahlian itu terhenti di ujung kukunya, saat tiba di masa penghujung usia. Setidaknya sang anak, bisa menunggangi hidup sebagai seorang dalang. Sehingga pada hari ini, Mang Aris tinggal mencari orang baru yang bisa meneruskan profesinya sebagai perajin wayang golek.

Mang Aris tersenyum kala disinggung mengenai wawancara eksklusifnya dengan salah satu staisun TV asal Singapura. Dirinya senang aktivitas bermedia sosial dengan memanfaatkan ponsel arkaisnya itu bisa menarik perhatian khalayak internasional, kembali membuka peluang untuk dirinya untuk kembali Berjaya di masa-masa yang dirindukannya dulu.

Baik Mang Aris maupun Kang Yahya sama-sama menjadi oase di tengah panasnya gurun pasir. Kabupaten Bogor yang menjadi magnet para pendatang seperti menjadi sebuah pedang bermata dua, membuka ruang bagi budaya yang baru untuk berasimilasi dan berakulturasi dengan kebudayaan setempat atau harus hilang ditelan fenomena segregasi sosial akibat urban sprawl (red: perluasan kota metropolitan) yang kian tidak terkontrol.

Bercermin pada komposisi demografinya yang beragam, tidak mendukung iklim keberagaman budaya untuk berkembang. Banyak dari penduduknya kadang tidak tahu, apa yang bisa diakui sebagai identitas asli dari Kabupaten Bogor. Bahkan munculnya lelucon "roti unyil sebagai makanan khas Dramaga" adalah sebuah tanda jika kebudayaan asli Kabupaten Bogor terancam kelestariannya hingga para penghuninya saja tidak tahu keistimewaan daerah yang ditinggalinya. Pedahal Marcus Garvey pernah menulis; manusia yang tidak pernah mengenal Sejarah dan budayanya sendiri bagai pohon tanpa akar yang sewaktu-waktu mudah sekali untuk runtuh.

Sekalipun Kabupaten Bogor penuh dengan heterogenitas dari berbagai kelompok masyarakat, tidak serta-merta mendiversitasi kebudayaaan yang ada di dalamnya. Bagi orang sunda di Kabupaten Bogor khususnya, mereka adalah garda terdepan bagi Tatar Pasundan untuk mengenalkan kearifan lokalnya pada daerah lain. Sebab jika dilihat melalui aspek geografis, letak tempat tinggal mereka berada di Priangan Barat yang banyak berbatasan dengan daerah etnosentris lainnya seperti Jawa Serang, Betawi, dan Baduy. Ditambah karena dekat dengan ibu kota menjadi sebuah magnet bagi para pendatang dari luar daerah untuk tinggal menetap dan mencari nafkah. Banyaknya kontak dengan unsur-unsur eksternal itu bagai dua mata pisau. Di satu sisi bisa memperkaya diversitas kebudayaan yang ada dan mempermudah penyebaran budaya lokal ke daerah luar. Di sisi lain, berpotensi menggerus kebudayaan yang sudah ada sehingga menyebabkan anemia. Sebuah situasi di mana generasi muda mengalami kelesuan dan krisis jati diri. Padahal selain sebagai simbolisme bagi individu, kebudayaan begitu penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Korelasi antar variabel sosial inilah yang menjadi fondasi nasionalisme rakyat Indonesia sejak mengucap sumpah janji kemerdekaannya 1945 lalu.

Maka usaha Kang Yahya, Mang Aris serta ribuan seniman berbakat lainnya dalam membangun diversitas budaya perlu kita hargai. Bukan hanya soal narasi atau dikhotbahkan pada forum-forum resmi sebagai komoditas bersilat lidah pada politisi, tetapi harus dibuktikan dengan aksi nyata. Kebijakan yang berpihak pada seniman harus digelorakan agar kebudayaan bisa terus dijaga kelestariannya. Tidak ada lagi budaya harus hilang karena tidak mendapat sokongan dari pemerintah ataupun dukungan dari masyarakat. Tidak sepantasnya pula seniman harus tewas dalam keadaan lapar, tak ubahnya dengan pekerja kasar yang berharap berapapun nominal upah yang bisa dibayar. Mereka pantas untuk berubah, keluar dari gelapnya rubanah untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

Akhir kata, pesan ini terselip dari sang kuli tinta kepada para pembaca. Semoga kisah Mang Aris dan Kang Yahya bisa menginspirasi anda semua. Menjaga kebudayaan dengan segenap upaya dan tenaga memantaskan diri mereka berdua sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Jadi, jangan sia-siakan perjuangan mereka. Sebab, adanya budaya menjadi identitas kita saat menapaki dunia. Sebaik-baiknya bangsa adalah yang melestarikan keberagaman budayanya dengan penuh kebanggaan. Tanpa budaya pulalah kita hidup sebagai manusia tanpa jiwa seperti yang dikatakan oleh Kang Yahya.

Mengutip pernyaan Elie Wiesel, "Tanpa ingatan, tak ada kebudayaan. Tanpa kebudayaan tidak ada peradaban. Tanpa peradaban, tidak tercipta masa depan." Maka agar ingatan itu tetap ada, marilah kita sebagai generasi muda untuk melestarikan apa yang telah diwariskan oleh generasi pendahulu kita, para Mang Aris dan Kang Yahya lainnya agar sekalipun mereka tiada, eksistensi kebudayaan itu tetap ada dalam diri masyarakatnya.

Artikel feature ini pernah diikutsertakan dalam FLS2N Kabupaten Bogor 2024 dengan judul: Geliat Perajin Gendang dan Wayang Golek Tegalwaru Membangun Diversitas Seni dan Budaya pada Era Krisis Identitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun