Bercermin pada komposisi demografinya yang beragam, tidak mendukung iklim keberagaman budaya untuk berkembang. Banyak dari penduduknya kadang tidak tahu, apa yang bisa diakui sebagai identitas asli dari Kabupaten Bogor. Bahkan munculnya lelucon "roti unyil sebagai makanan khas Dramaga" adalah sebuah tanda jika kebudayaan asli Kabupaten Bogor terancam kelestariannya hingga para penghuninya saja tidak tahu keistimewaan daerah yang ditinggalinya. Pedahal Marcus Garvey pernah menulis; manusia yang tidak pernah mengenal Sejarah dan budayanya sendiri bagai pohon tanpa akar yang sewaktu-waktu mudah sekali untuk runtuh.
Sekalipun Kabupaten Bogor penuh dengan heterogenitas dari berbagai kelompok masyarakat, tidak serta-merta mendiversitasi kebudayaaan yang ada di dalamnya. Bagi orang sunda di Kabupaten Bogor khususnya, mereka adalah garda terdepan bagi Tatar Pasundan untuk mengenalkan kearifan lokalnya pada daerah lain. Sebab jika dilihat melalui aspek geografis, letak tempat tinggal mereka berada di Priangan Barat yang banyak berbatasan dengan daerah etnosentris lainnya seperti Jawa Serang, Betawi, dan Baduy. Ditambah karena dekat dengan ibu kota menjadi sebuah magnet bagi para pendatang dari luar daerah untuk tinggal menetap dan mencari nafkah. Banyaknya kontak dengan unsur-unsur eksternal itu bagai dua mata pisau. Di satu sisi bisa memperkaya diversitas kebudayaan yang ada dan mempermudah penyebaran budaya lokal ke daerah luar. Di sisi lain, berpotensi menggerus kebudayaan yang sudah ada sehingga menyebabkan anemia. Sebuah situasi di mana generasi muda mengalami kelesuan dan krisis jati diri. Padahal selain sebagai simbolisme bagi individu, kebudayaan begitu penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Korelasi antar variabel sosial inilah yang menjadi fondasi nasionalisme rakyat Indonesia sejak mengucap sumpah janji kemerdekaannya 1945 lalu.
Maka usaha Kang Yahya, Mang Aris serta ribuan seniman berbakat lainnya dalam membangun diversitas budaya perlu kita hargai. Bukan hanya soal narasi atau dikhotbahkan pada forum-forum resmi sebagai komoditas bersilat lidah pada politisi, tetapi harus dibuktikan dengan aksi nyata. Kebijakan yang berpihak pada seniman harus digelorakan agar kebudayaan bisa terus dijaga kelestariannya. Tidak ada lagi budaya harus hilang karena tidak mendapat sokongan dari pemerintah ataupun dukungan dari masyarakat. Tidak sepantasnya pula seniman harus tewas dalam keadaan lapar, tak ubahnya dengan pekerja kasar yang berharap berapapun nominal upah yang bisa dibayar. Mereka pantas untuk berubah, keluar dari gelapnya rubanah untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik.
Akhir kata, pesan ini terselip dari sang kuli tinta kepada para pembaca. Semoga kisah Mang Aris dan Kang Yahya bisa menginspirasi anda semua. Menjaga kebudayaan dengan segenap upaya dan tenaga memantaskan diri mereka berdua sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Jadi, jangan sia-siakan perjuangan mereka. Sebab, adanya budaya menjadi identitas kita saat menapaki dunia. Sebaik-baiknya bangsa adalah yang melestarikan keberagaman budayanya dengan penuh kebanggaan. Tanpa budaya pulalah kita hidup sebagai manusia tanpa jiwa seperti yang dikatakan oleh Kang Yahya.
Mengutip pernyaan Elie Wiesel, "Tanpa ingatan, tak ada kebudayaan. Tanpa kebudayaan tidak ada peradaban. Tanpa peradaban, tidak tercipta masa depan." Maka agar ingatan itu tetap ada, marilah kita sebagai generasi muda untuk melestarikan apa yang telah diwariskan oleh generasi pendahulu kita, para Mang Aris dan Kang Yahya lainnya agar sekalipun mereka tiada, eksistensi kebudayaan itu tetap ada dalam diri masyarakatnya.
Artikel feature ini pernah diikutsertakan dalam FLS2N Kabupaten Bogor 2024 dengan judul: Geliat Perajin Gendang dan Wayang Golek Tegalwaru Membangun Diversitas Seni dan Budaya pada Era Krisis Identitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H