Pendahuluan
Pada tanggal 31 Desember 1799 VOC membubarkan diri, maka pada tanggal 1 januari 1800 seluruh tanah jajahan menjadi bagian dari wilayah Negeri Belanda dengan status sebagai negara jajahan Hindia-Belanda. Gubernur pertama yang memerintah Hindia-Belanda adalah Herman Willem Daendels (1808--1811). Politik yang dijalankan berkaitan dengan tanah adalah menjual tanah-tanah kepada pemilik modal besar terutama kepada Cina, Arab maupun kepada bangsa Belanda.Â
Tanah-tanah yang dijual ini disebut dengan "tanah partikelir". Daendels digantikan oleh Jan Willmen Janssens (kaki tangan Perancis Napoleon) yang tidak beberapa lama pemerintah kolonial Belanda jatuh ke tangan Inggris, Jansens diganti oleh Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Raffles dalam bidang pertanahan mewujudkan pemikiran tentang fiskal (pajak) yang dikenal dengan "landrent" (pajak tanah). Landrent tersebut tidak dibebankan langsung kepada para pemilik tanah, tetapi ditugaskan kepada para Kepala Desa.
 Pada tahun 1816 Pemerintah Inggris menyerahkan kekuasaannya kembali kepada Pemerintah Belanda, dibawah pimpinan Johannes van den Bosch. Pada tahun 1830 diadakan sistem tanam paksa (culturstelsel). Pada tahun 1870 pemerintah kolonial Belanda mengesahkan Undang-Undang Agraria yang disebut dengan "Agrarische Wet". Stb 1870 No .55. Undang-Undang yang dibuat di negeri Belanda ini tujuannya adalah untuk memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia. Kemunculan undang-undang ini didasarkan pada gagasan Menteri Jajahan Belanda di Hindia-Belanda yakni, Engelbertus de Waal. De Waal mengajukan rencana yang merupakan suatu kompromi yang pada akhirnya melahirkan Agrarische Wet. 1870.
Sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda, Indonesia memang dikenal dengan wilayah agraris. Hal ini yang membuat aparatur negara dari periode ke periode untuk menetapkan kebijakan tentang masalah-masalah agraria. Seiring dengan bergantinya rezim pemerintahan yang ada di Indonesia, terjadi pula tumpang tindih hukum dan kebijakan agrarian di Indonesia. Pada masa kolonial terjadi dualisme hukum yang cukup membingungkan, yaitu kebijakan pemerintah yang menerapkan aturan tentang tanah di bawah Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet S. 1870-55 dan Agrarische Besluit S. 1870-118), sementara di sisi lain hukum adat yang terdapat pada setiap daerah koloni Hindia-Belanda juga memiliki aturan dan kebijakan tersendiri mengenai hukum adat yang berhubungan dengan sistem pertanahan.Â
Pemerintah kolonial menguasai perkebunan besar akibat sebagai akibat dari politik liberal. Pembukaan lahan-lahan baru pada masa kolonialisme pada abad ke-20 yang berorientasi pada komoditas perkebunan, secara otomatis merampas kepemilikan tanah oleh penduduk pribumi. Hukum adat yang lahir dalam masyarakat pribumi tidak memiliki kekuatan apapun untuk mempertahankan eksistensi tanah mereka dari pencaplokan perusahaan asing. Berangkat dari permasalahan inilah, pada zaman Orde Lama lahir Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang mengatur ketentuan pokok keagrariaan, baik itu tanah, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.Â
Pada masa Hindia-Belanda, kemunculan Undang-Undang Agraria 1870 sendiri seperti membuka gerbang masuknya para investor ke negara ini. Perusahaan-perusahaan asing dan swasta banyak menyewa lahan-lahan baik itu pertanian, perkebunan, maupun tanah lainnya untuk kepentingan mereka, terutama di Pulau Jawa. Tentu saja yang diuntungkan dari kemunculan Undang-Undang ini adalah Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dan pihak investor asing/swasta. Mereka mendapatkan profit secara besar-besaran dengan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah kolonial. Menarik untuk dikaji tentang penerapan Undang-Undang Agraria 1870 ini
Pengertian Agraria
Secara kata, Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Dalam bahasa latin, kata ager dan agrarius merupakan akar kata dari agraria. Kata ager memiliki arti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius memiliki arti sama dengan perladangan, persawahan, pertanian. Dalam terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti urusan tanah pertanian, perkebunan, sedangkan dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Istilah Agraria dalam UUPA mempunyai dua pengertian, yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit.Â
Pengertian Agraria dalam arti luas meliputi Bumi, Air dan Ruang Angkasa (Pasal 1 Ayat (2) UUPA). Sedangkan pengertian Agraria dalam arti sempit hanya mengatur masalah tanah (Pasal 4 Ayat (1) UUPA). A.P. Parlindungan menyatakan bahwa pengertian Agraria mempunyai ruang lingkup yaitu dalam arti sempit bisa berwujud hak-hak atas tanah, ataupun pertanian saja, sedangkan Pasal 1 dan 2 UUPA telah memberikan pengertian yang luas, yaitu bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.