Sebagi contoh misalnya adalah kasus lumpur lapindo di Sidoarjo Jawa Timur. Siapakah yang harusnya bertanggung jawab? Bagaimana kelanjutan kasus itu sekarang? Kok belum ada penyelesaian yang jelas tiba-tiba pihak yang dinilai bertanggung jawab atas musibah itu malah maju mencalonkan diri menjadi presiden? Ya, kasus ini bagaikan lumpur itu sendiri, tetap mengalir entah kemana tanpa adanya pertanggung jawaban. Dan memang sudah menjadi budaya bangsa ini yang terlalu mudah melupakan dan memaafkan. Ini adalah sebuah contoh kelemahan yang nyaris tanpa kritik. Dengan sedikit pengalihan maka lupalah kita dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Inilah pentingnya track record. Di kemudian hari mungkin kita hanya akan saling berbisik dan bertanya-tanya, kenapa dia kok bisa jadi presiden? Padahal masalah yang dulu dinilai masyarakat menjadi tanggung jawabnya saja belum terselesaikan dengan baik, bagaimana bisa dia nanti akan menyelesaikan permasalahan bagsa ini? masalah multidimensi yang lebih pelik tentunya.
Tak adil rasanya kalau saya hanya memberikan satu contoh kasus berkaitan dengan track record ini. maka saya akan memberikan satu contoh lagi kasus yang dinilai menjadi tanggung jawab seseorang yang kini ikut pula mencalonkan diri menjadi presiden. Ini adalah kasus tentang Pelanggaran hak asasi manusia, yaitu tentang penculikan para aktivis di masa orde baru. sudah paham kan? Ya.. pada masa itu, jika ada seseorang berkomentar pedas dan mengkritik seperti yang saya lakukan sekarang ini, sudah bisa dipastikan besoknya dia akan hilang. Dia dibungkam, karena dinilai berbahaya oleh pemerintah yang berkuasa waktu itu. Sekali lagi, inilah budaya yang nyaris tanpa kritik yang sampai sekarang masih kita pegang.
Sebuah pertanggung jawaban memang pada akhirnya nanti setiap orang akan ditagih, tapi itu urusan pribadi dia dengan sang pencipta. Berkaitan dengan bangsa ini, maka sebelum melaju jauh mengenai pertanggung jawaban itu, maka mari kita cari seorang calon pemimpin yang memiliki track record yang bersih dan baik.
4.Think Global But Act Locally
Seorang presiden harapan haruslah memiliki pandangan yang luas. Berfikir secara global namun bertindak lokal. Kita sudah bisa menilai dengan melihat track record para calon presiden kita. apa saja yang telah mereka lakukan, apa saja yang telah mereka berikan untuk negeri tercinta ini. Seorang presiden harapan adalah seorang negarawan, yang selalu memikirkan generasi penerus bangsa, bukan seorang politisi yang hanya akan memikirkan memenangkan sebuah pemilihan. Selain itu tentunya kita juga akan bangga apabila memiliki seorang presiden yang mampu berbicara di kancah dunia. Disegani serta diakui oleh dunia internasional.
Terlepas dari semua kriteria presiden harapan yang saya sebutkan tadi, bangsa Indonesia kini sedang menghadapi permasalahan pelik berkaitan dengan apatisme masyarakat terhadap pemilu. Dengan banyaknya wakil rakyat yang terjerat kasus korupsi kini kepercayaan masyarakat telah sepenuhnya luntur. Mereka enggan memilih calon yang ada dan lebih memilih golput daripada salah pilih lagi. Inilah bahayanya, apatis terhadap politik adalah sebuah penyakit kronis yang setiap saat akan menelikung bangsa ini secara perlahan-lahan. Dan akibatnya bisa fatal. Maka ijinkan saya mengutip sebuah pemikiran seorang sastrawan dari jerman bernama Bertolt Brecht tentang politik berikut.
“The worst illiterate is the political illiterate, he doesn’t hear, doesn’t speak, nor participates in the political events. He doesn’t know the cost of life, the price of the bean, of the fish, of the flour, of the rent, of the shoes and of the medicine, all depends on political decisions. The political illiterate is so stupid that he is proud and swells his chest saying that he hates politics. The imbecile doesn’t know that, from his political ignorance is born the prostitute, the abandoned child, and the worst thieves of all, the bad politician, corrupted and flunky of the national and multinational companies.”
Yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah seperti ini.
“Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpatisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tau bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga dia bangga dan mebusungkan dadanya mengatakan bahwa dia membenci politik. Si dungu tidak tau bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.”
Mari sekali lagi kita semua jangan apatis untuk menentukan nasib kita, nasib bangsa Indonesia ada ditangan kita sendiri. Satu suara kita sangat berarti untuk Indonesia. Jangan sampai kita golput, karena hak suara kita nantinya bakal dipergunakan oleh mereka yang menginginkan kekuasaan. Memang benar tidak semua para pelaku politik di negeri ini sebejat itu, namun sifat menggeneralisasikan ini sudah sangat wajar terjadi. Jikalau sistem perpolitikan di negeri ini tidak menyediakan orang-orang yang masyarakat butuhkan untuk memimpin mereka, maka yang perlu dilakukan adalah mencari. Ya kita hanya perlu mencari tokoh yang sesuai dengan criteria dan harapan kita masing-masing. Kriteria kita pastinya berbeda-beda, namun tujuannya tetap sama, menjadikan Indonesia lebih baik lagi.