PENDAHULUAN
Illegal Fishing di Laut Cina Selatan
Laut Natuna Utara atau lebih dikenal dengan nama Laut China Selatan memiliki banyak sumber daya alam, baik benda hidup seperti ikan maupun benda mati seperti mineral dan gas alam. Diperkirakan ada 500.000.000 barel gas dan minyak alam di Laut Natuna Utara/Laut China Selatan, dengan 14.386.470 barel minyak bumi. Kemudian untuk potensi perikanan Laut China Selatan diperkirakan mencapai 5,32 triliun rupiah per tahun (Purwatiningsih & Masykur, 2012).Â
Dampak dari potensi Laut China Selatan yang melimpah tersebut menyebabkan Laut China Selatan menjadi salah satu wilayah yang banyak tindak penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) berlangsung. Selain potensi kekayaan alam laut yang dimilikinya, letak strategis Laut China Selatan juga berkontribusi pada banyaknya tindak penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing).Â
Salah satu letak strategis Laut China Selatan adalah wilayah perairan Laut China Selatan menghubungkan wilayah Asia Timur dan juga wilayah perairan Samudera Pasifik. Selanjutnya, Laut China Selatan juga berbatasan langsung dengan banyak negara dan hal ini yang dapat menyebabkan konflik dan penangkapan ikan ilegal (illegal fishing) di sekitar wilayah perbatasan antar negara.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tahun 2020 tercatat bahwa sejak 2014 hingga 2020, sebanyak 745 kapal ilegal telah ditangkap. Pada tahun 2014, ada 38 kapal; pada tahun 2015, 108 kapal; pada tahun 2016, 163 kapal; pada tahun 2017, 132 kapal; pada tahun 2018, 109 kapal; pada tahun 2019, 107 kapal; dan pada tahun 2020, 88 kapal. Selanjutnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengumumkan lokasi penangkapan kapal ikan vietnam di Laut China Selatan. Berikut dapat dilihat fluktuasi dan sebaran kapal ikan asing di wilayah Laut China Selatan.
Penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) dapat menimbulkan banyak dampak salah satunya adalah dampak pada lingkungan perairan laut seperti, terjadinya penangkapan yang secara berlebihan (overfishing) hal ini dapat menyebabkan terganggunya ekosistem di laut; kemudian pelaku tindak illegal fishing biasanya melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan alat peledak atau racun; selanjutnya kapal pelaku tindak illegal fishing pada umumnya menggunakan alat tangkap yang tidak selektif yang di mana semua jenis organisme di laut dapat terambil dengan alat tangkap yang digunakan meskipun organisme tersebut belum layak untuk ditangkap dan yang terakhir para pelaku tindak illegal fishing juga sering melakukan tindakan yang menyebabkan polusi di laut dengan cara membuang limbah dan sampah-sampah ke perairan laut.
Selain dampak lingkungan, terdapat juga dampak yang lain yaitu dampak pada kerugian ekonomi. Hal ini tercatat pada tahun 2014 hingga 2019, Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan Perikanan RI pada saat itu) memperkirakan bahwa negara mengalami kerugian hingga Rp. 240 Triliun setiap tahun karena penangkapan ikan ilegal (DetikFinance, 2014).Â
Sementara itu, tindakan penangkapan ikan secara  ilegal yang dilakukan oleh kapal Vietnam menyebabkan kerugian Indonesia sebesar 30 miliar rupiah. Tetapi kerugian ini tidak termasuk kapal yang tidak terdaftar yang menangkap ikan di perairan Indonesia secara ilegal. Selain itu, Susi menyatakan bahwa penangkapan ikan ilegal di Indonesia adalah yang terbesar di dunia (DetikFinance, 2014). Oleh karena itu, diperlukan tindakan dan upaya yang harus diambil untuk menghentikan penangkapan ikan secara ilegal ini.