Jam kerja yang dilakoni para bocah pembuat bola sangat panjang. Hari-harinya dilalui dengan bekerja di rumah selama 6-7 jam, bahkan lebih dari itu. Adalah hal yang menyenangkan bila bisa bekerja di rumah. Maka ada istilah Small Office Home Office (SOHO) yang menjadi idaman orang karena fleksibilitasnya. Namun bagi para buruh anak pembuat bola, kondisinya sangat jauh berbeda dari konsep bekerja rumahan versi modern.
Rutinitas yang harus dilalui selama berjam-jam mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan buruh anak. Mereka merasakan sakit pada jari-jari karena melakukan gerak yang sama berulang-ulang. Mata menjadi sakit dan kabur penglihatannya akibat bekerja dengan cahaya yang kurang. Seringkali didapati anak yang tubuhnya bongkok karena duduk terlalu lama tanpa diselingi peregangan. Sakit ini menjadi warisan yang lain karena harus mereka tanggung seumur hidup karena ketidaksanggupan berobat akibat biayanya yang mahal.
Jabulani?
Apa yang sesungguhnya terjadi pada Jabulani masih diliputi misteri. Tapi satu hal yang pasti, si pemegang merk masih mempunyai utang sosial bagi anak-anak yang dipekerjakan dalam rantai produksi bola-bola mereka sebelumnya.
Jabulani seharusnya mendatangkan keceriaan bagi tangan-tangan mungil yang menyentuhnya, bukan kebinasaan. Semoga Jebulane selalu terpancar pada sinar mata anak-anak di manapun mereka berada, di Indonesia, Asia dan seluruh dunia!
raymond, http://unite-indonesia.blogspot.com/
Acuan tulisan: International Labour Rights Forum, Global March, Bachpan Bachao Andolan.
Karikatur: Vikram
Foto: Jabulaniball.com
Tulisan lainnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H