“lim, nanti tolong bagi bagikan potongan keju dan roti ini untuk rakyat” ujar Tuan Pieter Van Dalen.
“baik, Meneer” jawab Salim pekerjanya.
Tuan Pieter Van Dalen adalah seorang pengusaha berkebangsaan Belanda yang tinggal di Desa Hilir Mudik. Beliau adalah ahli waris tunggal dari keluarga Van Dalen yang dikenal oleh masyarakat desa sebagai keluarga kaya dan terhormat. Disamping keluarga Van Dalen memperkerjakan hampir seluruh orang di desanya di perkebunan teh milik keluarga, keluarga Van Dalen juga banyak membantu orang miskin dalam hal biaya pengobatan dan makanan.
Salim dan keluarganya bahkan sejak kakek neneknya adalah orang desa yang telah bekerja untuk keluarga Van Dalen secara turun temurun. Salim terlahir dari keluarga desa yang soleh yang tidak pernah lupa untuk bersholat 5 kali sehari. Kakek Salim pernah berpesan kepada orang tua Salim untuk selalu menyertakan keluarga Van Dalen dalam setiap doa mereka agar Allah selalu menyertai keluarga Van Dalen. Pesan inipun juga disampaikan oleh orang tua Salim kepada Salim yang saat itu masih berusia 14 tahun. Ketika di usia 6 tahun, Salim bersama anak anak desa sebayanya mengikuti khitanan massal yang seluruh biaya dan pestanya ditanggung oleh keluarga Van Dalen. Saat itu Salim juga menerima hadiah uang dan seuntai tasbih dari keluarga Van Dalen.
Ada satu hal yang menarik yang sudah lebih dari seratus tahun dilakukan oleh keluarga Van Dalen ini, yaitu setiap pagi mereka menyiapkan ratusan potong keju dan roti untuk para karyawannya dan untuk rakyat desanya sampai semuanya kebagian jatah keju dan roti.
Begitupun setiap hari Minggu saat semua karyawan kebun tidak bekerja, setiap selesai kebaktian gereja keluarga Van Dalen menyambangi orang orang desa yang sedang sakit dan mereka yang sudah jompo untuk diberikan penghiburan. Kehidupan masyarakat Desa Hilir Mudik sangat tentram dan seakan tiada yang mengeluh mengenai sandang pangan. Bila mereka mengalami kesulitan, mereka boleh datang kepada keluarga Van Dalen dan merekapun akan menerima pertolongan apapun secara cuma cuma.
Pada masa itu desas desus mengenai kemerdekaan Indonesia sudah tersiar hingga ke pelosok desa. Semua rakyat bersiap siap menyambutnya untuk merasakan hidup bebas merdeka di negeri kelahiran nenek moyang bumi pertiwi tercinta.
“apakah Meneer akan tetap tinggal di desa ini bila suatu saat negeri kami merdeka ?” tanya Salim kepada tuannya
“saya lahir dan dibesarkan di desa ini, jadi sayapun akan mati di sini” jawab Tuan Pieter perlahan sambil menikmati secangkir tehhangat.
Sejak beberapa tahun lalu Tuan Pieter hidup menduda karena istrinya telah meninggal akibat kanker. Mereka juga tidak dikarunia anak.
Di suatu malam ketika Tuan Pieter baru akan memejamkan matanya, terdengar seseorang mengetuk pintu, waktu itu sekitar pukul 10:30 malam.
“Meneer, ada dua orang pemuda mencari Meneer” kata Ipah, pembantu rumah tangga
“apakah mereka dari desa ini ?”
“tidak tau, Meneer, di luar gelap jadi saya tidak dapat melihat”
“tolong bangunkan centeng untuk bersiaga” kata Tuan Pieter sambil membawa lampu patromak keluar menemui tamu asingnya itu.
“Meneer, kami dari desa sebelah mohon pertolongan Meneer”
“apa yang bisa saya bantu ?”
“beberapa polisi memburu kami karena kami pejuang”
“tolong kami Meneer, tolonglah kami Meneer”
Suatu keputusan yang sangat sulit bagi Tuan Pieter. Bila beliau menolong pemberontak maka beliau akan ditangkap tentara Belanda, tapi bila beliau tidak menolong maka kedua orang tersebut akan ditangkap dan kemungkinan akan dihukum mati.
Tuan Pieter kemudian menyuruh beberapa centengnya untuk menyembunyikan kedua orang tersebut di gudang bawah tanah, lalu menyuruh Ipah mematikan semua lampu. Hanya selang beberapa menit kemudian, sepasukan tentara Belanda melewati depan rumah Tuan Pieter, namun karena mereka melihat lampu telah dimatikan mereka pikir penghuni rumah telah tertidur dan urung untuk mengetuk pintu.
Dua minggu kemudian, sekelompok pejuang Republik bersama seorang tokoh pejuang bangsa datang menemui Tuan Pieter untuk mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang diberikan kepada kedua pejuangnya. Namun, entah siapa yang menyebarkannya, gosip mengenai Tuan Pieter Van Dalen membantu pejuang Republik tersiar di seluruh desa hingga ke telinga Kapten Van Lundberg seorang Kapten tentara Belanda yang terkenal dengan kebengisannya dan tidak segan segan membunuh petani hanya untuk sebuah informasi. Kapten Van Lundberg juga sudah mendengar informasi mengenai keluarga Van Dalen yang banyak sekali membantu masyarakat desa.
Kala itu sekitar jam 8 pagi, Kapten Van Lundberg bersama pasukannya singgah di perkebunan teh keluarga Van Dalen yang lokasinya persis di depan rumah. Mereka ingin menanyakan perihal kedua orang pejuang yang mereka cari cari.
“bila ada pejuang di desa ini, saya akan memberitahukan Kapten”
“saya tau Tuan Van Dalen dekat dengan banyak pejabat di Batavia, tapi saya berharap Tuan mengerti posisi kami” sahut Kapten dengan nada mengancam
“sudah banyak cerita sumbang yang saya dengar mengenai keluarga Tuan”
“jangan coba coba Tuan menyembunyikan para pemberontak lalu berbohong kepada saya”
“Kapten, saya bilang sekali lagi bahwa saya tidak tau dan tidak mengenal adanya pejuang di desa ini” sanggah Tuan Pieter
Kapten Van Lundberg kalap karena sudah berbulan bulan mencari buruannya namun belum juga tertangkap, lalu menyuruh beberapa anak buahnya menangkapi beberapa orang desa yang juga para pekerja kebun teh.
“anda tidak bisa berbuat kasar kepada pekerja pekerja saya. Mereka hanyalah orang desa dan mereka semua orang baik baik” bentak Tuan Pieter.
Namun Kapten Van Lundberg tidak peduli dengan ocehan Tuan Pieter dan terus menangkapi sambil memukuli orang orang desa itu.
Dengan berang Tuan Pieter masuk ke rumah mengambil pistol dan menyuruh para centengnya membela rakyat desa. Baku tembakpun tak terhindarkan di perkebunan teh. Sebuah timah panas melesat tepat mengenai dada sebelah kiri Tuan Pieter dan seketika itu juga tubuhnya yang berlumur darah ambruk ke tanah dengan napas tersengal.
Kapten Van Lundberg berserta anak buahnya dengan segera meninggalkan lokasi karena takut bertanggung jawab untuk berurusan dengan pejabat di Batavia yang telah mengenal dekat keluarga Van Dalen sejak turun menurun.
Kondisi Tuan Pieter sangatlah kritis. Salim berserta orang orang desa mengerubungi tubuhnya yang terkapar di tanah.
“bila saya meninggal, saya minta dikubur di sebelah makam istri saya di belakang rumah”
“jangan meninggal Meneer, kami semua mencintai Meneer” pinta orang orang desa dengan isak tangis.
Sayangnya, timah panas telah terlanjur mengoyak ngoyak jantung Tuan Pieter.
“saya sangat mencintai kalian semua dan saya akan merindukan kalian semua” jawab Tuan Pieter perlahan sambil menghembuskan napas terakhirnya.
Dengan meninggalnya Tuan Pieter Van Dalen berarti telah berakhir juga keturunan keluarga Van Dalen di Desa Hilir Mudik. Hal ini membuat masyarakat desa merasa sangat sedih dan kehilangan sekali. Walaupun keluarga Van Dalen bukanlah bangsa Indonesia namun orang orang desa setempat telah menganggap keluarga tersebut sebagai tokoh desa dan keluarga pengayom desa paling tidak selama tiga generasi.
Enam puluh sembilan tahun Proklamasi Kemerdekaan telah berlalu, Desa Hilir Mudik tidak banyak berubah. Para penduduknya juga masih tinggal di rumah rumah berbilik bamboo.
Perkebunan teh milik keluarga Van Dalen telah berpindah tangan dan kini dimiliki oleh seorang Pejabat Negara koruptor yang tidak peduli dengan kondisi rakyat desa.
Pemilik kebun selalu menuntut para pekerjanya untuk bekerja keras agar kebun menghasilkan banyak panen. Si pemilik kebun juga tidak peduli dengan pekerja kebun yang sakit, bahkan tidak segan segan untuk memecatnya dengan tuduhan karyawan tersebut pemalas.
Banyak masyarakat desa yang tidak lagi bekerja di kebun teh tersebut, tetapi memilih bekerja di kota besar atau menjadi tenaga kerja di luar negeri untuk memperbaiki status ekonomi mereka sesuai dengan tuntutan zaman.
Pribadi Salim yang sudah berusia 83 tahun masih pribadi yang sama seperti dulu yaitu seorang pria sederhana yang soleh.
Di luar hujan deras sekali dan kucurannya menembus beberapa celah lubang atap rumah pondokan Salim. Seperti biasanya setiap jam 11 malam Salim terbangun untuk sembahyang tahajut. Udara dingin merasuk tulang belulang Salim yang sudah tua renta. Istrinya sudah sejak sore tertidur lelap sedangkan anak anaknya tidak lagi tinggal bersamanya.
Di akhir doanya, Salim berkata “Ya Alloh Ya Rabbi, sekiranya malam ini adalah waktunya hamba kembali kepada-Mu, biarlah hamba serahkan jiwa hamba hanya di tangan-Mu. Hamba juga kembali memohon rahmat-Mu Ya Alloh untuk keluarga Van Dalen yang telah berpulang kepada-Mu. Amin Ya Rabbal Alamin”.
Tubuh renta Salim bersujud telungkup sambil memeluk Quran dan menggenggam rangkain butiran tasbih pemberian keluarga Van Dalen. Hembusan napasnya pun semakin jauh dan akhirnya menghilang di tengah derasnya hujan mengguyur bumi.
Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H