Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA) Provinsi Jawa Tengah mengeluarkan surat edaran tertanggal 12 April 2020 tentang penggunaan pita hitam di lengan kanan saat tenaga kesehatan bertugas selama 4 hari terhitung Senin, 13 April 2020.Â
Aksi keprihatinan ini dilakukan untuk menyikapi penolakan pemakaman jenazah salah seorang perawat RS dr. Kariadi oleh oknum masyarakat di Ungaran, Jawa Tengah. Perawat tersebut merupakan kasus konfirmasi COVID-19, yaitu pasien yang terinfeksi COVID-19 yang ditegakkan berdasar hasil pemeriksaan pemeriksaan PCR.
Sehari sebelumnya, enam organisasi profesi, IDI, PPNI, IDGI, IAI, IBI, dan IAKMI mengecam tindak penolakan dan stigma negatif atas kasus penolakan pemakaman jenazah perawat tersebut.Â
Melalui pernyataan bersama, mereka mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Apa arti pita hitam?
Tanda berkabung atas wafatnya perawat? Atas tindak penolakan pemakaman jenazah dan stigma negatif?
Sejatinya, pita hitam ini merupakan tanda berkabung atas matinya logika, akal sehat, dan hati nurani. Kepada siapa? Semua yang telah kehilangnya.
Sejak COVID-19 dinyatakan sebagai pandemi, atau malah sebelumnya, sejak itulah timbul kepanikan global. Masyarakat, pemerintah, dan dunia mengalami kepanikan dengan kadar dan kemampuan mengatasinya masing-masing.Â
Berulang kali kita dengar ajakan untuk tidak panik menghadapi virus Corona. Katanya, panik dapat membunuhmu. Panik dapat juga membuat seseorang tidak bisa berpikir sebagaimana mestinya. Ketakutan itu mematikan. Bagaimana bisa?
Sistem perlindungan tubuh terdiri dari dua mekanisme besar, sistem neuroendokrin dan sistem imun. Sistem neuroendokrin yang diwakili oleh poros hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) sistem saraf pusat berperan terutama merespon ancaman eksternal.Â
Sementara sistem imun yang terdiri dari pasukan sel-sel imun merespon kuman-kuman yang telah menginvasi tubuh maupun kondisi cedera internal. Kedua mekanisme ini banyak menghabiskan pasokan energi tubuh.
Ketika poros HPA teraktifkan, otak akan mengeluarkan hormon yang merangsang kelenjar adrenal melepaskan hormon adrenal (hormon stres) untuk mengkoordinasi respon lawan atau lari (fight or flight).Â
Hormon adrenal juga menekan kerja sistem imun untuk dapat melindungi cadangan energi tubuh. Contoh mudahnya, ketika kita terinfeksi kuman sehingga demam tinggi dan pada saat bersamaan tiba-tiba seekor ular liar, yang entah darimana masuknya, mendekat ke arah kita.Â
Tubuh akan merespon dengan lari menghindar atau menggebuk melawan ular tersebut, karena otak menganggap ancaman ular lebih berbahaya. Tubuh menghentikan perlawanan terhadap penyebab demam dan merespon ular dengan pertimbangan apa gunanya tidak demam tapi mati terpatuk ular.
Poros HPA yang teraktifkan dapat mengganggu kemampuan berpikir jernih. Dalam kondisi emergensi, semakin cepat memproses informasi, semakin tinggi kemungkinan untuk bertahan hidup.Â
Pengolahan informasi di pusat sadar otak, pusat pertimbangan, dan logika lebih lambat dibanding aktivitas refleks tubuh. Hal tersebut disebabkan antara lain akibat berkurangnya aliran darah menuju pusat berpikir sadar, sementara aliran darah menuju pusat refleks meningkat.
Kepanikan bisa saja mematikan logika, akal sehat, dan hati nurani. Namun, apakah kematian ketiganya akibat dibunuh kepanikan atas virus Corona?
Atau apakah ketiganya sebenarnya sudah sejak lama mati tapi bangkainya baru ketahuan?
Semoga kita semua selalu terjaga kewarasannya. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H