Secara teori, perangkat yang digunakan Giddens merupakan sesuatu yang baru dan sangat terbuka untuk dikorupsi. Pemikirannya dari beberapa aspek, meskipun ia juga tidak lepas dari kritikan beberapa aliran. Pentingnya peran negara dalam mengatasi permasalahan yang ada. Giddens tidak dapat sepenuhnya menerima kapitalisme yang telah menjadi semacam neoliberalisme.
Â
Bagaimana Korupsi Terjadi?
Secara umum, perbuatan melawan hukum seperti penggelapan dan penyelundupan, kecuali dilakukan oleh pejabat publik, tidak termasuk korupsi sebagaimana dimaksud di atas. Padahal, praktik ini secara tidak langsung merugikan masyarakat karena mengurangi penerimaan pajak pemerintah. Penelitian Lambsdorff menyimpulkan bahwa sebagian besar anggaran negara dalam produk domestik bruto negara berhubungan positif dengan tingkat korupsi. Mungkin mendefinisikan korupsi sektor publik adalah salah satu jawabannya.
Definisi ini juga menggeneralisasi korupsi di negara-negara yang mengikuti monarki dan demokrasi. Dalam negara kerajaan, raja memiliki kekuasaan untuk mengatur pembagian harta kekayaan negara, karena harta pribadi raja pada prinsipnya tidak dipisahkan. Raja dapat menggunakan uang kerajaan untuk kepentingan pribadi dan ini tidak termasuk korupsi. Tindakan yang sama merupakan korupsi serius ketika terjadi di negara demokrasi.
Korupsi adalah hal biasa di negara-negara demokrasi. Visualisasi interaksi antara aktor politik dan ekonomi memberikan gambaran tentang kemungkinan terjadinya korupsi. Keterlibatan antara rakyat dan pemimpin negara yang dipilih secara demokratis. Apalagi di negara demokrasi yang belum terkonsolidasi, potensi korupsi politik dalam berbagai bentuk, termasuk kebijakan moneter, untuk memenangkan pemilu sangat mungkin terjadi. Secara umum, direktur terpilih memiliki keleluasaan yang luas untuk menentukan kebijakan dewan. Kebijaksanaan ini memberikan kesempatan kepada pemimpin untuk menempuh kebijakan yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat, dari mana sebenarnya kekuasaan itu berasal. Dalam banyak kasus, elit politik mengadopsi kebijakan, termasuk kebijakan ekonomi, yang menguntungkan kelompok tertentu. Kebijakan pemerintah adalah mengalokasikan dana anggaran ke sektor-sektor yang tidak banyak berguna bagi rakyat, tetapi dapat menumbuhkan bisnis "investor politik" mereka. Contoh klasik dalam hal ini adalah privatisasi, dimana tujuan kebijakan publik adalah mengalihkan kepemilikan aset publik ke sektor swasta. Meskipun privatisasi berpotensi menciptakan lingkungan bisnis yang relatif bersih dan kompetitif, proses privatisasi itu sendiri sangat rentan terhadap korupsi.
Dalam beberapa kasus, birokrat atau pejabat yang dipilih kepala negara kerap dijadikan wakilnya untuk "menekan" aset negara melalui berbagai lembaga negara dan perusahaan negara. Birokrat terpilih harus memberikan kontribusi reguler kepada elit politik untuk mempertahankan posisi politik mereka melalui proses demokrasi yang korup. Dengan kondisi seperti ini, sangat mungkin korupsi akan terjadi lagi dan lagi. Interaksi antara pejabat dan legislator juga membuka peluang terjadinya korupsi. Di Indonesia, pemilihan pejabat pada tingkat tertentu (misalnya Gubernur BI, Dewan BUMN, Mahkamah Agung, Ketua KPK, Kepala BPK dan lain-lain) harus melalui proses voting dan uji kelayakan di parlemen. Setelah terpilih, parlemen memiliki hak untuk berkonsultasi dengan pejabat terpilih. Interaksi ini juga membuka peluang terjadinya korupsi.
Di tingkat lain, interaksi antara pejabat dan masyarakat merupakan pintu gerbang korupsi kecil-kecilan; pejabat korup di berbagai tingkatan mengumpulkan uang dari rakyat. Proses ini sangat mungkin terjadi, karena pelayanan publik (KTP, IMB, SIM, surat izin usaha, dll) cenderung memonopoli pelayanan publik, padahal monopoli adalah pintu utama terjadinya korupsi. Dalam banyak kasus, korupsi kecil-kecilan terjadi secara inklusif, melibatkan pegawai dari level bawah hingga atas. Pekerja bawahan harus menyetorkan penghasilannya kepada atasannya, sedangkan atasan melindungi bawahannya.
Â
Â
DAFTAR PUSTAKA / REFERENSI